Kolom Juara R. Ginting: BLUNDER KARTU KUNING (Runtuhnya Blokade Nyinyir)

Politik nyinyir dilancarkan terutama sekali oleh Amien Rais. Fadli Zon, dan Fachri Hamzah untuk menurunkan kepecayaan publik terhadap Jokowi. Di luar ketiga politisi ini kita temukan juga nama-nama Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani dari kalangan artis serta meluas ke kalangan penggiat media sosial. Untuk sementara waktu, politik nyinyir berhasil memperlambat peningkatan popularitas Jokowi dan bahkan berhasil pula memenjarakan Ahok hingga kemenangan Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Politik nyinyir mulai kurang berpengaruh sejak Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memimpin DKI Jakarta dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tampak sekali tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Ahok. Kebijaksanaan-kebijaksanaannya semua diarahkan untuk membuktikan bahwa Ahok dan Jokowi selama ini adalah salah.




Mulai dengan seolah-olah menutup Alexis dengan cara tidak memperpanjang ijinnya yang kemudian diketahui sama sekali ga bener. Lalu, “meliarkan” kembali Kali Jodo yang sudah sempat “direvolusi” oleh Ahok menjadi taman wisata lokal dan olahraga. Terakhir, dengan kebijaksanaan menghidupkan kembali becak sebagai angkutan lokal di DKI.

Tanpa sadar, Anies-Sandi sebenarnya sedang bergerak ke sebuah titik dimana para pendukungnya dulu akan berbalik memusuhinya. Para pemimpin lokal yang dulu berhasil mengarahkan warga DKI untuk memilih Anies-Sandi memang tetap akan masih setia sepanjang aliran dana lancar-lancar saja. Akan tetapi, sejarah perpolitikan dunia sudah mengajarkan pada kita bahwa masyarakat yang pernah sempat ketipu harapan dan harapan itu tak kunjung menjadi kenyataan biasanya akan berbalik menjadi musuh terbesar sang pemimpin yang telah menipunya.

https://www.facebook.com/FansJokowiR1/videos/1896917137290483/

Inilah salah satu kesalahan terbesar Anies-Sandi secara politik. Di satu ketika memang rakyat bisa diprovokasi untuk memusuhi pemimpin tertentu (dalam hal ini Ahok). Tapi, bila saja si pemimpin baru terus menerus menyerang si pemimpin lama yang, bagi mereka, sudah jelas-jelas berhasil dikalahkan, sedangkan kehidupan mereka tidak pernah berubah bahkan semakin sulit, maka rakyat akan sangat membenci pemimpin baru. Apalagi bila semakin telihat dan semakin mereka yakini tidak adanya niat pemimpin baru memperbaiki nasib mereka.

Saat itupun tiba ketika terjadi banjir barusan. Ilmu Politik juga mengajarkan, kelas terbawah di dalam masyarakat tidak lagi butuh argumentasi. Kelompok Anies-Sandi pasti tahu hal ini karena mereka menggerakkan kelas terbawah ini menghabisi Ahok juga berdasarkan teori itu, bahwa mereka tahunya hanya yang langsung-langsung berkaitan dengan kebutuhan hidup dan emosi mereka tanpa argumentasi panjang-panjang. Sama halnya dengan orang yang mati dikeroyok karena dituduh maling, Ahok dimusuhi karena dituduh menista agama Islam tanpa perlu ada penjelasan panjang-panjang.




Keterlibatan beberapa pakar di media sosial dengan bahasa mereka yang mudah dicerna oleh kelas terendah sekalipun akan menyadarkan masyarakat bahwa Anies-Sandi sebenarnya tidak punya strategi membangun Jakarta. Sangat terbaca, dulunya mereka pikir akan bisa memimpin Jakarta secara auto pilot dan sesekali mengarahkan moncong “mariam” ke arah Jokowi yang dentumannya akan menggerakkan media konvensional maupun media sosial menggugat Jokowi atau setidaknya menjadi amunisi barisan pendukung Prabowo untuk menyerang para pendukung Jokowi di medsos. Orang-orang mengatakan sasaran akhir dari taktik ini adalah Pilpres 2019 (Saya akan membuat tulisan terpisah yang mengulas bahwa sasarannya tidak hanya Pilpres tapi juga Pilkada serentak dan Pileg mendatang yang juga punya pengaruh besar terhadap Pilpress).

Blunder terbesar terjadi di pihak oposisi ketika saja Ketua BEM UI memberi kartu kuning ke Jokowi dengan alasan yang salah satunya adalah bahwa membangun jalan tol hanya menguntungkan orang kaya. Saya tidak perlu lagi membahasnya di sini karena sudah banyak tulisan beredar di media sosial yang menunjukkan bahwa pernyataannya itu adalah sebuah wujud kebodohan. Demikian juga dengan pernyataanya tentang ketidakbecusan Jokowi mengatasi masalah gizi buruk di Kabupaten Asmat.




Bukan sekedar blunder, tindakan Ketua BEM UI itu menunjukkan bagaimana wabah politik nyinyir sudah menjangkiti dunia kampus. Jangankan sekedar mahasiswa biasa, seorang Ketua BEM pun tanpa merasa malu mempraktekkan politik nyinyir dalam arti merasa tidak perlu tahu fakta yang sebenarnya, yang penting bisa menggunakan pepesan kosong (seperti halnya ucapan yang mengatakan hanya menguntungkan orang kaya) sehingga orang-orang terprovokasi.

Perhitungannya, uang untuk membangun jalan tol itu lebih dari cukup untuk mengatasi masalah wabah malaria dan gizi buruk di Papua. Dengan berkata seperti ini, dia mengabaikan sama sekali hal-hal di bawah ini:

1. Pemerintah sudah cepat tanggap dan mengupayakan bantuan segera ke lokasi masalah

2. Masalah yang sama bukan hal baru dan sudah terjadi sejak sebelum kepemimpinan Jokowi yang artinya ada masalah yang lebih grounded (mendasar) yang menurut Jokowi sendiri adalah otonomi daerah (tanpa menyalahkan siapa-siapa).

3. Salah satu dari akar permasalahan adalah sulitnya mencapai lokasi karena keterbatasan infrastruktur.

Inti dari ketiga hal di atas adalah bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi di Papua selama ini adalah sesuai dengan kapasitasnya sebagai presiden. Pemerintah Pusat segera mengirimkan bantuan ke Asmat ketika dirasakan masalahnya sudah terlalu parah. Bila belum separah itu, tidak ada alasan mengejek Jokowi tidak berbuat apa-apa karena masih ada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

Memang, seperti dikatakan oleh Ketua BEM UGM, tindakan kartu kuning yang dilakukan Ketua BEM UI sudahlah tepat untuk membuat persoalan ini menjadi bahan diskusi di tengah-tengah masyarakat. Saya juga sangat setuju dengan pendapatnya itu asalkan saja Ketua BEM UI tidak mempertahankan taktik politik nyinyirnya itu yang keuntungannya tidak lebih daripada sekedar memprovokasi massa untuk menjatuhkan Jokowi.




Walau bagaimana pun juga, kartu kuning dan alasan melakukan kartu kuning dari Ketua BEM UI adalah sebuah blunder yang justru menjatuhkan nilai oposisi yang selama ini tak pintar berpolitik kecuali dengan cara nyinyir. Kita ambil saja contohnya nyinyiran mereka tentang utang negara. Mereka melancarkan nyinyiran seolah-olah negara berhutang itu adalah pertanda kelemahan tapa menyebutkan apakah ada negara yang sama sekali bebas dari hutang. Bahkan Amerika Serikat merupakan salah satu negara berhutang paling banyak.

Kelebihan mereka berpolitik adalah memainkan kebodohan kalangan tertentu di masyarakat sebagai sebuah keuntungan. Bila kita berbicara dengan para abang becak di Jakarta dan mengatakan bahwa pemerintah sekarang meminjam uang sehingga berhutang untuk membiayai jalan tol di Papua yang keuntungannya hanya didapat oleh orang-orang kaya, sedangkan anak cucu kita akan diwajibkan membayarnya, jelas sekali para abang becak akan terprovokasi. Berbicara mengenai soal hutang negara secara lebih rasional hanya bisa dicapai di kelas menengah ke atas.

Bukannya mereka merasa berhutang untuk mengentaskan kebodohan, tapi justru mereka mempergunakan kebodohan segolongan masyarakat untuk keuntungan politik mereka yang, sampai saat ini, terlihat hanya politik kekuasaan dan uang secara spontan tanpa strategi jangka panjang.

Blunder kartu kuning menjadi semakin nyata ketika Jokowi mengunjungi Sumatera Barat kemarin itu. Tak disangka warga Sumatera Barat berjubel menyambut Jokowi dan mengelu-elukannya serta ingin bersalaman dengannya.

Saya jadi teringat pada Hari H ke TPS saat Pilpres yang lalu di KBRI Den Haag (Nederland). Ketika mewawancarai seorang Minang asal Sumatera Barat, katanya, dia memilih Jokowi, tapi diketahuinya pula bahwa Prabowo yang akan menang di Sumatera Barat. Ramalannya itu didasarkan pada komunikasinya dengan para kerabat dan teman-temannya lewat facebook. Ternyata, Jokowi memang kalah telak di Sumatera Barat.

https://www.facebook.com/ulta.fanriztafitri/videos/2015010045445984/

Ramalan kawan itu dan hasil Pilpres yang lalu di Sumbar membuat saya pesimis terhadap kemenangan Jokowi di Sumbar untuk Pilpres yang akan datang. Tapi, pesmisme saya itu langsung hilang melihat foto-foto dan video bagaimana orang-orang Minang menyambut Jokowi.

Berarti, ada sesuatu diantara Pak Jokowi dengan warga biasa orang-orang MInangkabau yang selama ini dibendung oleh para politisi asal Sumatera Barat yang, menurut dugaan saya, adalah pemilik politik nyinyir plus nyeleneh.

Apakah masa inkubasinya sudah berlalu atau Jokowi si pesilat internasional itu sudah mampu menembus blokade politik nyinyir?

Feeling saya berkata, siapa saja lawan Jokowi dalam Pilpress mendatang akan bersaing ketat dengan Jokowi di Sumatera Barat (tidak lagi semudah Pilpres lalu dimana Prabowo unggul telak di sana). Blokade nyinyir telah runtuh di Sumaera Barat.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.