Kolom Eko Kuntadhi: MENJUAL 212 SUDAH GAK LAKU

Ingatkah kamu tentang anak-anak santri yang longmarch dari Ciamis menuju Jakarta untuk ikut aksi 212? Mungkin kita masih ingat wajah-wajah yang kelelahan itu. Memasuki Bandung mereka disambut oleh Gubernur Jabar dari PKS, lalu difasilitasi transportasi hingga sampai ke Jakarta.

Tujuannya: melawan Ahok.

Ingatkah kamu orang-orang polos dari masjid-masjid di seluruh Jakarta yang dibakar semangatnya dengan kebencian yang diseru dari atas mimbar masjid? Mereka menyebarkan lagi seruan-seruan itu ke mana-mana. Lalu bersitegang dengan keluarganya, temannya, sahabatnya. Mereka mengganggap itu biaya yang harus dibayar demi membela agama.




Ingatkah kamu rakyat yang saling menolak mensholatkan jenazah pendukung Ahok? Mereka mengabaikan fardhu kifayah untuk sebuah perhelatan politik. Mereka rela menistakan kewajiban yang dicontohkan Nabinya sendiri, sambil menganggap sedang melakukan perjuangan yang lebih besar.

Ingatkah kamu orang-orang polos yang dihasut-hasut dengan ujaran kebencian oleh para pembicara agama? Mereka mendidih darahnya dan meyakini untuk numplek di Monas pada hari Jumat adalah jalan jihad. Keringatnya menetes. Sebagian dari mereka bergerak atas biaya sendiri, dengan harapan dicatat sebagai amal ibadah. Sebagian yang lain difasilitasi, dapat nasi bungkus dan uang saku.

Tapi apapun juga dalam diri mereka seperti ada keyakinan segala lelah dan pengorbanannya itu adalah jalan membela agamanya. Balasannya surga via jalan tol. Tanpa perlu kartu tol dan e-money.

Ah, orang-orang polos yang mudah disulut-sulut emosinya itu. Di manakah sekarang mereka berada?

Rizieq dan para gembalanya beranggapan orang-orang polos tersebut masih ada di dalam kantongnya. Bisa ditukar dengan apa saja.

Kemarin mereka berusaha ‘dijual’ ke Prabowo, minta ditukar dengan harga pencalonan 5 orang kepala daerah. Entah, apa yang dibayarkan 5 kepala daerah itu kepada para penunggang umat tersebut.

Prabowo menolak. Rizieq, melalui Al Khatath berang. Mengungkit-ungkit kerumunan orang di Monas yang disebut aksi 212 sebagai jasanya. Tapi politisi juga tahu, masa begitu cair. Waktu itu kebetulan saja mereka disatukan karena sebutan kafir kepada Ahok laku keras. Sekarang Prabowo gak percaya bahwa masa sepenuhnya ada di kantong Rizieq. Sebagai politisi Prabowo sudah sering menghadapi orang yang berusaha menjual kepala orang lain.

Makanya dia menolak La Nyalla dan kandidat lainnya yang disodorkan Rizieq. Peduli amat dengan ancaman Al Khatath. Masa buaya mau dikadalin?

Tapi para pengasong umat tidak kehabisan ide. Gagal menjual pada Prabowo, mereka juga akan menjajakan ke politisi lain. Kini bahkan ada yang siap-siap menjualnya kepada orang yang mau jadi calon legislatif. Seolah mereka punya partai sendiri.

Sebenarnya hal ini biasa dilakukan dalam politik. Para makelar masa bergentayangan menjual kepala orang kepada mereka yang haus suara dan kekuasaan. Kebetulan kepala yang dijual sekarang ini adalah umat Islam, dengan merk teregister 212.

Kemarin sempat ada yang mau membuat partai 212. Tujuannya sama, menjadikan masa 212 sebagai basis mencari kekuasaan. Ada lagi yang membangun minimarket 212, berharap masa 7.000 Triliun itu sebagai pasarnya.

Semangat 212 juga dijajakan untuk mencari keuntungan di ladang ekonomi. Di berbagai daerah mulai bergerak orang yang membuat arisan investasi 212. Entah bagaimana pola dan tujuannya.

Tapi, apakah benar masa 212 itu real? Saya rasa yang namanya 212 sekarang hanya tinggal stempel saja. 212 kini tinggal merk belaka yang masih terus diasong ke mana-mana.

Kalau mereka memang punya kekuatan real, gak mungkin rekomendasinya dicuekin Prabowo. Prabowo itu politisi gaek. Ketua partai. Mantan jenderal Kopasus. Masa mau dikadalin sama anak kampret.

 








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.