Kolom Eko Kuntadhi: THE GREAT MIGRATIONS

Menyaksikan tayangan National Geographic, saya selalu takjub dengan liputan The Great Migrations. Acara ini mengisahkan sebuah perpindahan besar-besaran sekawanan hewan dalam jarak tempuh yang jauh. Jutaan Rusa Afrika (Wildebeest), misalnya, bermigrasi dari wilayah padang rumput Tanzania menuju Kenya, setiap tahun di bulan Maret.

Di belantara Afrika, ketika rusa-rusa itu berjalan beriringan, ratusan predator siap menunggu. Di darat, mereka bertemu sekawanan singa, heyna atau srigala. Ketika menyeberang sungai, buaya siap menanti santapan. Ribuan peserta migrasi akhirnya mati memenuhi logika ekosistem demi menjalani ritual kehidupan yang dasyat itu.

Kisah migrasi yang tidak kalah seru adalah ikan salmon. Ratusan ribu salmon berenang melawan arus untuk bertelur di air tawar. Dalam tayangan, kita saksikan, ikan-ikan itu seperti mampu memanjat air. Jarak tempuh perjalanannya bisa mencapai ratusan kilometer.




Saat melewati sungai yang dangkal, sekawanan beruang biasanya menunggu daging lezat ini. Juga burung elang. Termasuk para nelayan. Migrasi salmon membawa rezeki buat alam. Dari ratusan ribu salmon yang berikhtiar memperpanjang tali kehidupan, tidak sedikit yang akhirnya terkubur di perut Beruang, Elang, atau berakhir di meja makan jadi sashimi.

Dengan kata lain, untuk sebuah ritual kehidupan, taruhannya adalah nyawa. Tapi, hukum alam telah mengatur. Mungkin dari sanalah sebuah lingkar kecil ekosistem tercipta. Tuhan memang maha adil.

Di stasiun TV nasional, saya juga menyaksikan kisah migrasi yang lain. Setiap menjelang lebaran, jutaan manusia Indonesia serempak melakukan perjalanan bersama (mudik). Jika Rusa dan Salmon melakukan migrasi untuk alasan-alasan yang sifatnya biologis — mencari padang rumput baru atau air tawar untuk bertelur– alasan migrasi ala manusia ini mungkin lebih bersifat spiritual.

Dengan mudik, manusia melakukan perjalanan sejarah. Mereka mencoba menyatukan kembali hidupnya dengan masa lalu. Tentu saja kompleksitas mudik, tidak sesederhana migrasi kawanan Rusa Afrika atau Salmon.

Mudik adalah perjalanan jutaan anak manusia, menempuh ratusan kilometer, untuk berkumpul dengan sanak famili. Merindui tanah kelahiran. Mempertautkan kembali silaturahmi. Atau apapun alasan non-material lainnya.

Tapi, berita tentang prosesi mudik juga membawa duka buat saya. Jika melihat data 2010 terjadi 2.382 kali kecelakaan yang memakan korban jiwa 632 orang. Sedangkan pada 2011 jumlah orang yang meninggal saat mudik mencapai 587 orang.




Untung saja jumlah korban ini terus menyusut. Pada 2015 jumlah korban jiwa akibat kecelakan saat mudik menjadi 328 dan 244 korban pada tahun 2016. Dengan kondisi jalan yang lebih baik, semoga jumlah korban jiwa terus menurun.

Menyaksikan angka-angka itu, saya tentu sedih. Saya membayangkan prosesi mudik yang penuh resiko, seperti juga proses migrasi rusa Afrika atau ikan Salmon. Tapi mudik adalah salah satu ritual kehidupan manusia Indonesia.

Mudik seperti panggilan alam, yang dapat men-charge kembali bathin kita dari kesumpekan. Yang mempertautkan hidup dengan sejarah. Yang mengajak kita kembali ke akar primordial. Semua sadar resikonya, tapi panggilan alam memang sukar dilawan.

Suasana mudik hari ini Bandara Soekarno–Hatta, Cengkarek (Selasa 12/6: Pkl. 10.30 WIB) (Foto: ITA APULINA TARIGAN)

Kita berharap semakin hari kita menjadi semakin cerdas. Mudik adalah ritual yang sudah puluhan tahun terjadi. Tentu pemerintah, kepolisian, dan para pemudik bisa terus belajar dari tahun ke tahun. Sebab, kali ini yang melakukan migrasi besar-besaran adalah manusia. Mahluk yang terus belajar dari masa lalu.

Sudah pasti, bisa diciptakan sebuah manajemen perjalanan yang lebih baik. Para pemudikpun, bisa belajar menghargai kehidupan. Bisa belajar mentaati sistem demi keselamatannya. Belajar untuk tidak mengambil resiko tragis.




Tapi kini mudik bukan hanya soal perjalanan menuju kampung halaman. Kini mudik juga dihiasai dengan pertanyaan: Jika lewat tol bayar apa gak? Orang normal pasti menyiapkan pembayaran begitu memasuki gerbang pintu tol. Di mana-mana juga begitu. Sementara pemudik abnormal berharap tol gratis. “Ini jalanan rakyat. Kenapa harus bayar?” kata seorang tukang cendol.

“Cendol juga milik Allah, tapi lu tetap saja minta duit sama pembeli,” jawab penjaga pintu tol.

Ya Allah, jagalah saudara-saudara kami, para pemudik dalam perjalanannya. Jauhkanlah mereka dari mara bahaya. Sehatkan badannya dan cerahkanlah bathinnya. Limpahkanlah kebaikan kepada mereka semua.

Jika ada spanduk politik yang mengganggu konsentrasi perjalanan, cuekin saja. Gak usah membunyikan klakson tiga kali: Neno, neno, neno!

Percayalah, kini sudah gak musim lagi pepatah lama –alon-alon asal klakson! Sebab jalan-jalan sudah mulus. Ngengggg…

HEADER: …. Jalanan Jakarta mulai akhir pekan kemarin sudah agak kosong ditinggal pemudik. Jalanan yang kosong terkadang membuat pengendara terlena dan terus menggeber kendaraannya …. (Kutipan berita Tempo 12 Juni 2018) ( Foto: Samsudhuha Wildansyah/ detikcom)







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.