Kolom Eko Kuntadhi: NASIB AHOK DI TANGAN TIGA HAKIM

Ahok mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya. MA memutuskan berkas PK Ahok diterima, selanjutnya akan disidangkan.

Kita tahu, PK adalah pintu terakhir untuk pencari keadilan. Dengan demikian, apapun yang akan diputuskan dalam sidang PK nanti, itu merupakan keputusan final.

Biasanya orang mengambil langkah PK, setelah keputusan Pengadilan Negeri lalu banding ke Pengadilan Tinggi dan berlanjut ke kasasi MA. Peluang pencarian keadilan masih terbuka apabila dirasa semua keputusan itu belum memberikan rasa adil. PK mensyaratkan adanya bukti baru (novum) atau juga indikasi terjadinya kekhilafan keputusan hakim.







Tapi, berbeda dengan Ahok. Ahok tidak melakukan banding setelah diputus 2 tahun penjara oleh pengadilan negeri. Dia menerima keputusan itu dan sekarang langsung mengajukan PK. Secara prosedur hukum tentu dibolehkan, sebab PK diajukan apabila keputusan dianggap sudah tetap.

Jadi PK semacam langkah korektif atas keputusan yang sudah dianggap tetap.

Bagaimana peluang dikabulkan permohonan PK Ahok terhadap perkaranya?

Setidaknya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, adakah bukti baru yang diajukan pengacara Ahok. Banyak orang memperkirakan bahwa bukti baru yang diajukan adalah keputusan persidangkan yang menyatakan Buni Yani bersalah atas perbuatannya mengedit video dan menayangkan pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang akhirnya menjadi sumber protes.

Logikanya, jika yang menayangkan video itu dinyatakan bersalah, maka otomatis Ahok yang ditersangkakan berdasarkan pidato dalam rekaman itu, bisa dianggap tidak bersalah. Hanya saja, rasanya bukti baru itu belum bisa dijadikan pegangan kuat, karena Buni Yani sendiri mengajukan banding atas perkaranya. Artinya bukti baru yang mungkin diajukan belum berkekuatan hukum tetap.

Faktor ke dua adalah terjadinya kekhilafan hakim dalam memutuskan perkara. Saya rasa di sinilah kekuatan yang bisa diajukan pihak Ahok. Jika pengacara Ahok dapat membuktikan faktor-faktor kekhilafan, seperti diabaikannya pertimbangan saksi ahli yang meringankan dalam pertimbangan putusan dan digunakannya pasal 156a dalam putusan padahal JPU menuntut Ahok hanya dengan pasal 156.

Di sinilah akan banyak diuji kembali perkara yang pernah disidangkan. Apakah benar telah terjadi kekhilafan dalam proses mengambilan keputusan. Apalagi kita tahu, proses pengadilan Ahok bisa saja dipengaruhi oleh tekanan-tekanan politis yang membuat sebuah keputusan menjadi bias.

Ada tiga hakim yang akan menangani PK Ahok kali ini. Ketiganya pernah menangani kasasi Jessica, yang dikenal dengan kasus Kopi Sianida.

Dalam kasus PK kali ini, ketua majelis hakimnya adalah Artijo Alkostar dengan anggota Salman Luthan dan Sumardijatmo. Kita tahu Artijo dikenal sebagai hakim yang sering memberikan hukuman berat kepada pelaku koruptor. Bahkan, beberapa kasus koruptor yang maju kasasi, ampun-ampunan jika sidangnya dipimpin oleh Artijo. Mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq, Anggelina Sondakh atau Akil Muhtar pernah merasakan kerasnya palu Artijo.

Sementara Salman Luthan adalah hakim yang berani berbeda pendapat dengan hakim MA lainnya dalam kasus Prita Mulyasari. Ibu-ibu yang ditersangkakan karena menulis surat pembaca mengkritik layanan sebuah rumah sakit ini, menurut hakin Salman Luthan tidak bersalah, sementara hakim lainnya menyatakan bersalah.




Salman sendiri bukanlah hakim karir. Dia sebelumnya dikenal sebagai akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam sidang PK kasus pembunuhan Munir, ketika hakim lain memutuskan untuk mengurangi hukuman terhadap Pollycarpus, Salman Luthan berpendapat berbeda.

Sedangkan Sumardijatmo sebelum melangkah ke MA adalah hakim tinggi pada PN Bandung. Sumardiatmo adalah hakim yang memutus bersalah Sumanto, lelaki cihui pemakan mayat itu.

“Tentang keilmuan, Bapak cukup berpengalaman. Tapi ilmu dan pengetahuan linear begitu saja. Kalau tidak membuat terobosan, ya, begitu-begitu saja,” kata komisioner Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman dalam proses wawancara seleksi hakim MA kepada Sumardijamo, yang waktu itu sebagai kandidat.




Nah, di tangan ketiga hakim inilah, masa depan Ahok akan ditentukan.

“Mas, kalaupun Ahok diputus bebas pada sidang PK, Kang Abu Kumkum tidak mungkin dukung dia jadi Wapres?”

“Emang kang Kumkum mendukung siapa Mbang?”

“Mardani, mas?”

“Alasanya apa, kok dukung Mardani?”

“Karena deket dari rumah ibunya, mas. Ibu Kang Kumkum kan di Cempaka Putih. Kalau mau ke Mardani, dia jalan kaki juga sampe…”









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.