Kolom Muhammad Nurdin: KIAYI MA’RUF DAN KEKECEWAAN PARA CEBONG

Saya lihat linimasa di berbagai medsos memperlihatkan rasa kecewa yang amat sangat dari para pendukung Jokowi atas terpilihnya Kiayi Ma’ruf sebagai Cawapresnya. Sebenarnya tidak mengherankan. Pasalnya, sosok Kiayi Ma’ruf sebelumnya memang terlihat kontra dengan kebanyakan pendukung Jokowi. Apalagi bagi pendukung Ahok, tentu menaruh dendam kesumat terhadap sang kiayi.

Sepak terjang Kiayi Ma’ruf, terutama saat di MUI, memang mencatat beberapa raport merah dalam konteks kebebasan beragama. Kita tahu, ia sangat menentang pluralisme dan sekularisme. Begitu juga dengan LGBT. Apalagi, soal Ahmadiyah dan Syiah, kita tahu bersama.

Ketika Kiayi Ma’ruf terpilih sebagai Rais Am NU tak sedikit yang menaruh kekecewaan, meski akhirnya mereka harus “itho’at” terhadap keputusan tersebut.

Kita melihat NU lebih dewasa dalam mengambil sikap tentang pilihan yang tak sesuai hati nurani mereka. Terutama anak-anak muda NU yang terkenal progresif dan liberal. Tapi semua harus tunduk pada putusan syuro. NU tak pernah khawatir jika nanti akan bermunculan orang-orang seperti Tengku Zulkarnain di tubuh NU. Dan nyatanya, Kiayi Ma’ruf tak menjadi seperti yang dikhawatirkan kebanyakan orang.

Satu hal yang berkesan adalah Jokowi mampu merangkul MUI untuk meredam laju politik identitas yang kemarin berhasil dipakai di ibukota. MUI yang diyakini representasi Islam dijadikan rekan pemerintah untuk menjaga kerukunan. Suatu hal yang dulu MUI malah pelopor ketidak-rukunan.

Kita lihat bersama, Kiayi Ma’ruf yang dulu, tidak sama dengan yang sekarang. MUI juga terlihat jarang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial yang kontra keberagaman. Meski, “jempol” Tengku Zulkarnain memang sulit diajak kompromi.

Saya melihat. Jokowi mampu menstimulasi banyak orang untuk sama-sama membangun negeri ini. Ia membuat trend “dedikasi total untuk negeri, itu keren”. Hingga kita lihat orang-orang di sekeliling Jokowi, mereka adalah orang-orang yang punya dedikasi tinggi membangun negeri. Tidak punya ambisi untuk berkuasa. Atau mengasong diri untuk pada akhirnya menjadi pesaingnya.

Dan hal itu dirasakan juga oleh Kiayi Ma’ruf. Ia merasa harus berada di barisan terdepan bersama para punggawa Jokowi. Ia terpanggil juga untuk bisa ikut berkarya membangun negeri. Membuatnya aman, damai juga sejahtera. Ini serius. Jokowi memang punya magnet untuk itu. Jangankan Kiayi Ma’ruf, sahaya yang cuma bisa menulis ngalor-ngidul gak jelas ini pun semacam punya spirit untuk mengawal kerja nyatanya.

Para Cebong yang saya banggakan, dimana saya pun mau-tak mau suka-tak suka adalah bagian di dalamnya, hahaha… Saya hanya bisa berpesan bahwa tiap orang punya masa lalunya sendiri. Kadang kelam, kadang gelap, kadang juga terang benderang. Saya mungkin termasuk orang yang pernah terkena imbas dari masa-lalunya Kiayi Ma’ruf. Bisa jadi saya adalah golongan yang pernah disesatkan, atau golongan yang dikategorikan haram.

Tapi kita sedang membicarakan Indonesia 5 tahun ke depannya. Jokowi butuh 5 tahun lagi untuk meneruskan pembangunan. Kita sudah lihat sendiri,4 tahun pembangunan yang begitu masifnya di Era Jokowi. Dan, Jokowi sadar, bercermin pada Pilpres 2014 lalu, jalan untuk 2019 akan seterjal 5 tahun lalu. Makanya, untuk meredam politik SARA, untuk menenggelamkan isu komunis, dan untuk merobohkan isu anti-islam, Jokowi perlu sosok yang dapat direpresentasikan secara sempurna sebagai wakil Islam.

Dan Kiayi Ma’ruf adalah jawabannya.

Kalaupun Ahok ditanya, apa pandangannya soal Cawapres Jokowi ini, ia pasti akan menjawab, terus dukung Pak Jokowi. Ahok sudah merasakan bahwa tak mudah menjadi seorang pengabdi sejati. Bahkan, ia harus rela dijadikan “tumbal” agar stabilitas dalam negeri bisa terjaga.

Lalu. Apalah guah yang cumah debu yang nempel di tombol “delete”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.