Kolom Acha Wahyudi: MEREKA MINTA MAAF

Satu setengah tahun lalu, aku keluar dari sebuah group yang isinya adalah para pendukung dr. Otto Rajasa sebelum persidangan dengan dakwaan penistaan agama. Aku kesel dan marah, karena mayoritas anggota group tersebut meminta dr Otto meminta maaf, sedangkan aku dan dapat dipastikan sebagian besar manusia normal di dunia ini pasti akan setuju denganku bahwa apa yang Ahok dan dr Otto katakan bukanlah hal yang salah. Malah sesuatu yang seharusnya diteriakkan dengan lantang.

Jadi, tidak perlu menyatakan permintaan maaf!!!

Walau aku pun menyadari bahwa mempertimbangkan meminta maaf atau tidak bagi Ahok dan dr Otto kala itu bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan.




Permintaan maaf adalah cara humble dalam mengatasi sebuah mispersepsi, di luar seseorang yang dituntut utk meminta maaf itu salah atau tidak. Maka akhirnya baik Ahok maupun dr Otto menyatakan permintaan maaf.

Hasilnya? Persis seperti apa yang aku prediksi. Walau telah meminta maaf, baik Ahok juga dr Otto, kedua orang yang selama ini selalu berbuat lebih banyak bagi orang lain, dibanding mayoritas manusia lainnya, harus menerima putusan penjara 2 tahun. Dr Otto ditambah dengan subsider 50 juta rupiah atau 1 bulan penjara, dijerat oleh pasal karet bin katrok; UU Penistaan Agama yang seharusnya hanya ada di negara-negara dzolim, terbelakang, dan antihumanis.

Persepsi terbentuk dari cara kerja otak. Cara kerja otak ditentukan oleh input atau informasi yang kita atau orang lain masukkan ke dalamnya.

Selain itu, persepsi juga ditentukan oleh perspektif… dari sudut pandang mana dalam melihat suatu hal.

Homo Sapiens yang hidup di era ini, adalah spesies dengan volume otak yang relatif lebih besar. Seharusnya manusia sekarang lebih cerdas daripada manusia yang hidup di abad-abad lalu, yang mudah percaya dongeng, mitos bahkan halusinasi orang lain, karena terbatasnya informasi dan ilmu pengetahuan.

Seseorang yang memilih percaya pada informasi tanpa data sebagai alat pengukur atau input yang tidak dapat dipastikan kebenarannya, dan lebih banyak memasukkan informasi negatif ke dalam prosesornya…. maka membuat cara kerja otaknya akan berubah. Walau berpendidikan tinggi, orang-orang jenis ini akan menjadi skeptis, dogmatis, apatis, radikal dan akan berakhir menjadi delusional, yaitu tidak dapat membedakan mana FAKTA mana WAHAM.




Inilah yang pantas disebut sebagai kiamat atau akhir dari spesies Homo Sapiens. Tidak ada lagi Homo Sapiens yang sesuai dengan arti katanya, dimana Homo sama dengan Manusia dan Sapiens adalah cerdas atau bijak. Homo Sapiens berubah menjadi Homo Homini Lupus yang artinya Manusia adalah serigala bagi manusia lain.

Saat itulah manusia tidak dapat memahami bahwa arti Cadar yang dimaksud Ibu Sukmawati adalah TOPENG dan manusia yang lebih menyukai alunan keroncong dibanding dangdut dianggap manusia yang melakukan kesalahan bahkan kejahatan.



Menjadi manusia pemberani…  tidak peduli atau penakut tetap akan mempunyai ‘ending’ yang sama. Cepat atau lambat… sama-sama hanya akan menjadi fertilizer bagi tanah. Jadi, yang terpenting adalah apa yang seharusnya kita lakukan sebelum masa expired tiba. Bagaimana seorang manusia meninggalkan jejak-jejak yang dapat menjadi tapak suci atau petunjuk mulia bagi generasi manusia selanjutnya. Bukan jejak penuh darah, kebencian dan semangat menghancurkan.

Namun ternyata tidak banyak manusia pemberani….A RISK TAKER….walau itulah pilihan karakter utama yang seharusnya kita pilih!

Dan sekali lagi perlu kita tegaskan … bahwa permintaan maaf Bapak Basuki Tjahaja Purnama, dr Otto Rajasa dan Ibu Sukmawati bukan pengakuan sebuah kesalahan…. Merekalah para Risk Taker sejati!!! permintaan maaf itu diucapkan tak lain untuk menyelamatkan agar kita tetap utuh menjadi suatu bangsa.

Salam hormat bagimu Ibu Sukmawati…

Majulah para pemberani!!!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.