Kolom Eko Kuntadhi: PARA BINTANG DI MALAM ITU

Saya sedang makan di pinggiran pantai Sanur bersama beberapa teman ketika pembukaan acara Asian Para Games 2018 disiarkan langsung. Saya hanya menonton sepotong via FB live teman-teman. Sampai di hotel, ternyata di Youtube sudah ada tayangan full version.

Malam tadi, meski terlambat beberapa jam saya sempat menyaksikan sebuah pagelaran yang asyik.

Pagelaran yang menampilkan keragaman Indonesia. Dari berbagai agama dan budaya. Ada Islam Indonesia, Budha Indonesia, Kristen Indonesia, Hindu Bali yang khas Indonesia, ada juga nuansa Kong Hu Cu Indonesia. Agama-agama memiliki akar kuat di masyarakat kita. Disajikan dengan simbolisasi apik.




Malam itu, saya menyaksikan 3 bintang. Pertama adalah Jan Ethes. Cucu Presiden ini diajak kakeknya, nangkring asyik di kursi. Wajahnya yang polos memang menggemaskan. Gak salah kalau banyak ibu-ibu yang memasang foto Ethes pada profil medsosnya.

Bintang ke dua adalah Bu Iriana. Malam itu, ibu yang sederhana ini tampil ceria. Ketika kontingen Indonesia berjalan memasuki stadion dengan iringan musik, dengan santainya Iriana ikut bergoyang. Dia juga ikut menyanyikan lagu Gebyar-gebyar ciptaan Gombloh. Semangat.

Sepanjang kontingen Indonesia bergerak, tidak henti Bu Iriana menggoyangkan badannya, memancarkan energi ceria ke siapa saja yang melihatnya. Jujur saja, kita baru kali ini mendapatkan gaya seorang fisrt lady yang lepas. Asyik. Gak jaim dan natural.

Berbeda dengan para ibu negara sebelumnya yang biasanya jaim dan bergaya keningratan. Iriana tampil lepas saja.

Bintang lainnya adalah Bulan, anak 11 tahun dengan kondisi difabel. Bulan adalah gadis energik asal Riau. Dia pernah menuliskan sebuah permintaan pada Presiden Jokowi. Isinya meminta dibelikan sebuah kursi roda.

“Kalau anak-anak lain diberikan sepeda, saya juga mau hadiah dari Bapak. Saya butuh kursi roda,” tulisnya.

Tulisan tangannya diunggah mamanya di akun media sosialnya. Lalu viral. Lalu Presiden merespon dengan mengirimkan sebuah kursi roda untuk Bulan.

Beberapa waktu lalu, Bulan pernah diundang ke Jakarta oleh stasiun TV. Saya sempat saling kontak dengan orangtua Bulan. Menanyakan kabar gadis kecil yang keren itu. Untunglah kesempatan di Jakarta itu, Bulan diundang mengunjungi istana. Dia berkesempatan diterima staf Presiden di Istana Negara. Sayang, waktu itu Presiden Jokowi sedang tidak ada di Jakarta.

“Bulan ingin menyampaikan ucapan terimakasih langsung kepada Pak Jokowi,” ujar mamanya kepada saya.

Ada satu pertunjukan yang membuat saya terpaku. Seorang penari pria di atas kursi roda bergoyang indah. Dia tampil bersama penari perempuan bergaun putih.

Liuk badannya di atas kursi roda tidak kalah indah dengan para penari normal. Justru di atas kursi roda, saya menyaksikan keindahan tarian yang mengagumkan.

Dan, ketika kontingen berbagai negara berjalan memasuki stadion, saya terpaku melihat keceriaan di wajah mereka. Saya tercekat. Betapa indahnya Tuhan menciptakan manusia. Mereka diberikan kondisi yang tidak sama dengan kita. Tapi, lihatlah wajah mereka. Lihatlah keceriaan dan senyumnya. Lihatlah sorot matanya yang memancarkan optimisme.




Saat kontingen asal Palestina masuk ke stadion, saya tercekat. Duduk di kursi roda, dia adalah kontingen satu-satunya asal Palestina. Didorong oleh seorang panitia. Wajahnya menampilkan senyum. Cerah dan optimis.

Bukan. Asian Para Games ini bukan hanya pertandingan olahraga. Bukan hanya menunjukan siapa yang pantas menang dalam sebuah ajang. Ajang ini adalah sebuah pelajaran, bagaimana keterbatasan disikapi dengan hati yang jembar.

Mereka tidak menyalahkan Tuhan atas kondisinya. Mereka berdamai. Mereka justru menunjukan kepada dunia tidak ada yang bisa membatasi prestasi seseorang. Tidak ada yang bisa memghambat pencapaian sepanjang diusahakan dengan semangat.

Tubuh yang tidak sempurna justru menjadi aset. Mereka menerima kondisinya, bekerja keras dengan keterbatasannya untuk diperhitungkan kehadirannya.

Sementara, banyak orang yang tubuhnya relatif normal, seperti menyesali keadaan. Bahkan seorang nenek tua yang termakan usia, hendak melawan keadaan dengan operasi plastik. Sebetulnya gak apa-apa. Tubuh adalah hak setiap individu. Manusia bisa berbuat apa saja dengan tubuhnya sepanjang tidak menganggu manusia lainnya.

Tapi justru, prosesi perlawanan pada usia tersebut malah dieksploitasi menjadi hoax yang menyebalkan. Sampai seorang Capres mempermalukan dirinya ikut menyebar kebohongan.




Mudah-mudahan minggu-minggu depan ini mereka semua menyaksikan beberapa pertandingan di arena Asian Para Games ini. Agar bisa belajar, bahwa untuk memenangkan sebuah pertandingan yang dibutuhkan adalah kerja keras.

Bukan menistakan keadaan.

“Kalau Asian Para Games itu ajang pertandingan buat mereka yang cacat fisik. Kayaknya perlu dibuat ajang pertandingan buat orang yang cacat moral. Misalnya, lomba berkuda,” ujar Abu Kumkum.

Saya diam saja. Gak mau menanggapi. Saya sudah tahu ke mana arah pembicaraan bakul minyak telon ini.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.