Kolom Boen Safi’i: WAYANG KHILAFAH

Malam Minggu kemarin saya sempatkan menonton wayang. Kebetulan dalangnya favorit saya, yakni Ki Kenthus alias dalang edan. Kadang cerita dan alur dari cerita tokoh pewayanganya out of the book, alias keluar dari pakem. Mosok, buto ijo diajak tawur sama dalange dewe. Maklum lha wong dalang gendeng.

Semua menjadi aneh, ketika kemunculan tokoh srikandi. Srikandi istri arjuna yang digambarkan sebagai tokoh perempuan cantik lahir dan batinya ini, terlihat berbeda dengan pakem penampilannya. Setelah saya amati secara seksama, ternyata tokoh pewayangan srikandi memakai cadar, termasuk Limbok, Dewi Drupadi, dll.

Belum hilang rasa kaget saya, sang sinden yang biasanya bersuara merdu kini terdengar kurang pas di telinga. Kayak suaranya tertahan sesuatu. Eh, lhadalah ternyata benar dugaan saya. Sang sinden sinden itu pun bercadar pula. Jadi gak tahu, mana yang Yati pesek dan mana Soimah. Soalnya, semua sama, mirip lontong.




Ternyata langgam-langgam Jawa yang sarat akan makna kehidupan, yang sedari tadi saya tunggu memang tiada. Saya kira tembang berbahasa Arab itu hanya sekedar doa dan hanya dinyanyikan di awal pertunjukan saja. Tetapi lama kelamaan, hanya tembang berbahasa Arab saja yang ada.

Tak ada lagi Gending Macapat. Tak ada lagi langgam Bajing Loncat, Mister Mendem, Bojo Nakal, dll. Semua diganti oleh Bahasa Arabia, yang terdengar kurang sreg di telinga. Itu belum sang dalang dan para waranggono yang pakaiannya tidak lagi memakai adat Jawa. Blangkon diganti surban, batik lurik diganti gamis, dan jidat mereka sama, yakni ada gosong-gosongnya.

“Lha, ko tambah gak karuan pertunjukan ini?” Gumamku.

Akhirnya kuputuskan untuk pulang, daripada nonton wayang kulit Jawa rasa Arabia, dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan, keanehan mulai kualami. Orang-orang yang biasa berpakaian kasual, kini berubah penampilan dengan bercelana cingkrang yang dipadu dengan rompi dan gamis.

Astagfirullah, saya ini sebenarnya ada di mana, to? Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hati. Tibalah saya di depan rumah, kuketok pintu berharap srikandiku mau membukakan. Dan begitu pintu di buka, maka tak sepatah kata pun yang saya ucapkan. Saya langsung semaput bin pingsan begitu melihat penampilan istri saya yang bercadar.

Terdengar suara keras meronta di kuping ini “pakneee, tangi pakkneee wes siang, goreng jemblem ko ditinggal turu, to?”

“Lhadalah, alhamdulillah ternyata saya hanya mimpi bune. Mimpi buruk lagi. Mosok nonton wayang, terus wayange pake cadar dan gamis semua?”

“Wes, tak budal jualan yo bune, ngendi jembleme? Wes gak usah jualan, pakne, jembleme gosong kabeh iki, lho”.

“Lhadalah ternyata jemblem ku yo ikut ikutan jadi HTI wahabi yo, bune, lha gosong?”

“Iyo, dadi wahabi soale pean ketiduran pas gorenge pakne. Wes bengi iki turuo ndek Poskamling maneh??

“Haduuhh ngapunten buneee, besok gak saya ulaaangiii ….”

Salam Jemblem.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.