Kolom Muhammad Nurdin: MENANTI KEBEBASAN AHOK

Banyak orang menyayangkan keputusan yang Ahok ambil. Ia tak mau “bebas bersyarat”. Ia mau menjalani hukuman penuh dalam jeruji besi. Wajar. Jika para Ahokers galau. Mereka sudah tak sabar melihat Ahok. Menemuinya. Menyapanya dengan luapan empati yg paling dalam.

Bahkan kalau bisa memeluknya. Sampai bertumpah ruah air mata mereka.

Lalu. Mendengarkan semua pengalaman pahitnya selama di penjara. Tentang pendalaman batin seorang eks-napi yang harus kuat menerima konsekuensi bahwa ia benar. Ahok telah membuktikan. Bahwa seorang narapidana selalu dirindukan kehadirannya. Ia tidak pernah kehabisan tempat di hati banyak orang, terutama warga ibukota.




Ahok juga telah membuktikan. Bahwa ia tak pernah butuh belas kasih hukum. Ia tak butuh bebas dengan syarat. Ia koppig?  Ya. Bahkan jauh sebelum jeruji besi mengurung fisiknya. Sementara batin dan pikirannya tetap bebas.

Ahok telah membuat 3 judul buku selama masa pesakitannya. Entah apa yang ia tulis. Yang kita ketahui cuma, ia bukan tipe manusia yang bisa dipenjara keadaan. Ia selalu resah dengan keadaan negeri. Harapan tentang perubahan selalu menghantui fikirannya. Bahkan saat ia tahu musuhnya terlaku banyak untuk dihitung.

Tapi ia tak pernah takut. Meski harus berkali-kali di penjara. Karena ia telah selesai dengan dirinya. Karena baginya, kebenaran memang harus dibayar mahal. Ia satu-satunya gubernur yang pernah didemo 7 juta orang. Dengan tekanan sebesar itu, akhirnya ia kalah Pilkada.

Ahok kalah bukan karena kepuasan warga DKI terhadap kinerjanya rendah. Ia kalah karena ia non-muslim. Sekaligus, ia telah dicap “menista” agama Islam.

Kini, ibukota telah kembali seperti dulu. Keadilan sosial tidak teradministrasikan dengan baik. Program-program yang katanya berpihak pada rakyat kini menjadi bualan basi.

Lagi-lagi. Kita baru sadar. Dan akan terus baru tersadarkan. Bahwa mengurus ibukota, juga kota-kota lainnya di negeri ini. Bukan diukur dari seberapa agamis ia, atau seberapa santun ia.

Mengurus negeri ini adalah soal panggilan hati nurani. Jokowi, Ahok, Djarot, Risma, Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, Ganjar, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang terpanggil hati nuraninya untuk melakukan perubahan.

Dan Ahok adalah bukti, bahwa perubahan mahal sekali harganya. Sebab, masih banyak manusia yang ogah berubah.

Tapi…
Ahok tetaplah emas. Meski ia jatuh dalam kubangan lumpur. Ahok tetap dicinta. Meski ia seorang pesakitan. Negeri ini akan terus menunggu kebebasannya. Walau yang di Arab sana belum mau pulang juga.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.