Kolom Muhammad Nurdin: MELAWAN BANGSA SENDIRI

Merdeka dari penjajah, kata Bung Karno, merupakan perkara yang mudah. Lanjutnya, akan lebih sulit melawan bangsamu sendiri. Bung Karno menjadi saksi peristiwa berdarah di Tahun 1965. Banyak kepentingan bergumul di situ. Apapun itu, jutaan nyawa telah dihabisi. Selebihnya, banyak warga negera yang harus terkucilkan, terbuang di tanah tumpah darahnya sendiri.

Menjelang kewafatannya, Sang Proklamator harus menghabisi sisa umurnya dalam “pengungsian”. Ia dipaksa menjauh dari semua orang, bahkan keluarganya sekalipun.

Hidup tak layak. Kadang, ia harus menanggung sendiri rasa sakit akibat usia yang makin menua, penyakit yang makin numpuk, juga ketersiksaan dalam pengasiangan. Ia dibiarkan terlupa. Dibiarkan mati secara perlahan. Apa Bung Karno tak mampu melawan? Baginya, sangat bisa. Tapi untuk apa, pikirnya.

Ia menahan diri. Kalau tidak, akan terjadi perang saudara yang amat merusak. Ia mengalah, meski ia tahu sebuah tirani bakal menjarah negeri yang telah diperjuangkannya dengan berdarah-darah.

Bung Karno benar. Perjuangan kita akan menjadi lebih sulit, karena harus melawan bangsa sendiri. Penjajah telah kembali ke kampung halamannya. Tapi penjajah baru, yang berkulit sama, sama juga bahasanya, juga warna rambutnya, tiap detik lahir dan berkembang di negeri ini.

Kita telah melewati suatu peristiwa berdarah yang mengakhiri rezim terlama dan terkorup dalam sejarah bangsa ini: Reformasi. Tapi, 20 tahun usia Reformasi, kita masih saja bertengkar dengan sesama anak negeri.

Banyak yang tak paham, di luar sana ada yang tengah menonton pertengkaran kita sambil mengoceh: Mampus! Membuat kita terus bertengkar adalah ikhtiar. Bukan karena saya agama A, kamu B dan dia C. Atau Fulan golongan X, Fulani Y dan Fulanah Z. Semua itu omong kosong.

73 tahun yang lalu kita merebut kemerdekaan dengan perbedaan yang telah melekat. Suku, agama, ras , bahasa, warna kulit, bentuk rambut. Tapi perbedaan itu adalah identitas yang telah mengalami berbagai permakluman, hingga kita bisa berdiri tegak di atas pondasi “bhineka tunggal ika”.

Buya Syafii Ma’arif pernah menulis, kemerdekaan manusia yang sejati adalah kemerdekaan yang memberi manfaat sebesar-besarnya kepada sesama, tanpa diskriminasi rasial, agama, dan latar belakang sejarah.

Modal besar bangsa kita adalah persatuan dan kesatuan. Tapi kini, bagaimana panasnya politik di 2019! Kontestasi akbar di tengah pergumulan fanatisme dan semangat “bela agama”. Tidak perlu menunggu lama hingga 2019, di tahun ini, di saat kita akan memperingati kemerdekaan, masih terus terjadi pertengkaran di antara kita.

Pada dasarnya, Pilpres tak ubahnya seperti lomba makan kerupuk. Itu cuma kontestasi, itu cuma lomba. Adu program, adu rekam jejak, adu komitmen. Tak lebih dari itu. Bukan adu cakap-cakapan Bahasa Inggris. Bukan juga adu siapa yang paling Islami. Apalagi adu siapa yang paling pribumi. Ini sangat purba sekali. Merebut kekuasaan dengan terus mengipasi hal-hal yang tidak substansial.

Politik identitas hanya merupakan cara menggulingkan lawan karena kurang PD dengan program dan rekam jejak yang ada. Sebagai warga Negara: Bijak-bijaklah melihat manuver para elit politik, jangan terpancing dengan isu SARA, jaga terus persatuan dan kesatuan bangsa.

Mari kita jaga terus stabilitas dalam negeri dengan menjadi warga negara yang cerdas. Bersikap skeptis dan cermat terhadap informasi yang masuk adalah cara agar hoaks dan fitnah tidak meluas. Inilah cara terbaik untuk melawan (panjajah) bangsa sendiri. Dengan menjadi cerdas, cermat, dan hati-hati.

Salam Kemerdekaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.