Kolom Andi Safiah: PENISTAAN AGAMA DAN JALAN ALTERNATIF

Kebebasan berpikir dan berpendapat di jamin oleh UUD 45 pada Pasal 28E poin ke 2. Artinya, selama pikiran dan pendapat bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka di hadapan publik, maka tidak ada alasan dan tidak ada hak bagi siapapun untuk melakukan tindakan-tindakan tidak bertanggungjawab di luar prosedur hukum yang berlaku di republik ini.

Terkadang kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat lewat saluran yang tersedia oleh teknologi sekalipun tidak membuat orang melakukan hal-hal yang di luar arena berpikir dan berpendapat, bahkan dalam banyak kasus terutama di Indonesia.




Mereka yang menyampaikan opini dan pendapatnya dalam media-media terbuka seperti Facebook bisa diperkarakan. Alasan-alasan yang di gunakan untuk memperkarakan sebuah opini atau pendapat lebih banyak di dasari oleh prejudice berlatar belakang SARA. Korban pengadilan SARA di Indonesia jika dilihat dari sejarahnya ternyata cukup panjang. Nama-namanya yang tersangkut kasus SARA selama Indonesia merdeka diantaranya ada nama:

Arswendo Atmowiloto, hanya karena tabloidnya Monitor melakukan survey yang menempatkan Suharto sebagai tokoh berpengaruh di urutan pertama, sementara nabi pujaan umat muslim Muhammad mendapat urutas 11. Dia harus berhadapan dengan aksi massa dan, akhirnya, diputuskan bersalah dengan hukuman 4 tahun 6 bulan.

Gafatar, atau biasa dikenal dengan “Gerakan Fajar Nusantara juga harus berhadapan dengan tudingan penistaan agama. Ketiga tokohnya dijerat pasal berlapis. Pertama, pasal penistaan agama 156 KUHP dan pasal 110 soal makar dan pasal 64. Ke tiga, tokoh GAFATAR adalah Musaddeq yang mengaku sebagai nabi. Andre Cahya sebagai Presiden Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul Muis Tumanurung selaku Wakil Presiden.



Yang terakhir dan pertama kali menikmati pasal penistaan agama adalah Ki Panji Kusmin pada Tahun 1968. Jika menelusuri perjalanan sejaran penistaan agama dan pasal penistaan agama pertama kali muncul justru di ujung rezim ORLA pimpinan Sukarno.

27 Januari 1965, sebelum lengkser Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden yang juga dikenal dengan “Pepres” no 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama.

Pepres inilah yang kemudian melahirkan pasal yang kita kenal sekarang dengan Pasal 156 a KUHP, yang biasa digunakan untuk menjerat si penista agama. Pada bulan Agustus 1968, sebuah majalah Sastra yang diasuh oleh HB Jasin mempublikasikan sebuah karya sastra dalam bentuk cerpen yang ditulis oleh Ki Panji Kusmin, dimana judulnya “Langit Makin Mendung”.




Cerpen ini sukses membuat umat Islam pada saat itu tersinggung yang perkaranya di tangani oleh PN Medan. Wal hasil, karena dorongan massa yang begitu besar akibat ketersinggungan emosional, maka Ki Panji Pamungkas dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan masa percobaan 2 tahun.

Lagi-lagi inilah problem dari negara yang mengurus keyakinan warga negaranya secara berlebihan. Jika saja negara yang konstitusinya sudah menuliskan lewat Pasal 28E poin ke 2 soal kebebasan berpikir dan berpendapat sesuai dengan hati nurani diterjemahkan secara bebas lewat media-media yang memang disediakan khusus untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam masyarakat, maka saya kira akan terjadi yang namanya proses dialektika dalam masyarakat. Masing-masing individu bisa mempresentasikan pemikirannya lewat argumen-argumen logis, bukan sikap-sikap emosional akibat ketersinggungan.

Sayangnya, kita lebih doyan memelihara ketersinggungan subjektif daripada membangun pengertian-pengertian lewat argumentasi logis.

Sejak tahun 1965, bangsa ini terjebak dalam mal praktek yang payahnya terjadi dalam lembaga yang bernama “pengadilan”. Sebuah kasus “sentimen” akibat “ketersinggungan irrasional” dipresentasikan di sana hanya untuk menghukum sebuah gagasan atau opini.

Sehingga, sebagai bangsa, kita terjebak dalam “prejudice illogic” yang sukses bikin masyarakat menjadi masyarakat yang “phobia”, masyarakat yang anti dialektika dan masyarakat yang gampang tersinggung bahkan marah hanya karena alasan-alasan yang tidak masuk akal.

Menjawab problem ini, bagi saya sebenarnya tidak rumit. Tinggal mencabut Pasal 156 a dalam KUHP dan biarkan masyarakat berdinamika dalam “Kepercayaannya” terhadap sesuatu. Pada akhirnya rakyat yang terbiasa berdialektikalah yang akan menjadi rakyat yang tangguh dalam berpikir.

Bukan rakyat yang cengeng ketika “keyakinannya” diusik oleh pertanyaan-pertanyaan logis.

#Itusaja!







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.