Dari Obrolan Tentang Karo dan Batak ke Djarot di Mata Suku Karo

Oleh: Seriulina beru Karosekali

Sabtu pagi, ketika saya menghadiri suatu acara, seperti biasa banyak orang-orang baru yang saya temui. Ketika sedang asyik ngobrol dengan wanita di samping kanan saya yang seorang keturunan Tionghoa, wanita lain di sebelah kiri mencolek sambil bertanya.

“Kamu asli mana?” tanyanya.

“Medan,” kataku singkat.

Walaupun tahu kalau jawabanku itu kurang tepat, karena aku bukanlah asli Medan, namun begitulah lazimnya orang-orang menyebut dirinya yang berasal dari Sumut di perantauan.




Boru apa?” tanyanya lagi.

Beru Karosekali,” jawabku.

Panjang lebar dia bercerita dan ternyata dia seorang perempuan Batak, boru Sinaga.

Dengan tanpa memberi saya kesempatan berbicara, dia pun bercerita tentang pekerjaannya, tinggalnya di mana, serta pelayanannya di gereja. Ini membuat perempuan yang di sebelah kananku pergi meninggalkan kami berdua. Mungkin karena dia merasa dicuekin.

“Kalau Sinaga sama dengan Perangin-angin di Karo dan Bangun di Pakpak, jadi tidak boleh kawin mengawini,” lanju dia cerita.

Sedikit saya informasikan, kalau merga Bangun adalah juga merga dari Suku Karo. Yang dalam Merga Silima (lima induk merga di Suku Karo) itu juga masuk dalam merga Perangin-angin.

“Tapi setahu saya, Batak dengan Karo tidak ada hubungan keturunan, jadi sah saja kalau Sinaga mengawini Perangin-nangin,” kataku menimpali.

“Tidak boleh,” katanya lagi.

“Menurut kakak, Karo dengan Batak itu sama?” Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepadanya.

“Beda! sambungnya, makanya kalau di Karo, Perangin-angin; di Batak Sinaga,” jawabnya tampak sangat yakin.

Berhubung acarapun dimulai, maka obrolan saya dengan perempuan Batak itu pun harus diakhiri.

Dari percakapan di atas, ada satu hal yang mengingatkan saya kembali ketika bertemu dengan beberapa orang Batak (atau dalam kondisi berbeda menyebut diri sebagai orang Tapanuli), yakni pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan boru Sinaga tadi. Begitu saya bilang asli Medan, langsung ditanya beru apa?

Dalam hati saya menggumam, “memangnya orang Medan itu semua pakai merga atau beru?

Kalau saya berbeda dengan boru Sinaga tadi. Ketika bertemu dengan sesama orang asal Sumut, yang saya tanya terlebih dahulu sukunya dan dari daerah mana dia berasal di Sumut.

Singkat cerita, kita melompat ke cerita di pekan berikutnya.

Sabtu siang ketika di tempat kerja yang sedikit, terjadi obrolan tentang Pilkada dengan seorang rekan kerja. Kalau sudah cerita politik, memang hanya kami berdua yang bisa nyambung, karena yang lain memang tidak suka dengan pembicaraan bertema politik.

Ketika lagi asyik ngobrol, seorang rekan kerja yang lain mencolek saya sambil berkata,

“Hei… cewek itu ga usah sok ikut ngomongin politiklah. Mending ngomongin gimana caranya biar bisa dapat jodoh orang bule yang kaya, seperti yang kakak idamkan.”

“Emangnya masalah kalau cewek ngomongin Pilkada atau politik?” jawab saya dengan pertanyaan.




Tiba-tiba seorang pria keturunan Tionghoa (selanjutnya saya sebut Bapak) yang mungkin tanpa kami sadari menguping obrolan kami, entah dari kapan.

“Emang orang Medan, ya? Kok pada ngomongin Djarot?” tanya Bapak tersebut.

“Iya, pak. Jawabku sembari sedikit tersenyum

“Suku apa? Tanyanya lagi.

“Saya Suku Karo,” Jawabku datar.

Tiba-tiba Bapak tersebut pun mengucapkan mejuah-juah (sapaan khas Suku Karo) kepada saya.

Mejuah-juah, pak,” kataku membalas salamnya (di hati senang sekali dengar saya disapa mejuah-juah oleh orang yang bukan Suku Karo) .

Beru kai kam?” tanyanya. Membuatku sedikit gugup bercampur senang.

“Saya beru Karosekali,” tegas, jawabku.

“Jadi, kam pendukung Cagub Djarot, ya?” lanjut tanyanya.

“Jelas donk, pak,” jawabku tanpa sedikit pun ada keraguan,

“Pantesanlah, orang Karo pasti banyak dukung Djarot, karena PDIP,” katanya sambil sedikit tertawa.

Patung Soekarno dengan latar belakang pasanggerahan yang menjadi tempat pengasingannya di masa revolusi di Berastagi (Dataran Tinggi Karo)

“Kita pilih yang sudah kita tahu bagaimana dia bekerja, pak,” kataku sedikit menjelaskan kalau saya bukan melihat partai yang mengusungnya, tetapi orangnya dan riwayat kerjannya.

Lalu, katanya, dia juga asal Medan. Suka sama Djarot dan juga suka sama orang Karo.

“Orang Karo itu kalau ngomong alunan nadanya enak didengar. Beda dengan orang Batak, agak kasar,” katanya.

Saya hanya diam. Membisu sejenak. Sedikit senang atas pujiannya dan tentunya karena dia kenal betul dengan suku saya (Suku Karo).

“Terimakasih atas pujiannya. Sambungku, Bapak paham benar tentang Suku Karo, dan mengerti benar perbedaan antara Suku Karo dengan Suku Batak.”

Jawabnya, “Saya kan memang suka berpetualang, termasuk ke daerah-daerah yang mayoritas orang Karo. Mudah-mudahan Pak Djarot terpilih jadi Gubsu dan, lebih baik lagi kalau Pak Djarot suka berpetualang ke pelosok desa dan hutan biar dia tahu bagaimana desa di Sumut itu.”

Selain sangat mengenal Suku Karo, pria yang usianya hampir sekitar 60 tahunan itu masih tampak sangat bersemangat bercerita tentang pengalamannya ke desa-desa tradisional Suku Karo di Sumut.

Lanjutnya dengan bertanya, “Amburidi pernah dengar tidak?”

Jawabku, “Pernah, pak.”

“Saya sudah sampai di sana. Kami pernah berpetualang dari Kabupaten Langkat mengitari pinggiran sungai yang besar di Langkat itu.

Lagi katanya, Apa ya namanya, aku kok lupa ya, katanya sembari mencoba mengingat-ingat nama sebuah sungai di Langkat.

“Kami ikuti hutan dari pinggir sungai yang besar itu, tembus sampai di Kabupaten Karo., meneruskan ceritanya.

Tiba-tiba tanyanya, “Enggo kam man? (Apakah kamu sudah makan?)

Enggo (sudah), pak. jawabku sambil tersenyum.

“Apa ya, nama sungai itu??? kembali ditanyakannya. Terlihat dia seperti berusaha keras untuk mengingatnya.




Belum sempat diingat nama sungainya, kami harus sibuk dengan resep dokter yang masuk. Dan si bapak pun pamitan pulang.

“Lain kali kita ngobrol lagi beru Karo. Kata bapak yang ramah tersebut.

Sambungnya, lagi katanya: “Bujur melala. Meejuah juah.”

Lalu jawabku juga: “Mejuah juah pak.” Mengakhiri percakapan itu.

Suku Karo memang terkenal dengan Soekarnoisme sejati. Bahkan rakyat Karo pun menjuluki Soekarno dengan sebutan, Bapa Rayat Sirulo yang, jika diterjemahkan secara harafia adalah “Bapak bagi semua”. Bahkan mungkin bermakna setara dengan istilah Ratu Adil di Jawa.

Maka tidak mengherankan, saat Megawati Soekarno Putri muncul bersama PDIP, mayoritas orang Karo pun kemudian merapat ke Parpol tersebut. Bahkan seorang tokoh Karo, dalam orasinya pernah mengatakan, Kalak Karo, PDIP atau, Orang Karo, PDIP!

Namun, di 2 Pilgub Sumut sebelumnya, bahkan di pemilihan bupati/walikota baik di Sumut maupun di luar Sumut, suara masyarakat Karo pun lari ke calon yang diusung oleh partai lain. Akan tetapi, dengan munculnya Jokowi (pada Pilgub DKI dan Pilpres 2014), Ahok (Pilgub DKI), dan sekarang Djarot yang diusung PDIP di Sumut, menunjukkan tanda-tanda suara Karo mayoritas akan kembali ke PDIP.

Artinya, jelas bahwa orang Karo memilih dan merindukan jiwa Soekarno, bukan sekedar tampilan Soekarnoisme. Sehingga, saat ada Parpol yang kemudian sanggup menawarkan seorang tokoh berjiwa Soekarno, maka suara Karo ada di sana. Ini juga menjadi tantangan bagi PDIP pada Pemilu 2019 yang akan datang. Suara mayoritas Suku Karo ke PDIP atau tidak, itu tergantung pada Caleg yang ditawarkan.

Ingat! Bukan partainya, tapi orangnya.

FOTO HEADER: Megawati Soekarno Putri diterima di Medan oleh PDIP dan kemudian diajak menari bersama oleh para penari Suku Karo.











2 thoughts on “Dari Obrolan Tentang Karo dan Batak ke Djarot di Mata Suku Karo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.