Aku Indonesia, Menjadi Keturunan Tionghoa Bukan Pilihanku*

Oleh: Francis Tjia

Francis TjiaBener sekali apa yang ditulis oleh kak Lyana Lukito. Saya juga lahir dari keluarga Tionghoa yang pas-pasan. Waktu SD, tiap pulang sekolah kalo lewat kampung juga suka diteriakin “Hei …. amoy … amoy …. Cino…”.

Saya cuma diam saja karena gak punya pilihan, mesti lewat gang itu. Kalau lewat jalan besar terlalu banyak bus luar kota yang lewat situ sedangkan untuk pejalan kaki tidak ada trotoar.




Setelah lulus SMA saya hampir tidak bisa kuliah karena orangtua gak punya uang, Akhirnya pinjam uang ke adik papa untuk bisa kuliah di Jogja. Sejak kejadian Mei 1998, saya berpikir, sungguh malang nasib kami WNI keturunan Tionghoa. Saya lahir, besar dI Indonesia, menuntut ilmu, bekerja, bayar pajak dan saya juga gak bisa bahasa China, tapi kami ditolak. Bukan pilihan saya untuk berada di posisi seperti ini.

Waktu saya ke luar negeri, saya membawa kewarganegaraan Indonesia juga. Orang-orang di LN tetap memandang kami sebagai orang Indonesia meskipun mereka berparas sama dengan saya; berkulit kuning dan bermata sipit (mereka dari China atau Taiwan). Tetap kami orang Indonesia, mereka tetap memandang kami sebagai WNI, padahal di negaraku sendiri kami di tolak dan jadi korban kebencian mereka.

Asalku dari Indonesia, aku lahir di sini dan jadi keturunan Tionghoa bukan pilihanku. Tolong jangan membenci kami. Teman-teman dan orang yang saya kasihi banyak yang pribumi juga. Saya tidak membedakannya.

  • Tulisan ini menanggapi Kolom Lyana Lukito yang berjudul KAMI TIONGHOA CINTA DAN BERBAKTI KE TANAH AIR INDONESIA di SORA SIRULO (Lihat di SINI)







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.