Kolom Eko Kuntadhi: GEREJA TENDA BIRU DI PARUNG

Saya melihat orang-orang menjejerkan kursi plastik. Dibariskan dengan rapi. Tadi pagi, ketika saya sampai di sini, kursi-kursi itu masih bertumpuk. Tapi, sore ini, saya menyaksikan beberapa ibu saling membantu menyusun kursi plastik di sana.

Kursi-kursi itu disusun di bawah tenda permanen berwarna biru. Pada bagian depan ada altar dan beberapa lukisan menempel di dinding warna putih. Beberapa orang juga sedang menyusun pepohonan untuk hiasan altar.







Besok Hari Minggu, umat Katolik akan melaksanakan ibadah. Sabtu ini, kursi-kursi itu disusun untuk menampung jamaah. Tidak ada bangunan sebagaimana biasanya Gereja Katolik. Yang ada, kursi-kursi itu disusun di bawah tenda biru.

Ya, di bawah tenda biru. Mirip pesta perkawinan Desy Ratnasari.

“Sudah sepuluh tahun lebih kami beribadah seperti ini. Semua usaha sudah dilakukan, tetapi IMB belum juga keluar. Padahal umat Katolik di Parung makin berkembang dan gereja ini menjadi pusat pelayanan rohani,” ujar Pak Alex, seorang jemaah yang juga menjadi pengurus gereja.

Romo Gaib, yang menjadi pembina umat di gereja St. Joanes Baptista, Parung, Jawa Barat menimpali enteng. “Kita jalankan apa yang bisa kita jalankan,” katanya. Baginya, meski menjalankan ibadah di bawah tenda biru, tidak berkurang sedikitpun maknanya.

Walaupun, harus diakui, 10 tahun hanya mengurus sebuah IMB rumah ibadah memang bukan waktu yang pendek.

Ada sebagian masyarakat yang khabarnya masih menolak. Alasannya, sudah ada beberapa gereja di Parung. Padahal, gereja yang berdiri kebanyakan Gereja Protestan. Bukan Gereja Katolik. “Kalau Gereja Katholik belum ada,” ujar Romo Endro, yang kebetulan siang itu menjadi teman diskusi saya.

“Masyarakat belum bisa membedakan mana Gereja Katolik, mana Gereja Protestan. Mereka menyamaratakan. Makanya kami merasa perlu mengedukasi agar ada pemahaman.”

Jadi, ketika saya siang tadi menjadi pembicara diskusi di St Joannes Baptista, Parung, saya bicara di bawah tenda biru. Di ruang setengah terbuka tanpa bangunan permanen.

“Setiap Misa bisa dihadiri oleh 1500 jemaat,” ujar seorang ibu. Artinya gereja ini memang dibutuhkan umat Katholik di Parung. Sayang, sampai saat ini belum ada kepastian proses pembangunanya.

Saya tentu merasa gak enak hati. Ketika break diskusi, saya ijin sebentar keluar arena gereja. Berjalan sedikit, saya menemukan sebuab masjid yang baru saja dibangun. Kalau saya mau melangkah beberapa ratus meter lagi, saya akan jumpa lagi sebuah mushola.




Jadi, saya punya banyak pilihan lokasi untuk melaksanakan sholat juhur. Gak susah untuk sekadar sholat dan berdoa. Berbeda dengan umat Katholik di Parung. Mereka hanya memiliki satu tempat, itupun berbentuk tenda-tenda saja. Di sanalah saudara-saudara kita penganut Katholik mendekatkan diri dengan Tuhannya.

Sepuluh tahun menunggu ijin bangunan sebuah rumah ibadah tentu bukan perkara gampang.

Ah, negeri Pancasila ini. Negeri yang mengaku berdasarkan ketuhanan YME. Kenapa ada golongan yang begitu sulit untuk sekadar bermesra-mesra dengan kebesaran Tuhan. Kenapa membangun sebuah rumah ibadah lebih repot dibanding membangun sebuah kafe?

Lantas, kita meyakini negara ini bukan negara sekuler, tapi dibangun atas landasan agama? Bagaimana mungkin jika membangun sebuah rumah ibadah saja sulitnya minta ampun.

Ketika Juhur di masjid tadi, saya malu dengan saudara-saudara saya jemaah St Joannes Baptista, Parung. Saya bisa sholat nyaman di sebuah bangunan masjid permanen. Sementara mereka, harus bersabar 10 tahun lebih, hanya untuk menunggu IMB sebuah gereja. Entah sampai kapan.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.