Kolom Asaaro Lahagu: TAKTIK JITU POLITIK KEJUTAN JOKOWI

Belum diumumkannya ketua tim pemenangan Jokowi memancing ‘kekepoan’ plus kebegoan Mardani Ali Sera. Pernyataan Mardani bahwa tim pemenangan Jokowi ber-IQ 80 karena belum ada ketua tim pemenang, membuktikan bahwa masih adanya taktik saling intip siapa yang menjadi ketua timses lawan.

Sinyal bahwa ketua timses Jokowi penuh dengan kejutan sudah diutarakan oleh beberapa elit di kubu Jokowi. Nama Gatot Nurmantyo disebut-sebut akan menjadi ketua timses Jokowi Ma’ruf. Alasannya untuk menandingi Djoko Santoso di kubu Prabowo. Kejutan yang ditunggu-tunggu bisa nama lain yang tiba-tiba muncul.




Jika benar Gatot Nurmantyo yang menjadi ketua timses Jokowi, maka jelas hal itu kejutan. Sebelumnya nama Gatot cenderung bergabung dengan timses koalisi Prabowo. Gagalnya menggaet nama beken seperti Jusuf Kalla dan Mahfud MD menjadi alasan adanya kegalauan besar di kubu Prabowo.

Hal yang menarik soal timses ini adalah rupanya kedua kubu masih ingin memancing kejutan publik. Hal itu bisa dilihat pada kedua kubu yang masih mengosongkan ketua timsesnya masing-masing. Dalam strategi politik, membuat kejutan bisa menjadi iklan yang sangat muzarab.

Saya yakin kubu Jokowi sengaja mengosongkan ketua timsesnya hingga batas waktu terakhir pendaftaran di KPU. Kubu Jokowi terlihat sengaja memancing gerakan lawan untuk lebih dulu mengumumkan ketua timsesnya.

Masalahnya di internal kubu Prabowo-Sandi terlihat jelas masih adanya tarik-menarik dan adu kuat. Di sana posisi Partai Demokrat masih menjadi batu sandungan.

Jika diamati kesiapan di kubu Jokowi, maka terlihat sekali adanya perbedaan dengan kubu Prabowo. Para relawan Jokowi juga sudah banyak terbentuk. Timsesnya sampai di daerah-daerah sudah rapi terbentuk. Puncaknya saat Jokowi membakar semangat relawannya di Sentul. Ini jelas mencerminkan keunggulan manajemen kubu Jokowi ketimbang kubu Prabowo.

Di pihak lain, apa yang terjadi di kubu Prabowo mencerminkan manajemen amburadul. Hal itu bisa dilihat dengan munculnya Satgas Agama yang sebetulnya hanya untuk menandingi keberadaan Ma’ruf Amin di kubu Jokowi. Rupanya, elemen-elemen ulama seumpama GNPF di kubu Prabowo menjadi gelisah ketika isu agama dilupakan.

Pembentukan Satgas Agama jelas bukti balik badannya kubu Prabowo untuk kembali menggunakan isu itu seperti di Pilgub DKI. Diyakini isu agama masih bisa menggaet banyak suara. Untuk bidang ekonomi, isu emak-emak yang dibangkitkan oleh Sandiaga diyakini efektif. Kedua isu itu, baik isu agama dan isu emak-emak, akan digunakan untuk menjepit Jokowi.

Jepitan politik emak-emak ala kubu Prabowo sudah terlihat jelas dalam beberapa hari terakhir. Perhatikan baik-baik pernyataan kubu lawan Jokowi. Pernyataan Ketua MPR, Zulkifi Hasan soal utang, tujuan sebenarnya adalah membakar emosi emak-emak. Menurut Zulkifi, gara-gara utang, emak-emak sekarang kesulitan belanja bahan-bahan dapur. Alasannya pemerintah kurang memperhatikan ekonomi karena lebih sibuk membayar bunga utang Rp. 400 triliun.

Lalu, ada Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring. Mantan menteri ini menyerang Jokowi dengan melibatkan emak-emak. Tifatul ngomong, nggak berani makan telur karena harganya naik. Ini berarti Tifatul sekarang sudah sangat miskin di era Jokowi. Sampai-sampai dia tidak bisa membeli telur mata sapi. Kelebaian Tifatul ini jelas ingin membangkitkan emosi emak-emak untuk menjepit Jokowi.

Jika diperhatikan gelagat kampanye Sandiaga, maka jelas dia selalu berusaha dekat dengan emak-emak. Sandiaga selalu merapat kepada emak-emak yang sering berhadapan dengan harga-harga di pasar. Katanya, sekarang emak-emak menjerit-jerit karena harga-harga naik. Telur naik, beras naik, sayur naik, garam naik, tahu- tempe naik, ikan teri naik, semuanya naik.

Mendekatnya Sandi kepada emak-emak, itu karena Sandi meyakini emak-emak jauh cepat mengingat dirinya. Emak-emak akan lebih mudah diingat orang. Dengan demikian jika hati emak-emak sudah direbut, maka mudahlah merebut suara perempuan itu sendiri. Sebab, segmen pemilih perempuan menjadi segmen penting dan strategis dalam kampanye. Lucunya, mendekatnya Sandiaga kepada emak-emak tidak lebih dari penciptaan persepsi publik.

Gelagat politik Indonesia menjelang pemungutan suara 19 April 2019 adalah pertarungan persepsi publik. Siapa yang memenangkan persepsi publik, dialah yang menang. Persepsi publik yang dibangun saat ini diyakini bisa menjadi panggung paling cepat untuk mendongkrak elektabilitas. Dengan kata lain, isu prestasi kerja dan program bukanlah prioritas utama untuk dipakai.

Prestasi kerja Ahok di Jakarta misalnya sudah cukup meyakini publik untuk memilihnya kembali. Namun, apa yang terjadi sebaliknya. Persepsi publik yang dibangun oleh gerakan jalanan jutaan orang justru memenangkan Anies-Sandi. Kenangan inilah yang menjadi idola kubu Prabowo-Sandi agar kembali terjadi. Kubu Prabowo ingin mengharapkan suatu moment memenangkan persepsi publik dengan kehebohan atau blunder di pihak lawan.

Persepsi publik juga sedang dikerjakan oleh kubu Jokowi. Kalau diamati gebrakan Jokowi beberapa hari terakhir, tidak lain dari upaya memenangkan persepsi publik. Kejutan yang dipertontonkan Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf Amin adalah contohnya. Contoh lainnya adalah kemunculan Jokowi di Asian games dengan mengendarai motor gede. Kedua hal itu penuh kejutan dan membangun persepsi publik dengan cepat.

Kelihatannya politik kejutan ala Jokowi kembali dipakai untuk memilih siapa ketua timsesnya. Jika nantinya itu yang terjadi, maka sangat erat dengan upaya untuk memenangkan persepsi publik. Begitulah kura-kura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.