Kolom Eko Kuntadhi: KEKUASAAN YANG AKRAB

Berbaju kaos seadanya, celana pendek dan bersandal jepit. Ada juga yang membawa serta topi capingnya. Mereka berjajar memasuki istana Bogor. Wajahnya sumringah. Mungkin ini adalah momentum seumur hidupnya. Mereka memang suka melalui istana yang megah itu sambil mengayuh becaknya. Mengantarkan penumpang. Mencari rezeki.

Diperbolehkan masuk ke dalam istana, tentu bisa jadi hanya mimpi.




Tapi, mimpi itu jadi kenyataan sekarang. Serombongan penarik becak, datang dengan pakaian seadanya. Diterima Presiden Jokowi. Mereka bersilaturahmi dengan pemimpinnya di hari raya.

“Saya terharu. Ternyata tukang becak seperti saya bisa juga masuk ke istana Presiden,” ujar Ending, tukang becak yang biasa mangkal di pasar sekitar Bogor.

Pagi tadi, mereka bersama sekitar 2.000 orang lainnya bersalaman dengan Presiden Jokowi, mengucapkan selamat hari raya, menjejakkan kaki di istana. “Kami dimanusiakan. Sama dengan tamu lainnya.”

Saban tahun Presiden Jokowi memang menggelar open house. Tahun lalu, open house digelar di istana negara Jakarta. Serombongam pedagang kaki lima dan petugas kebersihan hadir juga dalam acara itu. Basa-basi dan protokoler berbusana tidak berlaku. Rakyat bisa hadir dengan wajahnya yang asli. Diterima sebagai manusia, sebagaimana layaknya seorang tamu. Bersama ibu negara, Presiden Jokowi menyalami mereka satu per satu.

Ini bukan kali pertama. Ketika pernikahan Gibran di Solo, Presiden juga menerima para tukang becak di atas pelaminan. Mereka datang bercelama pendek dan handuk kecil masih melingkar di leher. Menyalami Presiden, ibu negara dan kedua mempelai.




Jokowi menyambutnya dengan akrab. Sebab mereka adalah para tukang becak yang sering mangkal di sekitar rumah pribadinya di Solo. Mungkin saja diantara mereka adalah saksi hidup begaimana Gibran, Kahiyang dan Kaesang tumbuh. Ketika mereka hadir sebagai tamu undangan di acara pernikahan anak seorang Presiden, berbaur dengan para elit undangan lainnya, tidak ada beda. Semua adalah tamu. Dan tuan rumah yang baik wajib memperlakukn tamu dengan baik.

Di jaman Jokowi, kekuasaan menjadi begitu akrab dan dekat. Presiden bukan lagi posisi setengah dewa. Dia hadir di tengah rakyat. Dia tampil dalam dengus kehidupan rakyat. Sebelum lebaran, Jokowi sempat mengunjungi rumah kontrakan Gibran dan keluarganya di sekitar Sunter, Jakarta. Rumah itu biasa saja. Jalan di depannya hanya bisa dilalui satu mobil.

Gibran tampaknya ingin dikenal bukan sebagai anak seorang Presiden negeri besar ini. Dia hanya seorang pedagang martabak, yang mencari nafkah untuk keluarganya.

Jikapun untuk keluarganya juga demi usaha di Jakarta dia harus mengontrak rumah, terus masalahnya apa? Inilah yang baru bisa dicapai oleh seorang pedagang martabak. Ya, rumah kontrakan seorang pedagang martabak. Bukan istana mewah seorang anak Presiden.




Mungkin revolusi mental memang sedang dibangun Jokowi. Dimulai dari keluarganya. Dimulai dari anak-anaknya. Dan itu ditampilkan dengan jelas ke hadapan publik. Sebuah kisah anak seorang Presiden yang harus berjuang menghidupi kekuarganya sendiri.

Beberapa tahun lalu kita juga mendengar putri Jokowi, yang bercita-cita jadi pegawai negeri di Pemda Solo, ternyata tidak lolos seleksi. Meski anak seorang Presiden, ketika tesnya tidak mencapai hasil memuaskan, Kahiyang Ayu harus merelakan mengubur mimpinya jadi PNS.

Seperti juga Gibran, ketika tes CPNS, Kahiyang bertindak seperti layaknya ribuan pelamar lain. Dia tidak menempatkan diri sebagai putri seorang Presiden. Bagi Jokowi, revolusi mental dimulai dari lingkaran paling dekat. Tapi, mungkin berbeda di mata seorang anak muda lain yang baru melek politik. Dia berpidato mempertanyakan revolusi mental. Dia mengkritik makna revolusi mental yang pernah dicanangkan Presiden Jokowi.

Padahal anak muda mantan Mayor itu, bisa berdiri di situ, karena bapaknya. Bukan karena prestasinya sendiri. Dia berpidato digagah-gagahkan –mungkin sambil melirik telepromter– juga karena dia anak seorang ketua umum Parpol yang mantan Presiden. Ketika dia bertanya soal revolusi mental, sejatinya dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri.

“Jokowi itu seperti saya, mas,” ujar Abu Kumkum.

“Kok bisa, kang?”

“Iya, aku juga gak akan membantu kalau anakku jualan minyak telon oplosan seperti bapaknya. Itu KKN.”

“Lha, emangnya kamu berharap anakmu nanti jadi apa?”

“Jadi Capres ajalah, mas. Meskipun saya tahu, jadi Cagub aja belum tentu kepilih.”







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.