Kolom Seriulina Karosekali: KAMI BUKAN ORANG KAMPUNG YANG CENGENG

Ketika saya upload kolom saya sebelumnya (Lihat di SINI) ke wall facebook saya, ada seseorang yang kirim pesan ke inbox. Katanya begini: ” Ooo …. ternyata kamu itu orang kampung yang belum melek tekhnologi, ya?” Ucapannya disertai emotion tertawa dengan kalimat susulan: “Bercanda, lho.”

“Mau kamu bercanda, mau kamu serius it’s ok,” balas saya sok pakai bahasa Manggris kata orang Karo (detak jantung mulai tidak normal).T

Tapi, baca dan ingat baik-baik, yang saya ketik ini. Bagi saya tidak penting kamu berasal dari mana, orang kota metropolitan sekalipun. Dari kalimatmu saja saya bisa menilai, kamu bukanlah orang yang smart. Walau kamu bilang itu bercanda, tapi saya tahu kamu meremehkan saya dan asal saya.

Karena kalimat yang kamu bilang candaan itu, saya akan semangat sekali menjelaskan sama kamu, tentang orang kampung. Walaupun kami orang kampung, pelosok lagi, dan belum mendapat perhatian pemerintah sejak dulu. Tapi, kami tidak cengeng dan merengek-rengek minta bantuan pemerintah. Kami tahu kok kami juga berhak menikmati infrastruktur yang memadai, dan sudah beberapa kali mengingatkan pemerintah, tapi belum dipenuhi. Begitu pun, kami tidak cengeng.

Kami tidak pernah mengemis makan atau minta bantuan biaya sekolah kepada pemerintah kecuali anak-anak yang berprestasi dan mendapatkan beasiswa. Bahkan, program pemerintah yang bagi-bagi beras Bulog, bagi-bagi uang tunai untuk biaya sekolah, boleh dihitung dengan jari sebelah tangan keluarga yang menerimanya. Tapi para orangtua kami sanggup mengantarkan anak-anaknya minimal tamat SMA sederajat bahkan sampai menammatkan perguruan tinggi.

Walaupun kami tinggal di lembah nan jauh dari hingar bingar kehidupan kota, tapi kami bukanlah rakyat yang buta tekhnologi. Kami juga bukan orang yang berpikiran sempit apalagi jongkok yang, ketika harga telur saja naik langsung demo, subsidi dicabut, langsung ribut.

Kami berulang kali diberi harapan palsu oleh pemerintah daerah, tapi kami juga tidak ribut seperti orang-orang kota yang ribut sampai demo ketika harga kebutuhan pokok naik sedkit. Subsidi dihentikan oleh pemerintah bisanya cuma nyinyir dan katakan pemerintah tidak pro rakyat. Tanpa mau tahu keadaan saudara-saudara kalian yang tinggal di pelosok sana. Mereka masih hidup di Jaman Batu, tanpa listrik, tanpa air bersih, dan infrastruktur. Orang-orang yang hidup di kota, hanya sibuk memikirkan diri sendiri dan terlalu manja dengan semua subsidi.

Pernahkah kalian berpikir dan membayangkan jadi orang yang tinggal di pelosok seperti di Papua sana? Tidak pernahkan kalian ingin bergantian mendapatkan jatah subsidi dengan mereka?

Kami sebagai orang kampung mengerti ketika tarif listrik naik, tapi saudara kami di Papua sana dapat menikmati terang di malam hari. Kalian yang tinggal di kota, hanya menikmati yang sudah disediakan pemerintah, hanya perlu sedikit kerja keras, kalian akan dapat memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa subsidi. Kami, walaupun hidup di kampung di tengah hutan, kami punya listrik, air bersih dan itu semua kami dapatkan atas swadaya masyarakat kami sendiri dengan bantuan satu instansi tapi bukan pemerintah.

Bisakah kalian orang kota menghargai kemandirian kami dengan tidak meremehkan orang pelosok seperti saya? Bisakah kamu bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah sudah menyediakan segalanya di kota? Seperti kami berterima kasih atas program dana desa yang diberikan Pak Jokowi untuk desa kami. Walaupun infrastruktur sampai saat ini belum bisa kami nikmati. Bukan seperti orang kota yang taunya komplain dan nyinyir, dan nyinyir saja.

Kalian yang di kota tahunya cuma terima yang sudah jadi semua, tanpa mau tahu, bagaimana prosesnya nasi, sayuran, daging dan telur ayam, ikan yang diambil para nelayan dengan menentang maut. Bagaimana proses menanam mulai tanam bibit padi sampai jadi beras, penyemaian cabe, tomat, dan sayur-sayuran, berapa lama dan bagaimana merawatnya, berapa modal yang harus kami sediakan, malah modal dipinjam, sampai panen dan dikirim ke kota untuk kalian nikmati. Tidak tahu, kan?.

Kalian juga tidak tau seberapa habis energi mengurus ternak 24 jam, berapa biaya dan tenaga yang harus dikorbankan sebelum telur ayam itu sampai di kota untuk mencukupi gizi protein kalian orang-orang kota. Sehingga naik harga telur 300 rupiah saja, langsung demo. Tapi bagi kami orang kampung, sangat mengerti bagaimana beratnya perjuangan saudara-saudara kami sesama petani, nelayan, peternak. Karena itu kami tidak akan pernah cengeng walaupun subsidi dihentikan, harga-harga dinaikkan. Kami tahu bagaimana cucuran keringat untuk menghasilkan suatu produk pertanian dan peternakan.

“Iya juga sich,” jawabnya masih lewat chat inbox.

“Jadi, jangan pernah meremehkan orang kampung, ya,” tegasku sekali lagi.

Saya malah sangat bangga jadi orang kampung. Di kampung itu, hidup bertoleransi sangat tinggi, kepedulian dengan yang lain juga masih besar. Jauh berbeda dengan makhluk kota yang kebanyakan egois. Dan, orang itupun tidak membalas chatku lagi. Tidak tahu apakah dia bosan dengan penjelasanku ini, kehabisan kata-kata, atau kehabisan kuota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.