Kolom Eko Kuntadhi: MENJELANG LEBARAN DI RUMAH ABU KUMKUM

Dia ingat pernah membaca sebuah nasihat: “Kesalahan terbesarmu adalah kepada dirimu sendiri. Minta maaflah kepadanya. Semoga dia mau memaafkanmu.” Lalu dia menuliskan sebuah kartu pos.




“Aku lupa ini lebaran ke berapa yang kita lalui. Seingatku, sepanjang waktu itu aku tidak permah meminta maaf padamu. Padahal akulah yang sering mengajakmu berbuat kesalahan. Aku membetotmu dalam kegelapan. Kamu sering menasehatiku, tapi kerap kali aku abaikan. Maafkan aku. Maafkan lahirku, maafkan bathinku.”

Lalu, dia menuliskan nama dan alamatnya sendiri di kartu pos. Menempeli dengan prangko, mengantarkannya ke kantor pos.

Beberapa hari kemudian, dia dapati kartu pos itu tergeletak di ruang tamu. Ia membaca nama pengirimnya, dan tersenyum mendapati namanya sendiri di sana.




“Kamu egois. Kenapa hanya mengirim kartu lebaran untuk dirimu sendiri? Kenapa kamu gak kirimkan juga untukku?” tetiba dia mendengar suara protes dari istrinya.

“Iya, papa egois. Aku juga gak dikirimi kartu lebaran,” ujar anaknya yang paling besar.

Ia tersenyum menghadapi protes itu. Dia tahu, kenapa ia enggan mengirimkan kartu lebaran buat istri dan anaknya. Ia juga enggan berbasa-basi mengirimkan permohonan maaf lahir bathin via WA, SMS atau membuat status di media sosial.

“Aku sebetulnya tidak mau jadi orang yang selalu berfikir suudzon,” bisiknya pada diri sendiri. “Jika aku minta maaf kepada mereka, artinya aku mengira bahwa mereka gak akan memaafkanku sebelum diminta. Padahal aku yakin mereka semua sudah memaafkanku, tanpa harus aku memintanya.”

Tapi, sikap seperti itu tidak bisa diterapkan kepada istrinya. Meskipun dia harus tetap bersangka baik bahwa perempuan itu sudah memaafkan meskipun dia tidak memintanya, seorang perempuan tetap membutuhkan basa-basi. Mereka selalu haus dengan kata-kata, walaupun mereka tahu pasti, di jaman medsos ini kata-kata sudah kehabisan energi untuk mensimbolkan kenyataan.

Tapi, memang dia harus menuliskan sesuatu untuk istrinya. Diambilnya secarik kertas, dan ia mulai menulis.

“Ketika tangan tidak bisa menjabat. Ketika kaki tidak bisa melangkah. Ketika mulut tidak mampu berucap. Ketika telinga tidak bisa mendengar. Ketika mata tidak bisa memejam. Aku sampaikan melalui surat ini, ucapan tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Selamat merayakan Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin.”

Lalu dilipatkan kertas itu. Dimasukkan ke dalam amplop warna putih.

“Ma….” teriaknya memanggil istrinya.

“Iya, kenapa? Aku lagi masak. Nanggung, nih,” balas suara dari arah dapur.




Dia menghampiri asal suara jawaban itu. Mendekati perempuan yang sedang berhadapan dengan rendang di kuali. Lalu diserahkan amplop tersebut.

“Taruh di meja dulu. Tanganku kotor,” kata istrinya. Dia meletakkannya di meja makan sesuai dengan insruksi.

Setelah itu dia duduk menghadap televisi. Siaran suasana mudik ramai diberitakan. Lalu lintas ramai lancar. Para pemudik menyusuri jalan tol yang relatif lancar.

“Tahun ini papa gak mudik?” tanya anaknya.

“Kayaknya gak. Kamu mudik?” balasnya.

“Gak juga. Aku lebih suka lebaran di Sragen sini ketimbang mudik ke Jakarta,” jawab anaknya lagi.

“Katanya kamu suka Pondok Indah Mall? Itu cuma ada di kampungmu, Jakarta. Di Sragen gak ada yang seperti ini.”

“Gak apa-apa. Tahun ini gak usah ke PIM. Masa setiap mudik, acaranya ke PIM doang. Aku lebaran di sini aja. Kalau papa mudiknya ke mana?”

Ketika ditanya seperti itu, dia tercenung. Selama ini memang dia mudik. Bahkan hampir setiap tahun, tapi gak pernah kepikiran dia harus mudik ke mana. Pertanyaan anaknya itu menohok ulu hatinya. Ke manakah dia mudik selama ini?

“Hmm, aku rasa ke Jakarta juga. Sama seperti kamu,” jawab papanya.

“Kok bisa sama, sih, pa?”

“Mungkin karena ini keluarga. Makanya alamat mudikmya sama.”

Lalu anaknya yang paling kecil, usia 6 tahun, ikut bertanya. “Pa, Habib Rizieq lebaran tahun ini mudik ke Petamburan, gak?”

Papanya kaget. Anak usia enam tahun kok bisa-bisanya bertanya seperti itu. “Kamu kok nanyanya begitu? Kamu tahu dari mana soal itu?” tanya papanya pemasaran.

“Aku followernya om Eko Kuntadhi, pa. Aku sering baca statusnya,” jawab anaknya lagi. “Om Eko juga sering nulis nama papa di statusnya. Papa Abu Kumkum, kan?”




Mendengar jawaban anaknya itu, dunia mendadak menjadi gelap. Dia pusing. Hatinya menjerit. “Ya, Allah, amak sekecil itu berkelahi dengan waktu,” jeritnya dalam hati. Dia tahu, jeritan itu gak ada hubungannya dengan situasinya sekarang. Dia cuma hendak bersenandung.

“Jadi, selama ini kamu tahu nama asli papa Abu Kumkum?”

Anaknya mengangguk. Matanya yang bulat menatapnya. Menatap lelaki yang sedang gelisah itu. Lalu dia menarik papanya, bermaksud mendekatkan bibirnya ke telinga papanya. “Jangan khawatir, pa. Aku gak akan bocorkan rahasia ini ke mama. Sampai sekarang, mama gak pernah aku kasih tahu, kok.”

Alhamdulillah, bisik Abu Kumkum lega. Lalu diapun mencomot sebji nastar dicaplokan ke mulutnya.

“Lho, papa gak puasa?”

Mendengar pertanyaan itu, Abu Kumkum tersedak. Nafasnya sesak. Sebuah nastar melintang di kerongkongannya. Untung saja anaknya sigap. Ditepuk-tepuk bahu papanya sampai nastar itu muncrat keluar.

“Maafkan aku, ya pa. Aku sudah bikin papa teesedak. Minal aidin wal faidzin, pa. Mohon maaf lahir dan bathin.”

“Sama-sama, nak…”

Kemudian bapak dan anak itu saling berpelukan. Erat sekali.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.