Kolom Eko Kuntadhi: DIOBOK-OBOK, JANGAN SAMPAI MABOK

Dari segi elektabilitas, Jokowi masih jauh lebh unggul dibanding kandidat lainnya. Elektabilitas Prabowo sampai sekarang gak sampai 20%. Apalagi Gatot Nurmantyo, yang masih berkubang pada angka 3% saja. Jadi, jika kita menganut pandangan politik rasional, agak susah bagi kandidat lain mengalahkan Jokowi.

Hanya satu cara mengalahkan Jokowi: jika terjadi kondisi luar biasa.

Di sisi lain, keamanan Indonesia sebetulnya cukup stabil. Militer dan kepolisian kita lumayan kuat untuk menghalau kekuatan yang mau merusak bangsa ini. Tapi, sejak lama, kelompok-kelompok jihadis bernafsu mau menguasai Indonesia. Mereka sudah coba berkali-kali membuat teror. Tapi belum berhasil membuat rakyat kalang kabut.

Tujuannya, apalagi jika bukan untuk menguasai Indonesia dan mengganti paham kenegaraan dengan paham agama. Tapi toh, mereka saat ini gak bisa bergerak banyak, karena kondisi kita relatif stabil. Paling hanya membuat ribut-ribut kecil dengan bom bunuh diri. Setelah aksi itu, rakyat biasa lagi.

Bagi kelompok jihadis, hanya ada satu cara agar mereka bisa beraksi lebih jauh –jika terjadi kondisi luar biasa.

Dua kepentingan tersebut bertemu di sini. Di satu sisi adalah politisi sontoloyo yang berusaha memercikkan terjadinya kondisi luar biasa, sebab dengan cara itulah mereka berpeluang mendapatkan kekuasaan. Di sisi lain adalah para kelompok Islam garis keras yang syarat kiprahnya juga sama, terjadinya sesuatu yang luar biasa tadi.

Makanya jangan kaget jika di banyak kesempatan, politisi yang sebetulnya basis partainya adalah nasionalis seperti bekerjasama dengan kelompok-kelompok garis keras menentang pemerintah. Tujuan keduanya sesungguhnya berbeda, tapi syarat keduanya untuk mengusai Indonesia sama persis.

Jangan kaget jika belakangan seperti ada yang mengusahakan terjadinya kondisi luar biasa itu di Indonesia. Gesekan antar masyarakat terus dimainkan dengan harapan eskaliasinya semakin meningkat. Pelajaran yang mereka ingin ikuti, dulu pada 1998, Soeharto yang sangat kuat saja bisa ditumbangkan dengan mengobarkan api di seluruh negeri. Nah, kini mereka seperti mendorong kejadian 1998 terjadi lagi di Indonesia.

Jika pada 1998 isu yang dilemparkan adalah kebencian rasial. Tapi sekarang lebih parah. Kebencian rasial memang terus digembar-gemborkan, tapi kini ditambah dengan kebencian agama. Jika masalah rasial berkelindan dengan kebencian agama, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia jika terpecah konflik.

Daya rusaknya akan jauh lebih parah dibanding dengan 1998. Apalagi kini kelompok-kelompok garis keras di Indonesia jauh lebih kuat dibanding 1998 dulu.

Kita bisa potret fenomena belakangan ini. Di Jogja kemarin, dalam menyambut hari buruh, mahasiswa menggelar demonstrasi. Anehnya, dalam aksi demonstrasi itu juga mereka memasuki isu yang sangat sensitif, penghinaan kepada Sultan Hamengkubuwono X. Bukan hanya menghina, tetapi juga ada ancaman Bunuh Sultan.

Mereka juga sudah menyiapkan puluhan bom molotov. Kali ini sasarannya adalah pos polisi. Agak aneh memang, biasanya penyerangan pos polisi dilakukan para teroris. Mereka membenci polisi karena banyak menangkap teman-temannya sesama teroris. Ini kok, mahasiswa melakukan hal yang sama pada hari buruh. Kita sulit mencari benang merahnya.

Mungkin saja benang merahnya ada pada hasil penelitian BIN, bahwa 39% pelajar dan mahasiswa Indonesia sudah terpapar ideologi radikal.

Di Pontianak lain lagi. Sekelompok orang dari FPI mendatangi warga hanya karena perdebatan status di media sosial. Mereka menggiring warga dari rumahnya. Lalu di tengah jalan, dipukuli. Balok menimpa kepala korban sampai pecah.

Di Jakarta, suasana berbenturan juga sedang dimainkan. Pada CFD kemarin, terjadi beberapa persekusi yang tampaknya bukan hanya aksi spontan. Gaya dan kelakuan para persekutor seperti berusaha menaikkan tensi emosional publik. Memang sih, gak sampai memukul. Tapi kelakuannya itu, lho. Pasti membuat orang yang menonton kejadian tersebut jadi mendidih.

Singkatnya mereka mencoba memainkan teori Jhosua: Diobok-obok airnya diobok-obok. Ada ikannya kecil-kecil pada mabok.

Nah, masyarakat akan terus diobok-obok sampai mabok. Jika masyarakat mabok dengan konflik, otomatis hilang rasionalitasnya. Secara politik mereka akan mencari pegangan pada tokoh yang dianggap kuat. Bisa saja sosok yang dianggap mewakili militer.

Kelompok lainnya akan menaikkan isu karena tidak dilandasi dengan ajara agama, maka Indonesia jadi konflik. Lalu kaum fundamentalisme agama akan menampakkan dirinya lebih kentara.

Sebetulnya, dalam konteks demokrasi, persaingan adalah hal yang lumrah. Masalahnya sekarang ada kelompok yang gak yakin menang jika tidak menciptakan kejadian luar biasa tadi. Sebab tidak ada yang bisa dibanggakan dari prestasi calonnya dibanding petahana.

Tapi yang jauh berbahaya adalah kelompok yang mau menjadikan Indonesia seperti Suriah. Mereka adalah musuh kita selamanya.

Kayaknya suasana mengobok-obok ini akan terus berlanjut. Entah sampai kapan. Jika kita mabok, habislah bangsa ini. Selain kita kehilangan Presiden terbaik, mungkin juga akan kehilangan masa depan.

“Pantes aja, kamu kalo makan bubur gak diaduk. Takut cakwe-nya mabok juga ya?”








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.