Kolom Eko Kuntadhi: KUNANG-KUNANG DI PULDAMA

Hutan di sekeliling kami menyimpan rahasia purba. Lebat, hening dan gelap. Ada suara binatang malam yang mulai bernyanyi. Dingin mulai merayap menusuki tulang. Hanya kunang-kunang dan bintang yang berkedip memancarkan cahaya samar-samar. Bulan tidak tampak sehingga pandangan kami cuma bisa menembus sedikit.

Saya dan seorang teman menapaki jalan berbatu. Kami meninggalkan gereja kayu yang kami jadikan penginapan.

Senter kecil membantu memecah kegelapan. Kami cuma hendak mencari celah di rerimbunan, sekadar melepaskan rasa sakit yang mendesak ginjal. Sejak tadi saya menunggu lampu senter yang digunakan kawan lainnya. Kami cuma hendak merayap sebentar ke semak-semak. Di sana saya pipis yang sudah tertahan sejak beberapa jam lalu. Lega.

Bagaimana jika ingin BAB. “Kalau dulu sih, masyarakat bisa dimana saja,” terang Nando, seorang petugas desa. “Kalau sekarang lebih tertib, bapak.”

“Ada toilet?”

“Trada, bapak. Mereka menggali tanah dulu, baru dibuang di situ. Kalau sudah selesai, ditutup tanah lagi.”

Oalah…

Ini adalah sebuah desa di distrik Puldama, Kabupaten Yahukimo, Papua. Berada di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 1600 dpl. Distrik Puldama terdiri dari 8 kampung yang masing-masing terdiri dari sekitar 100 honai, rumah khas penduduk setempat.

Honai adalah rumah dari kayu berbentuk melingkar dengan diameter sekitar 3 meter. Atapnya dari daun bambu atau ilalang kering. Lantainya dari papan, membentuk panggung. Kolong lantai biasanya digunakan untuk kandang ayam, kelinci atau anak babi. Sementara babi dewasa ditempatkan di kandang terpisah.

Pada bagian tengah honai dibuatkan api unggun. Setiap malam penghuni menyalakan api ungun itu sambil menemani tidur. Selain sebagai pengusir dingin dan menjauhkan dari serangga kecil di waktu malam, api di tengah itu juga digunakan untuk memasak. Berbagai bahan makanan seperti ubi atau keladi, disesapkan ke debu api yang masih panas.

Di sekleiing honai itulah penghuni bergeletakan. Melingkari api unggun. Hangat memang terasa, membantu penghuninya mengusir dingin yang begitu tajam menikam. Beberapa honai juga menyertakan babi untuk tidur bersama. Tapi seketika saya mencoba memasuki honai saat malam tiba, nafas saya sesak. Asap api unggun yang berputar di ruangan menyesakkan dada.

Asap itu juga membuat mata saya perih. Saya membayangkan, bagaimana mungkin orang bisa tidur dengan asap sedikit pekat yang mengepul sepanjang malam. Apalagi bayi dan anak-anak.

Wajar saja. Penyakit yang paling sering diderita penduduk Puldama adalah infeksi saluran nafas. Hampir semua orang menderita katarak akut pada bola matanya. Menurut catatan penduduk, angka kematian bayi lumayan tinggi. Rata-rata menderita sesak nafas.

Bukan hanya itu. Kematian ibu melahirkan juga tinggi. Di kampung yang kami tempati saja, setidaknya saya bertemu dengan 4 orang bayi piatu. Ibunya meninggal ketika melahirkan mereka. Bisa dibayangkan, di sini hanya ada satu buah Puskesmas pembantu yang diurus oleh seorang mantri. Tidak ada dokter. Obat-obatan hanya dikirim beberapa bulan sekali. Itupun jenisnya hanya vitamin dan obat standar.

“Saya harus ambil obat di Dekai. Jaraknya bisa 2 minggu jalan kaki dari sini. Kalau menunggu dikirim mungkin setahun juga belum sampai,” ujar Yacobus, mantri kesehatan itu. Saya memaklumi bagaimana birokrasi bekerja. Terkadang memang menyebalkan.

Sementara Yacobus juga harus menghidupi keluarganya dengan mengurus ladang. Gajinya sebagai PNS bisa diambil 3 bulan sekali. Nah, waktu mengambil gaji itulah dia sekaligus mengambil jatah obat untuk Puskesmasnya. “Kalau diambil sebulan sekali, habis buat ongkos saja.”

Yacobus sering memberi pengertian warga untuk membangun dapur di bagian luar rumahnya. Tapi jarang warga yang mengikutinya. Memang, jika honai tidak disertai tungku api ungun, bagaimana mereka bisa tidur? Padahal dingin begitu menusuk.

Di atas gunung ini, air selalu menjadi masalah. Sungai paling dekat hanya bisa ditempuh 5 jam perjalanan. Ada satu mata air kecil di atas bukit sekitar 1 jam perjalanan. Itupun debit airnya sangat terbatas.

Dari mata air itulah penduduk menyakurkan selang kecil ke desanya. Hanya cukup untuk minum saja. Sementara untuk mandi mereka mengandalkan curahan air hujan.

Beberapa rumah beratap seng memang menggunakan talang air untuk menampung air hujan. Atau seng-seng bekas dibentuk seperti corong dengan tong bekas di bawahnya. Dari sanalah sebagian penduduk mendapatkan air.

Kondisi itulah yang membuat kami harus ikhlas mandi dengan tisue basah selama berada di desa tersebut. Jika saja saya dibiarkan hidup di sana selama sebulan, mungkin akan pulang ke Jakarta dengan rambut gimbal akibat tidak pernah keramas.

Untung saya hanya 4 hari di sana. Jadi rambut saya masih setengah gimbal. Belum bisa dikategorikan sebagai pengikut Bob Marley. “No women no cry…”

Tapi saya yakin, penduduk perempuan di sini tidak sempat menangis. Tidak ada melow-melow yang membuat mereka gampang mengeluarkan air mata. Saban hari mereka harus keluar rumah bersama bayi yang masih di gendongan untuk membawa babi peliharaannya ke hutan untuk mencari makan.

“Babi tidak boleh dilepas bebas karena akan merusak tanaman di kebun,” ujar Eti Waebu, seorang ibu. Eti bisa berbahasa Indonesia karena pernah sekolah sampai SMP di Yahukimo.

Selain menggiring babi ke hutan, mereka juga harus membantu memgurus ladang. Mereka membawa anak-anaknya yang sudah agak besar untuk ikut membantu. Rata-rata keluarga memiliki 6 sampai 8 anak.

Wajar sih, jika anak mereka banyak. Soalnya selepas magrib, penduduk tidak ada kegiatan apa-apa. Suasana begitu gelap. Boro-boro menjawab group WA atau membuka FB. Wong listrik, lampu, sinyal, radio, dan semua alat elektronik tidak ada. Hiburan yang bisa dilakukan paling mencolek istrinya, lalu mereka turun dari honai. Memasuki hutan atau semak-semak. Dan beberapa bulan kemudian, jrengggg! “Bapak, aku hamil.”

penulis

Lalu untuk apa kami mendatangi desa di ujung gunung ini?

Saya datang bersama rombongan dari Kementerian ESDM, 2 mahasiswa dan 2 wartawan. Di desa inilah program pemasangan listrik tenaga surya sedang dilaksanakan. Istilahnya LTSHE, listrik tenaga surya hemat energi.

Pemerintah Jokowi memang menargetkan pada 2019 nanti seluruh Papua sudah terang. Minimal setiap rumah bisa diterangi 4 buah lampu, dengan panel surya kecil dipasang di setiap rumah. “Ini adalah wujud keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia,” ujar Hadi Juraid, seorang staf ahli Menteri ESDM yang ikut dalam rombongan.

Kali ini ada 1085 rumah yang akan di pasangi LTSHE. Seluruhnya berada di distrik Puldama. Hambatannya pada transportasi, karena satu pesawat kecil hanya bisa membawa 150 paket LTSHE.

Malam itu saya menyapu pandangan ke sekeliling. Hutan yang tadinya pekat mencekam, kini ada titik-titik terang yang berasal dari honai-honai yang terpencar. Kelipnya seperti kunang-kunang menembus malam

Saya membayangkan, apakah malam ini ada suami yang mencolek istrinya untuk berjalan menuju semak-semak lagi. Pasalnya, beberapa lampu juga dipasang di bagian luar sehingga menerangi semak-semak di sekitar honai.

Ah, berjalan agak jauh sedikit, gak masalah, toh? Masih banyak semak di luar sana…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.