Kolom Joni H. Tarigan: FILOSOFI SERAI

Suatu malam, di tahun 2014, 2 teman asal Padang begitu penasaran dengan sup ayam yang saya buat. Ketika itu, di sebuah kamar di The Quadrant Hotel & Suites yang kami sewa, saya memang sedang memasak untuk makan malam kami. Kami  harus memasak sendiri untuk menekan biaya hidup selama perkuliahan di The Univesity of Auckland.

“Wah, wangi sekali, bang!. Bole cicip kah, kayaknya enak, nih,” kata satu teman yang bekerja untuk Pertamina Geothermal Energy.

Tentu saja saya persilahkan mereka menyicipinya.

“Enak kali ini, bang. Sup apa namanya? Sup Karo?” tanyanya lagi.

Aku hanya tertawa saja mendengar pujian mereka. Menurut mereka aroma dan rasa selaras. Wangi di hidung, lejat di lidah, dan sehat untuk tubuh.




Tentu saja sehat, karena yang membuat aroma itu begitu khas adalah “SANGGAI-SANGGAI” alias serai. Rasa sanggai-sanggai ini masih saja mendominasi sekalipun sudah ditambahkan bawang Bombay dan sedikit garam. Resep ini saya peroleh ketika selalu memperhatikan Ibu dan Bapak saya membuat “TASAK TELU”. Sedikit tambahan, TASAK TELU ini merupakan makanan khas Karo yang dibuat dengan mengolah daging ayam kampung menjadi tiga bagian berdasarkan kelembutan dagim ayam.

Kembali ke sanggai-sanggai, kita tentu masih inggat beberapa waktu lalu sempat dihebohkan dengan berita “SETIPIS SANGGE-SANGGE” di media sosial. Sanggai-sanggai yang saya maksud adalah sama dengan SANGGE-SANGGE yang pernah booming itu. Daunnya memang tipis, bahkan jika tidak hati-hati bisa saja merobek kulit kita. Selain daun yang tipis, aroma yang segar, serta sudah dijadikan produk herbal (minyak sereh). Ada karakter lain dari tanaman ini yang sangat menarik perhatian saya.

Pada tahun 2014 saya meninggalkan sanggai-sanggai di pekarangan rumah selama 6 bulan, karena saya mengikuti pendidikan panas bumi New Zealand. Sepulang dari Auckland, saya mendapati sanggai-sanggai yang dulu masih kecil sudah sangat rimbun.

Ini mengagetkan saya, karena tanah di bawahnya tidaklah subur. Masih banyak batu dan semen sisa-sisa pembangunan rumah kami dulu. Rumah kami sudah berusia 5 tahun, dan sudah selama itu pulalah umur dari serai kami itu.

Tanahnya masih saja seperti itu, tetapi ia tetap hijau pertanda subur. Pernah suatu ketika, karena penasaran, saya korek akarnya dan saya menemukan akarnya berserak di atas batu. Saya semakin heran, tidak mungkin ada nutrisi bagi tumbuhan di dalam batu, apalagi bagi manusia.

Setiap kali saya mengambil beberapa batang serai untuk dijadikan bumbu, saya dengan teliti mengamati bagian-bagiannya. Pada dasar batang dekat dengan akar, banyak terdapat tanah gembur. Selain itu, banyak juga kulit dan daun yang kering. Saya tiba-tiba menemukan jabawan dari mana kesuburan serai itu, kendati tanahnya berbatu alias tidak subur dan hanya sedikit kandungan air.

Nutrisi terbanyak dari serai ternyata diperoleh dari bagian kulit dan daun yang sudah kering dan membusuk. Sekilas saya mengamati bahwa jumlah pembusukan daun dan batangnya sesuai dengan kebutuhan tanah gembur yang diperlukan. Dengan sedikit air, maka tanah yang berbatu tetap saja membuat serai tumbuh subur dan lebat. Ia tak pernah habis. Bahkan kadang kala kami harus mencabut sebagian untuk menjaga estetika taman.




Saya mempelajari satu nilai hidup dari sanggai-sanggai ini. Ia ini mampu bertahan sekalipun tanah berbatu, dan kemarau. Ia mampu bertahan dengan apa yang ia hasilkan sendiri. Ia tidak menjadi benalu untuk mendapatkan nutrisi, ia juga tidak kering sekalipun batu di bawahnya.

Bagi saya, jika manusia, maka inilah sosok yang memilih menghadapi tantangan dengan menyelesaikan masalah. Manusia yang mengeluarkan segala upaya untuk merubah keadaan, bukan menyalahkan keadaan. Ia tidak merenggut kebahagiaan orang lain, seperti benalu. Ia melihat kekurangan, tanpa menyalahkan, tanpa membenci, tanpa mencaci, dan memberi contoh bagaimana menjadi bagian kebaikan.

Saya jadi teringat tulisan Stephen Covey, dalam buku 7 Habbit, yang mengatakan bahwa “meberi contoh jauh lebih kuat dibanding hanya persuasif, atau berkoar-koar saja. Ia juga tetap menabur kebaikan sekalipuan ia difitnah, karena tujuannya adalah untuk kebaikan, sama seperti serai yang tetap subur kendati kemarau datang.

Hujan tak akan datang, sekalipun serai mengutuk hujan yang tak kunjung datang. Batu tidak akan berubah jadi gembur sekalipun sumpah serapah dilantunkan sang serai. Sedikit air akan diserap dari udara oleh daun tipisnya, dan meberikan dirinya sebagian membusuk dan menjadi tanah subur. Begitulah serai bertahan dan tetap tambah hijau.

KEKURANGAN DARI KEADAAN AKAN BERUBAH JIKA KITA SENDIRI MEMBERI DIRI UNTUK MERUBAHNYA. Begitulah kira-kira FILOSOPI SANGGAI-SANGGAI. Jika saja Stephen Covey mengetahui hal ini, mungkin ia akan berkata: “JADILAH SEPERTI SANGGAI-SANGGAI YANG MEMBERI CONTOH BAGAIMANA MENGHIDUPI HIDUP TANPA MENCELA ORANG LAIN”.

Salam semangat dan perjuangan.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.