Kolom Edi Sembiring: BENANG MERAH DI ANTARA SUKARNO, JOKOWI DAN SUKU KARO

Presiden Joko Widodo dan ibu Iriana bukan sedang mengikuti acara adat. Bukan sedang ditabalkan merga. Juga bukan sedang ditepungtawari. Jokowi datang dalam rangka Dies Natalis ke-66 Universitas Sumatera Utara (USU) di Auditorium Kampus USU pada Senin, 8 Oktober 2018. Dan Jokowi juga melakukan Orasi Ilmiah. Pada kesempatan ini, Jokowi dan ibu diberi cinderamata. Cinderamata bisa apa saja mulai dari kain, plakat, patung, buku dan lain-lain. Tapi kali ini diberi uis (kain tenun) dari Suku Karo.

Uis dalam bahasa Indonesia adalah kain. Ada media nasional yang menuliskannya ulos. Sementara yang diberikan pada Jokowi dan ibu adalah Uis bukan Ulos. Karena Ulos milik Suku Batak, sementara Uis milik Suku Karo.




Uis yang diberikan pada Jokowi adalah Uis Kapal Gatip. Uis ini menunjukkan karakter teguh dan ulet. Uis ini juga diberikan sebagai cabin (selimut) untuk Kalimbubu jika dia bermalam di rumah Anak Beru. Daerah dataran tinggi Tanah Karo memang dingin.

Karakter teguh dan ulet juga dimiliki oleh Jokowi yang telah dibuktikannya di periode kepemimpinannya saat ini. Dan ibu Iriana menerima Uis Ragi Barat. Uis yang melambangkan sukacita.

Presiden Jokowi dan Bu Iriana “dilindungi” dengan uis Suku Karo yang diberikan oleh Rektor USU (Prof. Dr. Runtung Karo-karo Sitepu SH) bersama istri.

Teringat soal cinderamata, tak harus diberi Uis Beka Buluh. Bisa diberi Uis Kapal misalnya. Bahkan waktu Neumann mengakhiri pelayanannya di GBKP, Neumann diberi miniatur rumah adat Karo yang sangat berseni.

Koran Het Nieuwsblad voor Sumatra bertanggal 13 Juli 1949 menuliskan, Penghulu desa dimana Rumah Sakit Lepra Lao Si Momo berada datang ke Medan untuk mewakili 270 pasien di rumah sakit ini. Rumah sakit ini berada di bawah binaan GBKP. Mereka berat melepas Neumann yang telah berakhir tugasnya di Indonesia.

Kembali ke ruang Auditorium USU, Medan, kini koleksi Uis dari Karo milik Jokowi dan ibu telah bertambah. Sebelumnya telah menerima Uis Beka Buluh saat beberapa kali mengunjungi para pengungsi erupsi Sinabung di Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung).

Patung Sukarno di halaman depan pasangrahan tempatnya diasingkan di Berastagi, kaki Gunung Sibayak (Dataran Tinggi Karo)

Dengan suara yang tegas, dalam orasi ilmiahnya Jokowi berkata, “Pendidikan tinggi memang harus mencetak lulusan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, perguruan tinggi juga harus membuat alumninya mencintai Indonesia yang melahirkan para pembela Pancasila, yang menancapkan jiwa kerakyatan, serta yang menanamkan integritas dan profesionalisme untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Semangat yang sama pernah diucapkan Sukarno pada tahun 1951 di hadapan para pejuang dan warga Suku Karo. Saat itu masyarakat Karo tak lagi memiliki ratusan rumah adat yang megah karena dilakukan kebijakan Bumi Hangus untuk menghempang Belanda dengan Agresinya.

“….. oleh kebijakan Bumi Hangus telah hancur, rakyat meminta bimbingan dan dukungan, dan siapa yang akan bisa melakukannya. Rekonstruksi adalah tugas kita bersama, dan untuk ini kita harus bekerja keras. Kita sempurnakan menuju masyarakat adil dan makmur,” ucap Sukarno di hadapan ribuan warga Suku Karo yang berkumpul pada Rapat Umum, Sabtu, 28 Juli 1951 di Kabanjahe (ibu kota Kabupaten Karo). Sukarno mengajak semua untuk menjadi pelopor yang berjalan di depan untuk membangun DAERAHNYA.




Dan malamnya, Sukarno beristirahat di Bungalow BPM, Berastagi. Di halamannya, di bawah bimbingan cahaya rembulan, Sukarno mengenakan Uis Kapal di leher untuk menghalau udara dingin. Sukarno ikut menari.

Dan Sukarno membawa pulang Uis sebagai kenang-kenangan dari masyarakat Karo. Yang tersisa di ingatan kenangan yang diceritakan Bapa Rayat Sirulo (Bapa Seluruh Rakyat) ini di hadapan rakyatnya yang teguh mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2 penari Karo yang hanya mengenakan uis (kain tenun Karo) sebagai pakaian penutup tubuh. Foto ini adalah cuplikan dari film pariwisata Kabupaten Deliserdang yang diproduksi oleh Dinas Pariwisata Pemkab Deliserdang sehubunggan dengan bagian hulu kabupaten ini adalah tanah ulayat Suku Karo sedangkan bagian hilir tanah ulayat Suku Melayu.

Dia pernah berada di Kabandjahe pada 1 Januari 1949 sebagai tahanan. Kemudian dari Brastagi, di mana tentara Belanda telah menahannya 8 hari di kendaraan tertutup, ia dibawa melalui Kabanjahe menuju Prapat, karena tentara Belanda telah mendengar bahwa orang-orang dari Kabanjahe dan Berastagi itu ingin membebaskan “bapanya”.

Uis mampu merangkai kisah. Bukan sekedar cenderamata. Tapi ikatan historis bagi pemimpin yang teguh pendirian dan ulet bekerja. Uis terbuat dari Benang Dua Puluh, sebuah bahan ritual Karo dalam “menuntun kembali jiwa yang tersesat” (raleng tendi) agar menemukan jalan kembali ke bawah lindungan Penciptanya (Rumah Silindungen Bulan).

VIDEO: Ritual “menuntun jiwa yang tersesat” (raleng tendi) yang diolah oleh koreografer Juara R. Ginting ke dalam sebuah seni pertunjukan yang ditampilkan beberapa tahun di sebuah seminar internasional di Medan mengenai Global Warming in Asia. Cermati irama musiknya, itulah denyut nadi Suku Karo yang melankolis (tidak suka membentak ataupun mengancam)







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.