Kolom Andi Safiah: PHYSIC & POLITIC

Perbedaan mencolok antara Physic dan Politic ada pada prinsip. Physic berjalan di atas prinsip yang sudah dibuktikan bolak-balik. Sementara Politik, metode pembuktian bukan menjadi parameter sebuah keberhasilan seseorang.

Contoh dalam sejarah perjalanan manusia begitu banyak, bahwa manusia-manusia hebat yang pernah dicatat dalam sejarah bisa cemerlang sekaligus hancur dalam arena politik.

Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh soal kepemimpinan politik yang tadinya dipuja-puja kemudian dihinakan oleh sejarah. Salah satu yang paling populer di Indonesia adalah Sukarno, presiden Republik Indonesia pertama.




Sukarno adalah seorang presiden yang memiliki karakter sekaligus kharisma yang kuat ketika di atas podium, bahkan dia dijuluki Singa Podium ketika berorasi. Anak-anak muda generasi micin sekaligus tentu saja mengidolakan seorang Sukarno yang fantastik.

Namun, dalam perjalanan karir politiknya, Sukarno tidak semulus SBY yang flamboyan, tidak punya sikap politik yang jelas dan dia mencontek filsafat bunglon. Ke manapun bisa, menempel pada apapun bisa. Hasilnya, dia bisa menikmati kekuasaan dengan aman sentosa, walaupun pasukannya dihabisi oleh KPK.

Sukarno di ujung perjalanan karir politiknya dihabisi oleh Issue PKI, padahal kita sama-sama sadar bahwa sejarah tidak bisa dimanipulasi oleh apapun, bahwa PKI adalah partai pertama yang memenangkan Pemilihan Umum di Republik Indonesia pada tahun 1955.

Namun, apa yang terjadi dengan PKI, sama dengan apa yang terjadi dengan PDIP saat ini. Walaupun menjadi pemenang Pemilu, mereka justru dikeberi di parlement oleh partai-partai yang mendapat suara minimalis dari rakyat.

Kalau PKI dihabisi dan dicap partai terlarang, PDIP justru dihabisi di parlemen lewat permainan lobby dari partai minimalis di bawah komando Partai Golkar yang lolos dari tiang gantungan Reformasi tahun 1998.

Inilah wajah politik Indonesia dari zaman susah makan, hingga kelebihan makan macam duo politisi hebat Senayan saat ini. Politik yang dikerjakan tanpa berpijak di atas prinsip memang hanya akan melahirkan ANOMALI kekuasaan. Persetan dengan argument-argument “demokrasi” yang dibangun oleh politisi macam Fadli dan Fahri. Mereka adalah produk politik tanpa prinsip.

Bahkan, jika dilihat kenyataannya, seorang Fahri Hamzah yang tidak jelas kendaraan politiknya bisa menjadi salah satu ketua di parlemen. Sementara UUD 45 jelas menuliskan bahwa mereka yang duduk di gedung parlemen adalah mereka yang dipilih oleh rakyat lewat partai politik sebagai peserta Pemilu. Lah, Fahri Hamzah jelas sudah dipecat secara de facto oleh partai jelmaan PKI yang dibubarkan secara paksa oleh penguasa berlabel ORBA.

PKS, atau sering saya sebut sebagai Partai Komunis Sejati, telah bertanggungjawab melahirkan kader macam Fahri Hamzah yang kemudian merusak tatanan demokrasi Indonesia yang susah payah dilahirkan saat Reformasi. Sebagaimana manusia yang tidak punya malu karena tidak memiliki prinsip, politisi macam Fahri Hamzah bisa bebas berkeliaran di gedung parlemen.

Bagi rakyat seperti saya, ini adalah penghianatan serius terhadap konstitusi dan tidak satupun anggota parlemen protest terhadap status illegal dari Fahri Hamzah.

Lihatlah betapa anomali politik berlangsung begitu santai secara unkonstitusional, namun ketika berhadapan dengan logika agama, siapapun bisa jungkir balik di republik ini, termasuk presiden wong cilik macam Jokowi.

Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Mega, SBY, Jokowi, bisa berakhir dengan cara yang tragis jika prinsip dalam berpolitik tidak segera ditemukan. Yang ada sekarang justru bagi saya adalah produk kompromi anomalis dari para founding father hanya untuk menghindari pertikaiaan atau perang saudara.

#Itusaja!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.