Kolom Joni H. Tarigan: STRATEGI EKONOMI SUMUT

Saya menonton cuplikan debat terahir (ke-3), Cagub dan Cawagub SUMUT yang akan bersaing pada PILKADA 27 Juni 2018 besok. Cuplikan yang saya tonton adalah bagaimana solusi dari pasangan calon terhadap adanya kasus Human Trafficking atau perdagangan manuisia.

Saya sangat terkesan dengan paparan solusi yang ditawarkan oleh pasangan Djarot-Sihar.




Kira-kira solusi mereka adalah mempersiapkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan serta penyediaan lapangan pekerjaan dan penegakan hukum. Artinya, mereka ingin mempersiapkan SDM dan juga ekonominya serta keamanan untuk melakukannya.

Jika kualitas manusianya memadai dan juga tersedia lapangan pekerjaan yang baik, maka rakyat SUMUT tidak perlu menguji nasib di luar negeri, yang kerab kali menjadi celah terjadinya perdagangan manusia. Seandainya pun ada masyarakat SUMUT yang ke luar negeri, maka mereka haruslah memiliki kompetensi tingkat internasional.

Penyiapan sumber daya manusia dengan pendidikan dan pelatihan, pasangan ini menawarkan konsep pembangunan ekonomi berdasarkan potensi khusus yang berbeda yang dimiliki setiap daerah.  Saya menangkap bahwa jika Pablo Picasso mengatakan “setiap anak terlahir seniman (spesial), demikian juga pasangan Djarot-Sihar memandang bahwa potensi ekonomi setiap daerah adalah spesial. Hal ini dipaparkan dengan program revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK).

Program revitalisasi BLK ini dilakukan dengan membangun pontesi spesifik daerah masing-masing. BLK pertukangan misalnya dipusatkan di Deliserdang, Pariwisata pemusatan di Nias dan Toba, Pertanian atau Hortikultura di Karo dan Dairi, Perikanan dan Pengelolaan Ikan Laut di Tanjung Balai dan Sibolga. Selain pemusatan potensi khusus masing-masing pelatihan kepada masyarakat akan didorong sampai pada sertifikasi ISO, sehingga selain mampu menyerap kesempatan kerja di SUMUT masyarkat juga mampu menggunakan keahlian di tingkat Internasional.

Pasar Buah Berastagi, Dataran Tinggi Karo.

Saya jadi teringat kondsi orangtua saya yang  pertanian jeruknya bangkrut pada tahun 2017.  Tanda-tanda kegagalan kebun jeruk ini sebenarnya sudah terlihat sejak akhir tahun 2013. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya biaya perawatan akibat serangan lalat buah. Selain lalat buah nutrisi tanah dan juga kebutuhan nutrisi jeruk tidak terkendali akibat tidak adanya pengetahuan. Dengan adanya pemusatan pelatihan untuk pertanian dan hortikultura, saya kira masyarakat juga akan memiliki kemampuan mengelola lahan taninya dengan ilmu yang memadai, sehingga pertanian membawa kesejateraan bagi para petani.  Saya juga membayangkan pertanian berbasis penelitian akan sangat berperan dalam memajukan kulitas produk pertanian, dan juga kualitas para petani.

Memberi kesempatan setiap daerah untuk mengembangkan potensi masing-masing sama seperti memberi kebebasan bagi manusia untuk berkembang dalam bidang yang memang merupakan talentanya. Konsep ini akan menjadikan pertumbuhan inovasi yang sangat baik di daerah masing-masing. Masing-masing daerah tidak diarahkan untuk saling bertanding untuk saling mengalahkan. Inovasi dijadikan untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Ah saya jadi teringat lagi pepatah Simon Sinek yang mengatakan “Together Is Better”. Sebenarnya pepatah ini bukanlah hal baru, karena kenyataannya Indonesia itu memang dibangun atas kesadaran untuk hidup bersama alias GOTONG ROYONG.

Saya membayangkan jika Djarot-Shiar mampu membangun kompetensi khusus setiap daerah, maka roda perekonomian akan bertumbuh dengan baik. Lapangan pekerjaan pun akan tercipta seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika pemerintahan saat ini mampu menuntaskan TRANS SUMATERA, maka hasil pertanian dan kelautan, serta industri lain akan dengan mudah didistribusikan ke seluruh Sumatera bahkan ke pulau Jawa. Harga- harga akan sangat terjangkau karena biaya logistik yang semakin murah.




Jika nanti  hasil jeruk dari Tanah Karo, Simalungun, dan Dairi kembali masuk ke Jawa, sudah barang tentu akan dapat dijual dengan harga yang lebih murah. Selama ini jeruk dari SUMUT  yang lebih dikenal dengan Jeruk Berastagi cita rasanya sangat khas. Ibu angkat saya, Sonja De Roy, dari Vlissingen The Netherlands pernah mencicipi jeruk ini di Pasar Induk Keramat Jakarta pada tahun 2009. Dulu ibu ini cerita, bahkan jeruk Spanyol pun kalah cita rasanya. Di Eropa, jeruk Spanyol terkenal enak karena rasanya yang manis. Mayoritas masyarakat menyukai cita rasa jeruk Berastagi, akan tetapi harga yang terlalu mahal sehingga tidak semua kalangan mampu membeli buah tersebut.

Semoga saja Djarot-Sihar dipercaya oleh masyarakat SUMUT, sehingga menjadi petani, menjadi tukang, menjadi nelayan, menjadi pelaku parawisata, pegawai pemerintahan daerh, semuanya  akan menjadi suatu kebanggaan dan juga kesejahteraan. Djarot-Sihar punya visi mau ke mana SUMUT akan dibawa,  dan sudah jelas juga misi bagaimana mereka akan mengajak masayarakat SUMUT untuk ikut ambil bagian menuju SUMUT yang bersih dan sejahtera.

Salam semangat dan perjuangan.

 







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.