Kolom Eko Kuntadhi: AHOK MEMBAYAR ZAKAT

Kementerian agama kabarnya sedang mengodok aturan soal pemotongan zakat dari gaji PNS.. Orang banyak protes. Ada yang beralasan bahwa zakat itu urusan kewajiban beragama, jadi janganlah negara ikut-ikutan ngurusin kewajiban itu. Ada yang mempertanyakan hukum fiqh dengan alasan perhitungan nisab wajib zakat.

Malah ada juga yang mencurigai bahwa uangnya nanti akan digunakan pemerintah untuk kepentingan politik. Protes yang terakhir biasanya keluar dari kaum pembenci pemerintah.




Saya sendiri memandang tidak mau masuk dalam perdebatan itu. Jika PNS yang dipotong ikhlas dan sadar itu adalah kewajibannya, ya gak masalah. Sepanjang tidak ada paksaan. Yang paling penting juga diawasi adalah lembaga pengelolanya. Sejauh apa zakat tersebut bisa bermanfaat untuk proses distribusi kesejahteraan.

Zakat memang kewajiban umat Islam yang secara sosial menjadi salah satu sarana untuk mendistribusikan pemerataan. Zakat diambil dari orang mampu (muzaki), dikelola oleh amil (lembaga atau panitia zakat) dan didistribusikan kepada orang yang membutuhkan (mustahiq).

Konsepsi dasarnya dibangun dari keyakinan di setiap hartamu ada hak orang lain. Meskipun proses pencarian harta dilakukan dengan cara sehalal-halalnya, tetapi diyakini tetap terselip hak orang lain di sana. Makanya wajib dikembalikan. Mirip-mirip hutanglah. Intinya, seorang yang kelebihan harta secara prinsip dia berhutang kepada orang-orang miskin dan dhuafa. meskipun bukan hutang secara formal.




Jadi, kewajiban zakat itu adalah keharusan mengembalikan hak orang lain dalam setiap harta yang kita dapatkan. Kalau gak didibayarkan, ya dosa. Sebab seseorang dianggap memakan hak orang lain, yang berada dalam kekuasaanya. Makanya hukumnya wajib.

Berbeda dengan sedekah atau infaq, misalnya. Itu adelah mengeluarkan harta yang memang bersih milik kita, untuk diserahkan kepada orang lain. Makanya sedekah bukan menjadi kewajiban. Sebab yang dikeluarkan adalah benar-benar milik kita.

Dengan kata lain, sedekah tidak wajib sebelum berzakat. Sedekah tanpa didahului dengan zakat, sama saja kita memberikan hak orang lain atas nama kita, kepada orang lain lagi.

Tapi, sejauh mana zakat dalam masyarakat muslim bisa menjadi sarana distribusi keadilan? Secara filosofi mestinya bisa. Jika saja harta yang dizakatkan itu benar-benar diusahakan dengan cara yang adil. Membayar zakat dengan harta yang didapatkan dengan cara yang tidak adil atau curang, bukan saja tidak ada gunanya. Juga berbahaya, sebab ini memanipulasi makna agama zakat sebagai sarana distribusi kesejahteraan.




Artiya, sebelum kewajban membayarkan zakat, yang lebih dulu dipentingkan adalah bagaimana cara seseorang mendapatkan hartanya. Jika hasil dari nyolong dan korupsi, gak ada gunanya zakat. Bahkan cuma jadi pemoles ketidakadilan saja. Sebagai topeng menutup keburukan.

Saya berpendapat sebelum seseorang menunaikan kewajban berzakat, maka pastikan dulu harta yang diperoleh dengan cara yang baik. Bila didapatkan dengan cara korupsi, maling, ngentit atau nyolong, buat apa bicara soal zakat. Itu seperti mengembalikan secuil uang hasil rampokan kepada pemiliknya.

Korupsi adalah merampok uang rakyat. Jutaan orang dirampok uangnya. Korupsi menyebabkan ekonomi berjalan jauh dari keadilan. Ketidakadilan ekonomi menyebabkan kefakiran akut. Dan kefakiran, kata Imam Ali, mendekati kekufuran.

Gak peduli politisi PKS menggunakan istilah liqo atau juz, korupsi ya, tetap korupsi. Gak peduli Abdul Somad bilang pada ceramahnya ada nyogok syariah yang dibolehkan. Nyogok tetap nyogok. Itu perilaku kampret. Yang nyogok maupun disogok, meski sama-sama enak, tetap dilarang. Sama juga merampok hak orang lain. Itu merusak keberadilan ekonomi.

Jadi, intinya begini. Apakah zakat akan memiliki makna besar sebagai sarana distribusi ekonomi dan punya nilai? Tergantung saja. Jika dipastikan hartanya diusahakan dengan cara halal, sistem zakat bisa menjadi dorongan besar untuk pemerataan kekayaan.

Tapi di tengah negara yang korup. Di tangan PNS yang suka nyolong, meskipun mereka dipotong gajinya untuk bayar zakat, gak akan ada banyak manfaatnya. Sebab yang dirampok dari rakyat jauh lebih besar dari gajinya yang dipotong.

Saya setuju saja, PNS dipotong gajinya untuk zakat. Tentu saja harus ada azas sukarela. Tapi yang lebih penting lagi, sebelum dipotong gajinya, pastikan saja korupsi di kalangan PNS berkurang. Itu yang sangat dibutuhkan orang-orang miskin. Pastikan saja haknya tidak diembat oleh PNS yang korup.

PNS yang merasa jadi orang suci setelah dipotong gajinya bayar zakat. Merasa harta korupsinya sudah berkah setelah dipotong 2,5%. Padahal 70% harta lainnya didapatkan dari nyolong.

Makanya, meski banyak koruptor dikenal suka bersedekah, mereka tetap saja koruptor. Sedekah itu cuma mengembalikan secuil dari hasil rampokannya. Itu amat sangat tidak berarti.




Kata Ahok, untuk menjadi pahlawan di jaman sekarang itu gampang, cukup tidak korupsi saja. Itu sudah langkah yang luar biasa.

Dan Ahok, sebelum ada rencana Kemenag soal zakat pada PNS, setiap bulan mengikhlaskan gajinya dipotong untuk membayar zakat. Ahok mencontohkan, bagaimana semestinya menjadi seorang muzaki yang baik. Dengan mendahuli untuk tidak korup.

“Ahok itu penganut kristen yang islami, ya mas,” ujar Bambang Kusnadi.

Saya hanya mengangguk pelan. Ada sedikit sesak dalam bathin, mengenang lelaki berkaos ungu yang tetap bicara penuh semangat waktu saya menjenguknya ke Mako Brimob, beberapa waktu lalu.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.