Kolom Asaaro Lahagu: AURA FREGAT PENCEGAT ANIES KE PODIUM

Saat gol Persija menghantam gawang Bali United, Jokowi mengucapkan selamat kepada Anies dan menyalaminya. Selama pertandingan, Jokowi dan Anies terlihat mesra. Hubungan keduanya akrab, harmonis, dan kompak. Ketika gol-gol Persija menghancur-leburkan Bali United, luapan kegembiraan Anies semakin menjadi-jadi. Hal yang sama diperlihatkan Jokowi. Secara psikologis, baik Jokowi maupun Anies punya kedekatan dengan klub Persija Jakarta. Hubungan kepersijaan itu yang membuat keduanya akrab saat itu.




Kemesraan antara Jokowi dengan Anies selama di Tribun VVIP menjadi rusak total. Hal itu terjadi ketika Anies dicegat oleh Paspampres untuk ikut naik ke podium. Sebagai tuan rumah, pun sesuai aturan dengan protokoler, Anies berhak diundang ke podium. Dengan kata lain, Anies, sebagai tuan rumah, sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dipilih 58% warga Jakarta, berhak mendampingi Jokowi untuk menyerahkan tropi bergengsi Piala Presiden itu.

Apakah tindakan Paspampres itu tergolong spontan, tak paham acara protokoler dan tidak mengenal Anies sampai berani melarangnya ke podium?

Sama sekali tidak. Anies pasti dikenal sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dari video yang beredar, Anies sebetulnya sudah tahu posisinya sebagai tuan rumah. Tanpa disebut namanya, ia spontan mengikuti rombongan Jokowi yang diperintah MC untuk turun ke lapangan yang selanjutnya naik ke podium. Namun, seorang Paspampres memberi penjelasan dan memaksa Anies kembali duduk di tempatnya semula.

Peristiwa pencegatan Anies itu membuat jagat media sosial heboh. Anies diposisikan sebagai sosok yang dizalimi nan dipermalukan. Fadli Zon kebakaran jenggot, Fahri Hamzah gusar dan Muhammad Taufik menggelepar-gelepar. Mau tidak mau, peristiwa itu ditarik ke ranah politik. Saya secara pribadi berpendapat bahwa kejadian itu terjadi karena adanya aura yang diskenariokan demikian. Tak mungkin nama Anies dilupakan oleh MC. Demikian juga Maruara Sirait sebagai SC sebagai tuan rumah, pasti mengingat nama Anies.

Paspampres juga paham bahwa jika Anies secara spontan ikut turut mendampingi Jokowi, tidak perlu dilarang dan dicegat. Toh Anies bukan rakyat biasa, tak dikenal, penyelenong atau orang asing. Anies adalah Gubernur DKI Jakarta dengan gelar professor, doktor lulusan Amerika. Saat itu ada banyak anggota panitia turut mengiringi rombongan Jokowi menuju podium. Pihak panitia yang banyak itu termasuk Maruara Siarait, tidak lebih penting dari kedudukan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta. Benar kata Fadli Zon, bahwa besar kemungkinan, jika Ahok yang duduk di sana, ia juga pasti turut diundang.

Lalu mengapa Anies tetap dicegat, namanya tidak disebut MC, pun Jokowi tidak memanggilnya yang sendirian di VVIP?

Jawabannya adalah aura. Ada auara yang saling berseberangan antara Jokowi dan Anies. Pun antara pendukung Jokowi dan pendukung Anies, ada aura yang saling bertentangan. Aura Anies tidak bisa bersatu dengan aura Jokowi. Anies adalah ahli tata kata, urutan kata, cita rasa kata dan frase kata. Anies adalah ahli teori langit ke tujuh, penggagas ide yang melayang-layang dan penuh imajinasi.




Sementara Jokowi adalah manusia pekerja, pendobrak, pelaksana. Jokowi adalah manusia realis, membumi dan merakyat. Kedua aura ini kalau dipaksa, hanya bisa bersatu di tataran semu, di taran palsu, di tataran kepersijaan, di tataran seremoni. Namun di tataran yang lebih mendalam, keduanya saling bertentangan. Jika Jokowi memecat Anies dari jajaran menterinya, itu karena aura keduanya tidak bisa bekerja sama.

Ide Anies untuk membenahi banjir Jakarta dengan vertical drainage-nya, terbukti omong kosong. Pun skenario rumah DP nol persennya, hanyalah varian kata. Kata normalisasi sungai yang diganti Anies dengan kata naturalisasi, hanyalah gagah-gagahan kata. Penataan Tanah Abang, pembiaran PKL berjualan di trotoar, pengijinan becak, pelarangan reklamasi Teluk Jakarta, hingga keberpihakan kepada pribumi adalah aura Anies yang berseberangan dengan Jokowi.

https://www.facebook.com/mediaoposisi/videos/1637432956343038/

Sepak terjang Anies yang memporak-poraknda kebijakan baik Ahok di Jakarta tanpa ada terobosan baru adalah contoh aura Anies yang merusak. Anies bukannya meneruskan yang sudah ada. Ia lebih banyak menghabiskan energi untuk mempreteli, mengobok-obok kebijakan konstruktif yang sudah ada. Hingga lebih 100 hari Anies berkuasa di Jakarta, tak terlihat ada terobosan selain pembentukan KPK Jakarta oleh tim 72 orang.

Genderang perang telah ditabuh. Anies telah dipermalukan telak. Ia dicegat oleh seorang Paspampres yang digerakkan oleh aura fregat yang bergentayangan pada saat itu. Aura fregat itu, membongkar dan merusak kemesraan semu keduanya. Perseteruan auara Jokowi vs Anies yang bakal bertarung pada Pilpres 2019 tak dapat dihindari. Aura keduanya akan saling berhadapan langsung dan tolak-menolak.

Genderang perang telah ditabuh, suaranya akan semakin hingar-bingar.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.