Kolom Eko Kuntadhi: EKSPANSI GOYANG DAYUNG KE KOREA

Presiden Jokowi kunjungan ke Korea Selatan. Di sana dia berhasil menandatangani kesepakatan bisnis sebesar US$6,2 miliar. Sebuah perjalanan kenegaraan yang fokus dan efektif. Jokowi ngobrol dengan Presiden Moon, jalan pagi di taman, mengunjungi pasar, lalu sret… sret… sret… jadilah kesepakatan bisnis.

Setelah sukses jadi aktor ‘mission imposible’ di ajang Asian Games, tampaknya demam Jokowi melanda anak-anak muda Korea.

Goyang dayung mendunia. Bahkan hastag #DaebakJokowi merajai media sosial di sana. Jokowi jadi idola baru remaja Korea. Seorang Presiden sebuah negara besar yang bekerja keras sekaligus asyik dan gaul.

Para K-Popers di Indonesia juga ikut senang. Bayangkan. Ikon mereka para cowok kinyis-kinyis yang tergabung dalam Super Junior juga ikut berfoto bersama Jokowi dan Ibu Iriana.

Jokowi boleh fans berat Metalica, tapi tidak harus mengecilkan arti K-Pop. Dia tahu, inilah ikon penting Korea yang berhasil menjangkau dunia. Di China, Korea berjaya. Di Singapura dan Malaysia juga menciptakan demam. Juga di Indonesia.

Remaja Indonesia dilanda kehebohan Drama dan budaya pop Korea. Anak-anak muda kita dibuat meriang dengan potongan rambut ala tokoh komik model Suju. Perempuan begeng dan bening yang jika menangis air matanya jatuh slow motion juga jadi inspirasi. Invasi budaya Korea masuk berbarengan dengan Samsung, LG, Hyundai atau Daewoo.

Korea berhasil mengemas budayanya untuk diekspor. Akibatnya sektor pariwisata menggeliat. Tahun lalu, sekitar 20 juta anak muda China berkunjung ke Korea hanya untuk melihat lokasi-lokasi shooting Drakor yang menye-menye itu. Itu baru dari China saja. Belum lagi wisatawan dari Singapura, Malaysia, Taiwan, termasuk Indonesia.

Devisa masuk ke Korea kincring-kincring. Mereka menikmati geliat ramainya kunjungan wisatawan mancanegara.

Sedangkan kita kudu bekerja sangat keras untuk menarik wisatawan ke sini. Indonesia menargetkan 10 juta wisatawan China untuk membawa duitnya masuk ke sini. Itu saja susahnya minta ampun. Padahal, dari sisi destinasi wisata Indonesia gak kalah. Kita punya Kuta, Tanah Lot, Borobudur, Prambanam, Senggigi, Toba, Maninjau, Bunaken, atau Raja Ampat.

Kenapa China? Karena ekonominya booming. Rakyatnya makmur. Mereka butuh bepergian ke luar negeri menghabiskan tabungannya. Kesempatan itu diambil Korea. Mungkin juga Malaysia dan negara-negara lainnya. Kita juga ngiler agar mereka mau berkunjung ke sini dan menghabiskan duitnya. Tapi, harus diakui, itu bukannya gampang.

Di tengah repotnya mengundang wisatawan, kita juga direpotkan dengan isu ekspansi TKA asal China yang dihembus-hembuskan. Wong kita berharap 10 juta wisatawan China bisa datang membawa yuan, malah dispin isunya menjadi 10 juta tenaga kerja China masuk ke Indonesia. Isu seperti ini jelas kerjaan ampret.

Bukan hanya itu. Kebencian rasial juga sering dihembuskan. Kerusuhan bernuansa SARA masih sering terjadi. Akibatnya di masyarakat sering timbul kecurigaan pada pendatang, khususnya asal China. Mana ada wisatawan luar negeri mau berkunjung jika masyarakat kita penuh kebencian seperti itu.

Saya ingat. Dulu Anyer, Banten ingin dibangun menjadi Bali ke dua. Harapannya wisatawan asing mau menghabiskan dolarnya di sana. Pantainya indah. Alamnya juga asyik.

Tapi, ada yang kurang. Masyarakatnya masih cupet dan kurang ramah pada wisatawan. Belum lagi sikap intolerannya. Wong, di Cilegon bangun gereja saja dilarang. Pemda gak tahu, kebijakan norak itu bisa berimbas pada sektor ekonominya.

Makanya, Anyer sampai sekarang kurang berkembang. Paling hanya wisatawan lokal saja.

Padahal, di tengah dolar yang menguat seperti sekarang, sektor pariwisata bisa sangat membantu ekonomi kita. Masyarakat Bali mendapat berkah karena sikap ramah, terbuka dan toleransinya. Wisatawan asing masih betah ke Bali.

Coba perhatikan. Masyarakat yang organisasi intolerannya berkembang, pasti pariwisatanya lesu. Jika di Bali FPI, HTI atau FUI berkembang pesat pasti wisatawan akan kabur. Begitpun jika kepala daerahnya dari PKS. Kemungkinan besar sektor wisatanya mendem.

“Big bike, sneakers and denim jacket: rebranding Jokowi to win millennials’ vote in 2019,” demikian judul berita THE CONVERSATION emngulas sepak terjang Jokowi.

Jokowi berkunjung ke Korea. Dia berhasil membuat remaja Korea demam goyang dayung. Tapi itu gak cukup. Perlu ada strategi kebudayaan seperti Korea dengan musik dan kisah dramanya.

Di bidang musik, kita sebetulnya sudah mulai melangkah. Musisi-musisi kita kini dibesarkan oleh Youtube. Via Vallen atau Nella Kharisma berhasil merambah dunia. Dari pinggiran Pantura mereka merambah Malaysia, Hongkong, Brunei, dan negara Asia lain. Jika diseriusi dan diurus dengan baik, bukan tidak mungkin ‘dangdut is the music of my country‘ bisa dijadikan senjata untuk ekspansi kebudayaan.

Sayangnya, di dunia sinetron kita masih babak belur. Kalau drama Korea, kita disuguhkan kehidupan yang menye-menye tapi menarik itu. Sehingga membuat warga dunia jadi mau tahu budaya pop Korea. Sementara sinetron Indonesia masih berkutat pada karma, dosa, kualat, siksa kubur, mistis dan dedemit.

Jika orang asing nonton sinetron yang seperti ini, pasti dia ogah datang ke Indonesia. Takut disantet.

“Mas, kini bikin group musik, yuk, biar ngetop kayak Suju,” usul Abu Kumkum.

“Namanya apa Kum?”

“Nasidaria,” jawabnya cepat. Mulutnya langsung berdendang. “Syalala.. lala.. lala.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.