Kolom Asaaro Lahagu: JOKOWI DITEKAN, PILIH MA’RUF AMIN

Publik terkejut atas terpilihnya Ma’ruf Amin menjadi Cawapres Jokowi. Selain sudah berumur, kurang energik, sosok Ma’ruf Amin adalah aktor utama di balik masuknya Ahok di penjara. Sebagai ketua MUI, Ma’ruflah yang mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah menghina Al-Quran dan ulama. Ma’ruf Amin jugalah yang menjadi saksi memberatkan Ahok.

Keputusan Jokowi untuk memilih Ma’ruf sangat dramatis. Kendatipun Romarhumuzy, ketua PPP, mengecoh publik bahwa keputusan memilih Ma’ruf sudah lama, tetap saja keputusan itu mengejutkan. Sosok Ma’ruf Amin tidak membahagiakan publik.

Beberapa jam sebelum Jokowi mengumumkan nama Ma’ruf sebagai Cawapresnya, nama Mahfud MD sudah menguat. Mahfud MD sendiri sudah menjahit baju, memakai baju putih, datang ke area deklarasi dan bahkan sudah mengurus surat keterangan bersih dari tindakan kejahatan.

Mahfud beberapa kali sudah dikontak oleh istana untuk stand by. Dikabarkan juga bahwa Menteri Sekretaris Negara (Pratikno), sudah memberi sinyal kepada Mahfud. Endingnya mengharukan. Mahfud tidak jadi Cawapres Jokowi. Mahfud tidak jadi berjuang untuk mengikuti panggilan sejarah.

Terlihat Jokowi lebih nyaman berpasangan dengan Mahfud MD ketimbang Ma’ruf. Namun beberapa alasan kuat, akhirnya Jokowi menyerah kepada maunya koalisi. Jokowi berhitung bahwa keras kepala soal Cawapresnya bisa berakibat fatal. Ia bisa tertendang dari kursi RI satu 2019.

Jika Jokowi memilih Mahfud, maka PKB dan Golkar langsung keluar dari koalisi dan membentuk poros ke tiga. Mengapa? Golkar memandang Mahfud sebagai orangnya Gus Dur. Dan memang demikian. Golkar sampai sekarang sangat trauma kepada Gus Dur karena dialah Presiden satu-satunya yang berani membubarkan Partai Golkar. Bukan tidak mungkin, Golkar memberi kesimpulan bahwa di balik keputusan pembubaran Golkar oleh Gus Dur, ada Mahfud MD.

PKB juga sama halnya. Muhaimin Iskandar sangat ketakutan kepada Mahfud MD. Mengapa? Ia sangat berpotensi mengancam Muhaimin untuk kembali merebut PKB bikinan Gus Dur. Jika Mahfud sudah Wapres, maka mudah baginya mengambil alih PKB dari tangan Muhaimin.

Selain itu, muka Muhaimin juga tercoreng atas terpilihnya Mahfud. Ia sudah bergerilya dan memasang baliho di mana-mana, pada akhirnya ia tidak dipilih Jokowi. Jadi PKB merupakan barisan terdepan yang getol menolak Mahfud. Itulah sebabnya, Muhaimin getol melobi PBNU agar tidak mendukung Mahfud.

Alasan lainnya yang tak kalah penting adalah jika Mahfud MD menjadi Cawapres, ia berpotensi menjadi Capres pada tahun 2024. Mahfud jelas tidak disukai oleh sebagian koalisi. Masing-masing koalisi berpikir panjang. Mereka ingin agar kadernya menjadi Cawapres. Karena masing-masing mempertahankan egonya, maka kemauan Jokowi memilih Mahfud, kandas.

Gagal bersanding dengan Mahfud, Jokowi hanya punya pilihan realistis pada sosok Ma’ruf Amin. Nama ini disokong dan disetujui oleh koalisi termasuk Muhaimin dengan PKB-nya. Ma’ruf adalah kader NU tulen dengan berbagai jabatan yang pernah dia emban. Ia juga sosok ulama yang sangat terpandang.

Dalam pandangan koalisi, jika Ma’ruf Amin menjadi Cawapresnya Jokowi, maka sosok ini dipandang tidak akan mungkin menjadi Capres pada tahun 2024 mendatang. Selain itu, ia juga dapat menjadi bamper Jokowi dalam menghadang isu jualan agama yang dipastikan gencar dilakukan pada Pilpres 2024 mendatang. Ma’ruf Amin adalah kepalanya ulama. Ia bisa merangkul para alumi 212 dan ormas Islam lainnya.

Jelas bahwa keputusan Jokowi memilih Ma’ruf karena realitas politik. Jokowi berusaha keras agar koalisi 9 partainya tidak pecah. Poros ke tiga, aksi tagar ganti presiden, isu jualan agama faktor yang membuat Jokowi tidak sekeras kepala terhadap Freeport. Tentu Jokowi bisa mengalah dalam bentuk apa saja, bisa melakukan hal apa saja yang memungkinkan, asal dia tetap Presiden pada tahun 2019 mendatang.

Jokowi belajar dari kekalahan Ahok di DKI Jakarta dan juga kekalahan Djarot di Sumatera Utara. Isu jualan agama atau politik identitas masih laku. Akibatnya Jokowi rela ditekan dan memilih Ma’ruf Amin sebagai Cawapresnya. Dengan memilih Ma’ruf, maka Jokowi selangkah lebih maju dari koalisi Prabowo.

Jika Prabowo tetap mendaftarkan Sandi di KPU, maka justru Jokowi yang terbukti dekat dengan ulama dan bukan Prabowo. Kendatipun nantinya PKS dan PAN bisa memoles dengan kilat Sandi sebagai sosok Islam post-modern. Pun jika Prabowo memilih UAS atau yang lainnya, Jokowi tetap selangkah lebih maju soal isu agama.

Jokowi pasti Menang di DKI

Pada tahun 2012 lalu, SBY sedikit punya andil dalam memenangkan Jokowi sebagai Gubernur DKI. Mengapa? Pada putaran ke dua, Foke melakukan blunder dengan mengeluarkan isu SARA. Terlepas apakah Fokelah yang melontarkan isu SARA tersebut, tetapi hal itu sangat mengganggu pemerintahan SBY yang masih tersisa 2 tahun.

Isu kampanye yang semula tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah pusat (SBY), saat itu mulai tersentak. Foke mulai melewati batas dengan munculnya video ancaman terhadap etnis Cina dan akan terjadi peristiwa tahun 98 jika Jokowi menang. Dalam hal ini pemerintah SBY sangat serius. SBY saat itu sangat tidak suka tersebar isu SARA yang justru membebani pemerintahannya.

Maka dibuatlah skenario dan segala macam cara hingga Jokowi menang, sebab pemerintah tidak akan ambil resiko jika Foke menang. Karena akan mengesankan bahwa penggunaan isu SARA ternyata efektif, hal ini akan dengan mudah ditiru oleh daerah-daerah lain di Nusantara. Pemerintah khawatir akan hal ini. Maka Jokowi pasti (harus) menang di DKI.

Ahok Pasti Kalah di DKI

Selain alasan di atas, ada satu alasan taktik mengapa Jokowi memilih Ma’ruf menjadi Cawapresnya. Alasan itu terkait dengan Ahok di DKI Jakarta. Mari kita ke belakang sebentar soal kegaduhan di Pilgub DKI.

Mulanya pemerintahan pusat yang dikendalikan Jokowi mendukung Ahok di DKI. Pun Megawati mendukung Ahok menjadi Cagub berpasangan dengan Djarot. Namun, apa hendak dikata, hanya beberapa minggu setelah Ahok diusung, dan tidak bisa dibatalkan lagi, Ahok melakukan blunder dengan menyenggol Al-Maidah.

Suasana pun menjadi panas. Isu SARA meledak. Pemerintah pusat turun tangan. Isu SARA yang telah dibakar oleh Ahok, dicoba dipadamkan oleh pemerintah dengan susah payah. Munculah strategi tingkat tinggi untuk memadamkan isu SARA yang terlanjur membesar itu.

Dibuatlah skenario dan segala macam cara agar Ahok kalah. Apapun caranya, Ahok harus kalah. Sebab, pemerintah pusat mengambil resiko jika Ahok menang. Hingga kini, tetap misteri, mengapa suara Ahok yang 42% di putaran pertama, tetap 42% persen di putaran kedua. Padahal banyak pendukung Demokrat beralih kepada Ahok. Itu sesuatu yang misteri.

Jika Ahok menang di DKI, maka isu SARA akan terus menerus terjadi dan justru tidak akan berhenti. Ketika Ahok kalah dan masuk penjara, isu SARA pelan-pelan bisa dikendalikan. Sebagai senjata pamungkas untuk menghentikan isu SARA selanjutnya, Jokowi terus merangkul Ma’ruf Amin. Puncaknya Jokowi memilih Ma’ruf Amin menjadi Cawapresnya.

Jadi, ketika Jokowi merangkul Ma’ruf, saya teringat strategi tingkat tinggi SBY yang turut andil membuat Foke, kader Demokrat, harus kalah di DKI demi memadamkan isu SARA. Hal yang sama juga terjadi. Ada strategi tingkat tinggi Jokowi yang turut andil pada kekalahan Ahok di DKI demi memadamkan isu SARA. Begitulah kura-kura.

One thought on “Kolom Asaaro Lahagu: JOKOWI DITEKAN, PILIH MA’RUF AMIN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.