Kolom Muhammad Nurdin: STANDAR GANDA MAHASISWA RIAU (Yang Tukang Demo Turunkan Presiden)

Membandingkan “sebagian” mahasiswa Riau yang kemarin-kemarin demo turunkan presiden dengan mahasiswa Korsel, memang gak “banget” apple to apple. Ini kayak Ahmad Dhani yang gak “banget” apple to apple-nya dengan Erick Thohir. Saya katakan “sebagian” karena masih banyak di Riau mahasiswa yang lebih waras, dan menjunjung tinggi sikap netral dan kritisnya sebagai mahasiswa.

Mahasiswa selalu identik dengan gerakan perubahan. Gelisah atas jumudnya perkembangan. Juga marah melihat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan di depan mata.

Aksi 98 adalah gambaran totalitas seorang mahasiswa. Korban nyawa harus dibayar demi sebuah perubahan (reformasi). Ini berat. Tapi tanggungjawab itu “seakan-akan” ada di pundak mahasiswa.

Lalu, apakah apple to apple menggambarkan kondisi sekarang dengan tahun 98? Dimana, mahasiswa turun ke jalan, meringsek masuk gedung DPR(D) untuk menyerukan satu hal: “Turunkan Presiden!”

Ini ngaco! Ini benar-benar ngaco! Sebagai mahasiswa kita perlu berkaca. Merenungi lagi bahasa perlawanan yang memang perlu kita suarakan.

Dollar menguat, rupiah anjlok. Kata mereka, negara sudah masuk kategori darurat, sehingga presiden harus turun. Saya bingung, mereka jenis mahasiswa apa? Dollar menguat, lalu demo, di sisi lain, emak-emaknya masih enjoy ke pasar.

Darurat itu kalau emak-emak kita mulai ngeluh abis pulang dari pasar. Ke pasar yah, yang isinya telor, tempe, sama ikan asin, bukan pasar saham.

Kalau emak-emak ngeluh, harga hermes naik, louise vuitton naik, rolex naik, itu artinya ada banyak orang kaya baru yang kagetan, belom bisa adaptasi sama fluktuasi dollar.

Demonstrasi besar-besaran di tahun 98 jelas peruntukannya. Kegagalan berdemokrasi. Kita lihat siapa yang bersuara untuk menentang pemerintah, kalau enggak diculik, dipenjara, ya ditembak secara misterius. Belum lagi soal KKN besar-besaran yang telah menggurita, sampai-sampai dari beras pun bisa dikeruk uang negara.

Sangat tidak apple to apple membandingkan demo 98 dengan demo di Riau. Bahkan, demo yang menuntut agar presiden harus turun, ini terlalu berlebihan.

Justru, sebagai mahasiswa yang lebih tahu sedikit banyak soal konstitusi, dibanding penjual telor, harusnya mahasiswa Riau menempuh jalur-jalur yang lebih beradab dan konstitusional, jika mereka merasa kecewa dengan kinerja pemerintah.

Bahkan, tukang telur pun tak perlu demo turunkan presiden, di tengah tuntutan emak-emak gaya sosialita berhati kaum dhu’afa, yang nuntut telur jadi 11 rebu per kilo.

Cuma…
Yang saya sayangkan adalah begini. Mereka yang demo turunkan presiden seakan menuntup mata atas permasalahan domestiknya. Tiga gubernur diciduk KPK, tak ada satupun demo besar-besaran yang sampai menduduki Gedung DPRD Riau.

Harusnya, semangat mahasiswa adalah mengawal permasalahan internal daerah mereka. Mengapa harus menyasar masalah nasional, kalau masalah internal daerah mereka sendiri diam seribu bahasa? Padahal, secara nasional kita baik-baik saja meski dollar masih menunjukkan keperkasaannya.

Kebungkaman atas permasalahan domestik, tapi berisik dengan “isu” nasional, menandakan ketidakpekaan para mahasiswa atas suatu hal yang “benar-benar” mereka harus selesaikan.

Ini seperti sebuah kekuarga yang sibuk ngurusin rumah tangga orang lain, sedang rumah tangganya sendiri kacau balau.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.