Kolom Asaaro Lahagu: KONSOLIDASI STRATEGIS MANTAP, JOKOWI KINI DITUSUK DARI DALAM

Di tahun 2018 ini, gejolak dalam pemerintahan Jokowi terlihat minim. Lawan-lawanya kini banyak yang tiarap, menyerah, balik badan atau tersandung blunder. Sejak Januari hingga Maret 2018 ini, praktis tak banyak hal yang berpotensi menggoyahkan Jokowi selain isu fitnah bualan Amin Rais, Arseto Pariadji dan teror pesimistis Prabowo.

Titik kekuatan Jokowi adalah konsolidasi strategisnya dengan menempatkan orang-orang yang tepat di sekelilingnya. Di awal-awal pemerintahannya, harus diakui bahwa Jokowi sempat melakukan banyak kesalahan. Tetapi untung, kesalahan itu cepat diperbaiki lewat reshuffle kabinet yang kemudian berjalan mulus.

Beberapa kesalahan yang dibuat Jokow bisa dilihat dari pemilihan beberapa orang menterinya yang ternyata sangat berambisi menjadi Presiden. Sah-sah saja dan tidak ada yang salah jika setiap orang mau menjadi calon presiden di negeri ini. Namun, yang salah adalah ketika orang-orang itu menggunakan jabatannya untuk mempopulerkan diri dan membuat pencitraan berlebihan.







Kita sebut saja Rizal Ramli dengan ‘rajawali ngepretnya’. Ia lebih banyak membuat kegaduhan di kabinet ketimbang kerja. Kemudian ada Anis Baswedan dengan proyek ‘Indonesia mengajarnya’ yang dilakukan secara serabutan. Lalu Gatot Nurmantyo dengan ‘puisinya’ dan nobar film G 30 S-nya yang bersayap. Orang-orang ini, ketika berada di pemerintahan Jokowi, kerap bermain di dua kaki.

Kini, konsolidasi strategis yang dilakukan Jokowi sejak penolakan Budi Gunawan sebagai Kapolri, pergantian Ketua KPK, Panglima TNI hingga pergantian kepala staf kepresidenan, membuat posisi Jokowi lebih stabil. Ada Tito, Kapolri, ahli kontra teroris, sukses mengembalikan profesionalitas Polri. Ada Hadi Tjahjanto, Panglima TNI, yang sudah mampu mengembalikan TNI ke posisi sejatinya setelah dibelok-belokkan oleh Gatot.

Ada Muldoko, mantan Panglima TNI yang netral, dipilih Jokowi menjadi kepala staf kepresidenan. Muldoko mulai menunjukkan kemampuannya menetralisir berbagai tuduhan, fitnah, hoax yang dialamatkan kepada istana. Sosok-sosok seperti Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Basoeki Hadimuljo dan seterusnya adalah manusia pekerja yang jauh dari hingar-bingar ambisi menjadi Presiden. Benteng-pertahanan Jokowi dalam diri Luhut Pandjaitan, terbukti mampu menahan serangan dari lawan.

Dengan penempatan orang-orang yang tepat di sekitar Jokowi, maka lawan-lawan politik Jokowi terlihat semakin lemah. Hary Tanoe yang lelah melawan Jokowi sebelumnya, kini berbalik badan mendukung Jokowi. Aburizal Bakri juga demikian. Semenjak Golkar lepas dari genggamannya, Ical, panggilan Aburizal, tak bisa lagi mendikte Jokowi di parlemen. Ical kini lebih banyak diam.

Hal yang sama bagi mantan presiden SBY. Sejak puteranya AHY kalah dalam Pilgub DKI, SBY-Demokrat lebih banyak berdamai dengan Jokowi. Keberanian KPK yang menjebloskan Setya Novanto ke penjara dan Golkar beralih ke tangan ketua umum baru Airlangga, maka dukungan Golkar kepada Jokowi semakin solid. PDIP pun terpaksa mengumumkan dukungan kepada Jokowi sebagai Capres 2019 agar aura Jokowi tidak direbut oleh Golkar.

Di era Jokowi, Yusril Ihza Mahendra, tidak banyak memenangkan perkara. Kekalahan telak Yusril terakhir lawan Jokowi, bisa dilihat dari gugatannya yang kandas pembubaran HTI di Mahkamah Konstitusi. Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, sudah dibuat frustrasi sendiri dengan sematan tersangka karena terlalu kasar meng-nyinyiri Jokowi. Sementara Sri Bintang Pamungkas hanya bisa berkoak-koak, mengaum dengan gigi ompong, menggalang sebuah gerakan menolak Jokowi sebagai Presiden 2019.




Lawan-lawan Jokowi yang lain seperti Rizieq, memilih kabur ke luar negeri. Al Khaththath, Alfian Tanjung yang mencoba menggulung Jokowi, terlihat gagal total. Sementara Din Syamsuddin yang sebelumnya kerap menyudutkan Jokowi, kini terperangkap dalam jabatannya sebagai utusan khusus Jokowi untuk dialog dan kerja sama antar-agama dan peradaban.

Tinggalah Amin Rais yang masih konsisten menyinyiri Jokowi namun lebih banyak blunder akibat usia. Amin Rais pun menjadi bahan tertawaan publik dengan berbagai blunder perkataannya. Didukung oleh Fadli Zon yang disokong Prabowo, Amin Rais terlihat mati gaya. Kritik yang bersifat membangun dari oposisi semacam Fadli Zon, Fahri Hamzah juga menjadi barang langka.

Fadli Zon terlihat hanya bisa melontarkan kritik destruktif dan kurang cerdas memainkan posisinya sebagai oposisi. Gerinda terlihat lebih banyak nyinyir kepada Jokowi ketimbang menawarkan konsep program saingan. Anies Baswedan di DKI yang digadang-gadang bisa meroketkan elektabilitas Prabowo, ternyata lebih banyak membuat kebijakan blunder seperti mengijinkan PKL berdagang di tengah jalan.

Jika dari luar, potensi kekuatan Jokowi semakin lemah, tidak demikian dari dalam. Di dalam pemerintahan Jokowi, ada banyak orang-orang yang bertarung berebut kepentingan. JK tetap menjadi ancaman bagi Jokowi. Manufernya di DKI adalah contohnya. Ketika Amin Rais menyebut pemberian sertifikasi tanah oleh Jokowi sebagai sebuah pengibulan, JK malah memuji Amin Rais sebagai orang yang tidak lelah memberi kritik. Saya setuju dengan langkah PDIP yang meminta JK menjadi ketua tim suskses Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Itu adalah strategi untuk menjinakkan JK agar tidak banyak melakukan gerakan menyamping.

Sejumlah nama lain yang ada di pemerintahan Jokowi, masih berpotensi menusuk Jokowi dari belakang. Kini baru terkuak mengapa PDIP dan Golkar amat ngotot merevisi UU dan membuat Pansus KPK serta dengan licik meloloskan UU MD3 di DPR. Ternyata Setya Novanto terbukti melakukan korupsi uang e-KTP. Uang Rp. 5 miliar sudah dikembalikan kepada KPK dan itu adalah barang bukti korupsinya. Nama-nama politisi PDIP Perjuangan sebelumnya seperti Ganjar, Yasona, Puan Maharani dan Purnomo Anung, juga disebut dalam sidang KPK ikut kecipratan duit e-KTP. Hal itu menyebabkan PDIP ikut mengeroyok KPK.

Hampir saja Jokowi terjebak permainan DPR yang berambisi membubarkan KPK atau membuat Perpu tentang KPK jika ia tak paham permainan. Dalam diri Yasona sebagai Menkumham, misalnya, bisa dilihat tindakannya yang tidak melaporkan kepada presiden tentang perkembangan revisi UU MD3 di DPR. Hasilnya, sangat fatal. Presiden Jokowi dibuat malu dan terpaksa menolak menandatangani naskah UU MD3 yang telah disahkan oleh DPR itu.

Pernyataan Wiranto yang mengusulkan agar KPK menahan diri untuk tidak memproses hukum para calon kepala daerah selama Pilkada, merupakan tusukan kepada Jokowi yang gencar memberantas korupsi. Demikian juga pembiaran kasus Hary Tanoe menguap oleh aparat setelah mendukung Jokowi bisa memberi tusukan kepada Jokowi dari arah lain.

Mesranya beberapa partai politik seperti PSI untuk merapat kepada Jokowi, juga bisa semakin menambah tusukan. Kunjungan elit PSI di istana dan secara lugu membocorkan isi pertemuan mereka dengan Jokowi, bisa berakibat blunder bagi Jokowi. Apalagi dengan alasan demokrasi, PSI sudah membuat bayangan kabinet Jokowi 2019.

Gencarnya manufer Muhaimin Iskandar yang ngebet menjadi Cawapresnya Jokowi bisa menjadi tusukan lain kepada Jokowi. Muhaimin yang sudah mendatangi makam Taufik Kiemas untuk mendapat izin terlihat sangat optimis bisa menjadi Cawapresnya Jokowi. Bukan hanya Muhaimin yang berambisi menjadi Cawapresnya Jokowi. Ada Airlangga Hartanto, Romahumurziy, dan Puan Maharani berebut mati-matian menjadi Cawapresnya Jokowi. Siapa yang menjadi Cawapres Jokowi 2019, maka sangat berpeluang menjadi Capres 2024. Bahkan AHY dari Demokrat juga ikut menyelusup masuk. Bila AHY yang akhirnya menjadi Cawapresnya Jokowi, maka itu bisa merusak koalisi Jokowi dari dalam.

Persaingan di antara kubu di koalisi Jokowi bisa berakibat fatal jika kadernya tidak diakomodir menjadi Cawapresnya. Bukan tidak mungkin pada detik-detik terakhir, partai-partai di koalisi Jokowi mencabut dukungan karena kekecewaan. Nah inilah situasi berbahaya bagi Jokowi. Saran terbaik bagi Jokowi adalah berembuk dengan partai pendukungnya dan mengumumkan lebih cepat siapa cawapresnya. Hal itu untuk meminimalisir gesekan yang berakibat tusukan.

Jadi, di satu sisi, Jokowi berhasil melakukan konsolidasi strategis dan membuat lawan-lawannya semakin lemah, namun di lain pihak Jokowi membiarkan dirinya ditusuk oleh orang-orang di sekelilingnya. Begitulah kura-kura.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.