Kolom Eko Kuntadhi: MENIMBANG CAWAPRES JOKOWI

Banyak yang nanya, kira-kira nanti Wapres pendamping Jokowi siapa ya?

 

Saya tentu sama gak tahunya seperti si penanya. Tapi, gak ada salahnya kita main tebak-tebak genggong, siapakah yang berpeluang dan cocok menurut perkiraan kita untuk mendampingi Pakde nanti.

Pertama, kita harus berfikir selain Pakde sendiri, siapa saja yang akan mempengaruhi keputusan untuk menentukan sosok Wapres. Ya, benar. Ketua-ketua partai. Mereka adalah orang yang akan dimintakan pertimbangan mengenai siapa yang tepat untuk mendampingi Pakde.




Yang juga harus dipertimbangkan adalah Pilpres dilaksanakan berbarengan dengan Pileg. Ini tentu sangat menarik. Partai-partai akan berkoalisi dalam mengusung Capres dan Cawapres, tetapi sekaligus berkompetisi secara keras memperebutkan kursi legislatif.

Yang ke dua, Pilpres 2019 adalah periode ke dua Jokowi, sekaligus masa jabatan terakhir. Setelah itu pada 2024 akan bermunculan tokoh-tokoh politik lain bersaing memperebutkan kursi Presiden maupun Wakil Presiden.

Suasana itu juga yang menyebabkan posisi Wapres sangat strategis, karena berpeluang besar untuk maju sebagai Presiden pada periode berikutnya. Tentu saja semua partai berusaha mendorong kadernya maju.

Siapa yang akan menjadi Cawapres Jokowi juga menjadi ukuran siapa Cawapres lawannya. Begitupun sebaliknya. Makanya posisi sekarang seperi saling tunggu. Pasangan mana yang duluan mengumumkan pertunangannya.

Misalnya begini. Jika yang diusung mendamping Jokowi adalah Khofifah yang berpotensi merebut suara kaum perempuan, misalnya, bukan tidak mungkin Amien Rais akan disandingkan dengan Mama Dedeh. Atau Prabowo dipasangkan dengan Ratna Sarumpaet. Pokoknya siapa Cawapres lawan, bisa menjadi ukuran untuk menentukan Cawapresnya sendiri.

Nah, kan bisa dibayangkan betapa ribetnya proses penentuan siapa yang akan mendampingi Jokowi nantinya. Khususnya tarik menarik kepentingan partai politik dan pertimbangan teknis, praktis juga ideologis.

Sebetulnya yang paling aman apabila Jokowi berpasangan kembali dengan JK. Tapi rupanya pengajuan gugatan masa jabatan Presiden dan Wapres ditolak MK. Karena JK sudah dua kali menduduki Wapres, gak bisa lagi dicalonkan untuk posisi yang sama.




Belakangan, Partai Demokrat mendorong koalisi JK-AHY. Entah serius atau gak. Yang pasti bagi PD hadirnya pasangan itu akan membantu elektabilitas PD pada Pileg sekaligus tetap menjaga AHY berada di pusaran politik. Target besar PD sesungguhnya adalah 2024 nanti.

Ok, kita kembali ke HP. Ada 3 unsur yang berpeluang menyodorkan Wapres Jokowi. Unsur Parpol, sipil non-parpol atau profesional dan unsur militer. Selebihnya adalah pertimbangan kesukuan dan agama. Yang juga akan menjadi pertimbangan adalah kondisi sosial politik bangsa ini dan penambahan basis dukungan bagi Jokowi. Ini semua adalah faktor yang akan dipertimbangkan dalam menentukan siapa Cawapres Jokowi.




Dari unsur Parpol kita tahu ada Ketua Golkar (Erlangga Sutarto) atau Ketua Umum PPP Romaharmuzy. Sebetulnya ada juga Cak Imin dari PKB tapi sampai saat ini sikap PKB belum jelas mau bergabung ke mana. Kesemua mereka ini digadang-gadang partainya untuk mendampingi Jokowi.

Pertanyaannya, selain tarik menarik partai yang punya jagoan masing-masing, suara Ketum Parpol lain aeperti Megawati, Surya Paloh dan Usman Sapta Odang juga ikut menentukan. Mereka pasti berfikir juga untuk kepentingan partainya. Dengan kata lain, jika Cawapres dipaksakan dari unsur Parpol justru akan membuat gerah Parpol koalisi lainnya.

Kita bisa mempertimbangkan sepertinya akan sangat riskan jika Cawapres Jokowi diambil dari unsur Parpol pendukung. Malah nanti akan membuat gesekan dan kerja Parpol gak maksimal.

Tapi, bukan berarti Cawapres yang dibutuhkan tidak punya pengaruh politik sama sekali. Sebab dukungan politik di parlemen akan sangat dibutuhkan untuk jalannya roda pemerintahan ke depan.

JK misalnya, meski bukan lagi ketua partai tetapi harus diakui punya basis dukungan politik yang cukup. Pwngaruhnya dirasakan.




Jika unsur Parpol riskan diusung sebagai Cawapres, ada 2 unsur lagi: sipil non-partai atau prefesional dan unsur militer. Nah, sekarang kita jejerkan unsur sipil non-partai dan profesional yang namanya sering disebut-sebut orang.

Ada nama Mahfud MD, Menkeu Sri Mulyani, Pengusaha Chairul Tanjung atau Susi Pujiastuti. Sri Mulyani dan Susi Pujiastuti secara skill individual memang bagus. Tapi jangan lupa, SM pernah berbenturan dengan Golkar sampai terpental ke Bank Dunia. Kita gak tahu apakah sisa konflik itu masih mempengaruhi. Sementara Susi kebijakannya soal centrang juga kemarin ditentang Nasdem. Selain itu, keduanya dianggap kurang bisa menambah suara elektoral.

Saya ingat Denny Siregar pernah mengulas hal yang sama, dan Chairul Tanjung keluar sebagai alternatif Cawapres. Tapi, terus terang saya gak terlalu sreg dengan kesimpulan DS. Menurut saya, bau PKS CT lumayan kental. Karena itu juga saya gak mengulas CT.

Bagaimana dengan Mahfud MD? Pengalaman politiknya ok, dia juga ahli hukum tata negara. Mahfud berdarah Madura yang kental ke-NU-annya. Dia juga representasi intelektual muslim. Tapi harus diakui basis massa Mahfud juga gak maksimal.

Jika mengandalkan basis NU, sepertinya selama ini Jokowi sendiri yang sudah keliling ke basis-basis pesantren. Approval rating Jokowi di kalangan warga Nahdiyin kayaknya lumayan tinggi.

Lagipula, di NU Mahfud kabarnya kurang mengakar. Mahfud lebih dikenal sebagai alumni HMI yang berlatar belakang nahdiyin. Mungkin saja Mahfud bisa menambal kekurangan Jokowi untuk mendekati basis masa Islam perkotaan. Tapi, sejauh mana efektifitasnya perlu banyak pertimbangan lain.

Problem ke dua, Mahfud lebih dikenal sebagai intelektual. Dalam bahasa Cak Nur, biasanya intelektual selalu gak cukup gizi untuk bermain politik. Padahal dalam perhelatan Pilpres, faktor logistik menjadi pertimbangan yang tidak kalah penting.

Tapi, memang harus diakui, kita bisa masukan Mahfud MD sebagai salah satu alternatif pendamping Jokowi. Selain bersih dan tegas, Mahfud diharapkan bisa menangani pemilih yang sedang ganderung sentimen keislaman.




Pilihan terakhir dari unsur tentara. Yang juga perlu dihitung, hampir dipastikan lawan-lawan Jokowi nanti juga tokoh yang bernuansa militer. Prabowo meskipun dicopot dari ketentaraan tetap saja sosoknya diasosiasikan dengan tentara.

Selain itu, ada AHY tentara berpangkat mayor yang mundur karena ngebet mau main politik. Atau Gatot Nurmantyo, mantan panglima yang lebih suka memainkan politik identitas seperti agama dan ras. Artinya lawan-lawan Jokowi nanti kemungkinan besar paduan sipil-militer.

Harus diakui, masyarakat memandang tentara mewakili sikap tegas. Meskipun ketegasan Jokowi kadang lebih keras dibanding tentara sekalipun, tetapi tetap saja citra yang melekat Jokowi sebagai pemimpin yang ramah, santun, merakyat, dan tidak bersikap keras pada lawannya. Jadi, keberadaan lelaki berseragam untuk mendampingi Jokowi bisa mengangkat citranya. Apalagi jika ditambah dukungan elektoral dan nilai plus dari yang bersangkutan.

Apa sih, kesan orang sama Prabowo? Apalagi kabarnya pemilih Prabowo kebanyakan juga yang suka dengan slogan Islam politik. Apa karena Prabowo mencitrakan islami?

Rasa-rasanya gak, deh. Membedakan sholat istikharah dan sholat hajat saja dia masih salah. Bagaimana mau dibilang mewakili citra Islami? Menurut saya, pilihan orang pada Prabowo lebih karena citra tentaranya itu. Citra heroiknya.

Ada 3 purnawirawan jenderal yang berada di lingkaran Jokowi saat ini. Wiranto, Luhut dan Moeldoko. Wiranto rasanya terlalu tua jadi bisa kita eliminasi. Sementara LBP sadar diri. Indonesia ini pertimbangan agama masih dominan. Apalagi musuh-musuh Jokowi selalu memainkan isu agama, rasanya LBP bukan pilihan yang menarik.

Bagaimana dengan Moeldoko? Ini agak seru. Mantan Panglima TNI yang sekarang sebagai Ketua Kepala Staf Presiden juga dikenal sebagai Ketua HKTI (Himpunan Keluarga Tani Indonesia). Memang sih, ada HKTI lainnya yang diketuai Fadli Zon.

Basis tani dan nelayan bisa jadi nilai tambahnya. Kedekatan dengan Jokowi, artinya proses penyatuan chemistry antara Presiden dan Moeldoko sudah berjalan. Sebagai Ketua KSP tentu saja banyak interaksi dengan Presiden yang harus dilakukan. Karir militer Moeldoko juga menggambarkan penguasaan pada teritori. Lulusan terbaik AKABRI 1981 ini pernah memimpin Kostrad, Pangdam Siliwangi dan Tanjungpura, Kasad, sampai diangkat jadi panglima TNI.

Kelemahannya karena Moeldoko orang Jawa, tepatnya Jatim. Jokowi juga Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Adagium harus kombinasi Jawa dan non-Jawa barangkali bisa menjadi ganjalan. Meskipun, jika mengaca para sejarah periode ke dua SBY kombinasinya sama Boediono, Jatim-Jateng juga.

Walhasil, ada 2 orang yang berpeluang mendampangi Jokowi. Mahfud MD dan Moeldoko. Menurut saya, secara politik dan taktis pilihan yang pas adalah Moeldoko. Tapi ujung-ujung Presiden pasti punya kalkulasi sendiri. Kita tunggu saja yang sabar.

“Kalau saya mah, tetap pilih Via Valen, mas,” ujar Abu Kumkum.

Hussh, orang lagi serius juga…







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.