Kolom Eko Kuntadhi: CACING KREMI MENCIPTA PKI

Para cacing kremi yang tergabung dalam MCA kini sedang gundah. Mereka tergabung dalam berbagai group MCA. Sebut saja The MCA Family, The Legend MCA, Srikandi Muslim Cyber dan sejenisnya. Group ini anggotanya ratusan, tersebar di seluruh indonesia.

Pasalnya polisi sedang memburu para begundal yang kerjaannya melempar fitnah dan menghasut dengan tujuan bangsa ini terpecah dalam perang kebencian. Salah satu hasil kerjanya adalah isu kebangkitan PKI yang digandengkan dengan penyerangan ulama. Padahal, sebagian besar kasus penyerangan ulama adalah hoax.

Mereka meciptakan isu, memviralkannya, lalu teriak-teriak PKI bangkit. Mereka memprovokasi siapa saja dengan isu agama. Dengan menunggangi nama Islam mereka ingin Indonesia terpecah menjadi berkeping-keping.

Ini sama saja dengan kuntilanak ngaku kesurupan.




Kita bisa mengambil pelajaran dari Syuriah. Jauh sebelum negeri itu hancur lebur, ada juga kelompok cecunguk seperti cacing kremi ini. Kerjaannya memprovokasi publik, memecah belah masyarakat Syuriah. Jika sudah berhasil, masuklah para begundal sesungguhnya yang datang membawa senjata. Di Syuriah, yang masyarakatnya damai hidup dalam berbagai mazhab agama, dimunculkan isu pertentangan Suni-Syiah.

Di Libya, lain lagi. Tugas memprovokasi publik dimainkan oleh HTI yang berhasil mendongkel Khadafi. Lalu masuk ISIS atau Alqaedah. Maka tamatlah masa depan Libya. Musnahlah harapan hidup layak di sana. Rakyat Libya yang tadinya hidup makmur, kini cuma bisa mengais tumpukan sampah.

Tapi ISIS dan Al Qaedah kini sedang terpojok di Timteng. Saudi sebagai menyandang dana mereka malah sibuk dengan reformasi bernegara. Ini akibat duit Saudi habis buat membiayai perang plus harga minyak yang tidak kunjung membaik. Negara yang tadinya puritan ini, bahkan khabarnya akan membangun pusat hiburan setara Las Vegas. Saudi juga akan menggelar festival jazz terbesar di Timur Tengah.

Nah, kelompok kampret seperti ISIS atau Al Qaedah butuh tempat operasi. Setelah gagal di Philipina lewat gerakan Abu Syayaf, mereka mungkin mengincar Indonesia. Ini adalah negara muslim terbesar yang sebagian masyarakatnya masih pekok beragama. Jadi, gampang dikompori.

Maka, pasukan penyebar fitnah disiapkan untuk menghasut masyarakat dengan berbagai isu murahan. Orang-orang pekok yang hobi main medsos direkrut. Polanya sama dengan para teroris itu direkrut. Didekati satu-satu untuk menjadi martir-martir penyebar fitnah.

Fungsi anggota kelompok ini sama seperti pengantin bom bunuh diri. Jika bom bunuh diri mensasar korban fisik yang banyak, maka pelaku penyebar fitnah dan hoax ini juga sedang meletakkan bom waktu di masyarakat. Nantinya jika berhasil dijamin jumlah korban akan jauh lebih banyak.

Sebab, masyarakat yang termakan fitnah saling membenci dan curiga akan mudah terprovokasi. Lalu konflik horisontal akan memuncak. Inilah yang dampaknya jauh lebih besar dibanding sekadar bom bunuh diri. Dampaknya juga bisa sangat panjang. Bahkan panjang banget.




Dunia mengajarkan, kebencian rasial dan agama tidak gampang dipadamkan. India dan Pakistan bisa jadi contoh. Sejak perpecahan berdasarkan agama pada 1949, sampai sekarang konflik India-Pakistan tidak juga reda. Dulu mereka bersatu membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Tapi, karena faktor agama, mereka membelah menjadi dua negara. Konflik diantara kedua negara masih terjadi sampai sekarang.

Bisa dibayangkan, jika cecungguk-cecungguk cacing kremi itu berhasil menjalankan misinya. Melempar fitnah, mengacaukan informasi, memompakan kebencian dan akhirnya mengobarkan konflik. Akan jadi apa wajah Indonesia masa depan.

Untung saja Polri masih sigap melibas mereka. Kini sebagian mereka mengganti nama group yang dikutinya. Sebagian ketakutan dengan membuang SIM Card-nya. Jika tertangkap, akan beralasan, “Saya cuma menyebarkan informasi saja, pak. Saya gak itu, itu benar atau gak.” Kayak pura-pura bloon gitu, deh.

Padahal keberadaan group-group WA itu mebuktikan bahwa sebuah isu benar-benar dipikirkan produksinya, diorganize penyebarannya, dipantau dampaknya dan dikuatkan pengaruhnya. Jadi, bukan hanya sekadar isu asal jadi, tapi dengan melewati perencanaan yang matang.




Jika ada tulisan soal kebangkitan PKI dibagikan ke 40 ribu orang, itu karena memang telah didesain dengan matang. Para pengikutnya bekerja dengan militansi perusak yang luar biasa.

Lantas, bagaimana dengan para pecinta kedamaian di Indonesia, yang semestinya merasa ngeri dengan fenomena seperti ini? Saya jadi teringat kata-kata Permadi Heddy Setya Abujanda. “Jangan harap kita bisa ngalahin MCA di medsos. Wong, kita juga menshare berita baik saja malasnya minta ampun. Kalau akun fitnah bisa dishare 40 ribu orang, terus kita mau berharap rakyat tidak terpengaruh?”

“Aku sih, rajin share, mas. Setiap tulisan Abujanda, aku selalu simpan, untuk aku kirimkan lagi.”

“Kirimkan lagi ke mana, Mbang?”

“Ya, ke nomornya Abujanda lagi. Via japri…”










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.