Kolom Eko Kuntadhi: BAGAIMANA MEMBEDAKAN RAISA DAN ISYANA?

Melihat orang memakai kerudung hitam panjang lengkap dengan cadar. Wajahnya tertutup kain hitam. Full. Cuma matanya saja yang terlihat. Saya selalu menebak-nebak, kira-kira dia langsing apa agak sintal, ya? Soalnya biasanya mereka menggenakan gamis lebar serba panjang. Kelangsingan dan kesintakannya tersamarkan.

Tebakan yang ke dua, bagaimana rupa wajahnya. Maniskah. Cantikkah. Atau ayu. Apakah dia punya alis yang menarik. Atau apa hidungnya bangir dan bibirnya penuh?

Oh, mungkin warna kulitnya. Apa kuning langsat seperti Raisa atau agak matang seperti Arie Kriting?

Yang terakhir, apa dia benar-benar perempuan? Sebab mungkin saja yang ada di dalam pakaian itu adalah Chuck Norris atau Ade Ray.







Dengan kata lain, orang luar tidak pernah tahu individu seperti apa yang ada di dalam sana. Ketika menggenakan pakaian itu seseorang telah menghilangkan identitas individunya di hadapan publik.

Dia seperti menghapus keberadaanya sebagai seseorang di dunia sosial dan hanya tampil dengan seonggok tubuh tanpa identitas. Bayangkan jika semua perempuan ‘sesholehah’ itu, apa yang bakal terjadi? Maksudnya, jika doktrin pakaian keruruban itu menjadi keharusan dalam agama.

Kita susah mengenali satu orang dengan orang lainnya. Sebab setiap perempuam akhirnya cuma jadi noktah yang sama dan serupa dengan perempuan lainnya.

Dalam interaksi sosial, tidak ada lagi Rahma, Cintya, Mita, Lisa atau Merry. Siapa yang bisa membedakan Rahma dengan Cintya jika keduanya menutupi diri dengan pakaian sama dan sejenis? Akibatnya mereka sendiri bisa tidak saling mengenali. Dan akhirnya terbiasa diabaikan dan tidak direken kehadirannya sebagai individu.

Padahal, ketika orang bilang “gue ke sini naik mobil”, yang diajak ngomong juga mau tahu, mobil apa? Taksi? Grabcar? Mobil pribadi? Angkot? Bus? Atau Truk. Bisa juga naik ambulance, kan?

Kalau pun mobil pribadi. Bisa juga jenis sedan, pick up, minibus, jeep dan lainnya. Setelah itu baru merk dan jenis. Artinya bahkan benda-benda saja perlu identitas lengkap agar bisa dikenali di ruang publik. Agar keberadaannya sebagai sesuatu menempati posisi khas dan unik.

Apalagi manusia mahluk yang secara pribadi memiliki kekhasan dan keunikan justru agar nilainya sebagai individu menjadi berarti. Keunikan itulah yang menjadikan seseorang punya nilai.

Untung saja sekarang di Indonesia para wanitanya belum se-‘sholehah’ itu. Karena, dalam masyarakat baru, satu dua yang bergaya serupa sehingga mereka tetap bisa dikenali sebagai individu. Masih bisa dilihat diferensiasinya dengan individu lain yang pakaiannya biasa saja.




Tentu saja sudut pandang saya ini bukan dari sisi agama. Sebab orang beragama yang membungkus seluruh dirinya dengan pakaian hitam panjang, pasti punya hujah atau alasannya sendiri. Punya dalil dan argumentasinya sendiri. Begitupun yang tidak setuju dengan pakaian model keruruban kayak gitu, ada banyak dalilnya. Masing-masing meyakini menjalankan agamanya.

Saya cuma berfikir, jika perempuan Indonesia sudah begitu sholehahnya sampai harus memakai cadar semua. Lalu bagaimana saya bisa membedakan Raisa dan Isyana? Haruskah Raline Syah dan Dorce Gamalama tampilan luarnya begitu serupa?

“Padahal membedakan perempuan sudah menikah dan yang masih lajang saja, sebetulnya tidak sulit toh, mas? Bisa dari fotonya saja.”

“Gimana caranya, Mbang?”

“Lihat saja dari caranya memegang microphone…”









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.