Surat Terbuka Pada Bung Fadli Zon

Ditulis oleh: Dwisunu Hanung Nugrahanto (Anton)

 

Bung Fadli Zon, yang kuhormati sebagai seorang intelektual besar, salah seorang ahli sastra Rusia yang tentu paham bagaimana kata- kata bekerja dalam nuansa sastra yang menyadarkan baik pikiran maupun hati, karena seorang ahli sastra pertama tama ia bekerja di ruang kesadaran, sementara sebagai politisi tentunya realitas menjadi penentu bagaimana menghitung langkah langkah kemenangan untuk berkuasa. Dalam pertarungan menuju kemenangan seorang politisi memiliki tugas, yaitu: bagaimana menjadikan tiap langkahnya sebagai bentuk “Pendidikan Politik”.

Karena perjuangan seorang politisi tanpa pendidikan politik akan menemukan kehampaan, apalah artinya kekuasaan bila itu tidak bergerak di ruang kesadaran…

Bung Fadli, saya Dwisunu Hanung Nugrahanto, atau kerap disapa Anton mungkin juga akan menjadi rival anda di Parlemen itu kalau saya lolos nanti, karena saya mencalonkan diri menjadi DPR RI, untuk dapil VIII Jabar (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Indramayu) dari Partai yang kerap anda serang yaitu PDI Perjuangan. Entahlan saya bisa lolos ke Senayan apa tidak tentunya itu takdir, begitu juga anda, apakah 2019 akan tetap memberikan panggung pada anda atau tidak, tentunya itu juga takdir. Tapi disini marilah kita berdansa di alam pikiran, tentang bagaimana seharusnya pendidikan politik itu menjadi sangat penting dalam kontestasi demokrasi.




Dalam satu bulan ini anda membuat banyak pernyataan yang membuat heboh. Ini tentunya bagus, sebagai politisi anda sudah mampu menjadikan ruang publik sebagai panggung yang penuh sorot ke diri anda, fungsi Komunikasi Politik berjalan efektif dalam seluruh tubuh anda, tentunya ketika anda mengibaskan tangan, membentuk gestur tubuh dan kemudian narasi dilepas ke floor publik, anda menjadi bintang panggung penuh pesona. Tapi apalah arti bintang panggung bila tidak menyadarkan.

Apakah artinya WS Rendra di panggung membaca puisi, bila tak membangun refleksi perenungan. Apalah artinya Teguh Karya ketika menciptakan film menjadi ruang hampa ingatan?, apalah artinya menjadi Teguh Srimulat, ketika melawak tanpa menciptakan “celetukan berulang” yang abadi penuh makna, seperti “Hil Yang Mustahal” ataupun “Untung Ada Saya”. Semua hal yang dikenang dalam masyarakat, menjadi kronika ingatan dari waktu ke waktu adalah sebuah sejarah. Dan Pemenang sesungguhnya atas kerja kerja kebudayaan dan politik selalu menciptakan ruang ingatan panjang dalam sejarah.

Ketika anda menjadi aktor politik, sudahkah anda menjadi pencipta ruang ingatan yang panjang itu membawa rakyat pada ruang kesadaran untuk merenung bagaimana bangsa ini dibawa kepada kecerdasan yang berbudaya? Seperti lagu “Potong Bebek Angsa” yang anda share dan oleh pembuatnya di edit video-nya. Anda mengatakan itu kreatifitas, tapi sebenarnya anda sedang memproduksi halusinasi ketakutan. Dan ternyata ketakutan serta ketidakpercayaan ternyata menjadi produksi politik anda dalam membentuk sebuah narasi besar.

Ada tiga hal dalam satu bulan ini anda merilis produk opini politik, pertama : Menyebut Melapor ke Kepolisian “Mubazir” dalam kasus Ratna Sarumpaet, Kedua : Menggunakan nama Sukarno untuk mempermainkan politik ingatan tanpa refleksi, dan di akhir bulan anda menyebut “Politik Kebohongan Jokowi” dari tiga seri produksi itu, anda sedang membangun “ketidakpercayaan pada entitas”.

Pertama, bagaimana bisa anda membentuk sebuah opini bahwa Polisi menjadi lembaga yang tidak bisa dipercaya dalam kasus Ratna Sarumpaet, karena bagaimanapun juga Polisi adalah lembaga hukum, anda dengan kelompok anda malah melapor ke media, ketimbang secara sabar menunggu hasil laporan kepolisian dan keterangan resmi Rumah Sakit. Kemudian kejadian amat memalukan terjadi, bersusah payah anda melakukan pengingkaran terhadap kasus yang memalukan ini.

Boleh saja anda membangun ketidakpercayaan pada lawan politik anda, namun perlu diingat dalam politik, sudah maqom-nya untuk selalu berubah-ubah, dari teman menjadi sekutu, dari sekutu menjadi lawan, itu hukum utama dalam permainan politik. Namun dari semuanya, ada yang pasti yaitu : “Negara”. Instrumen-instrumen negara harus jadi pegangan, seragu apapun anda, instrumen negara harus jadi tolok ukur dalam segala tindakan, apapun bentuk manuver dan strategi politik anda mulai dari gimmick sampai pada kritik serius ada satu hal yang pasti, tetaplah bersandar pada percaya terhadap instrumen negara, karena negara adalah pondasi yang menaungi seluruh dinamika politik.




Kepolisian adalah salah satu instrumen negara, kata-kata anda soal “Mubazir” menjadi inti dari seluruh persoalan kasus Ratna Sarumpaet yang berpotensi menimbulkan keonaran, kita tidak bisa membayangkan bila kemudian RS, mengakui salah. Apapun faktanya, semuanya akan kacau karena sejak awal sudah dibangun ketidakpercayaan pada pihak Kepolisian, sebagai “Pihak Berwajib” yang merilis satu fakta valid.

Dalam kasus RS dan konferensi hoax-nya di awal bulan Oktober, yang sebenarnya sebuah kesempatan untuk menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, justru menjebak kelompok politik anda pada situasi kekanak-kanakkan yang justru menjatuhkan elektabilitas Prabowo-Sandiaga secara drastis. Ketidakpercayaan yang mulai anda bangun justru berbalik, dengan kekuatan media besar-besaran bersama opini publik di domain swing voter menghajar kelompok anda, perhatian masyarakat justru menilai kelompok anda menjadi kekuatan besar hoax yang terang benderang ditunjukkan ke publik.

Kedua, dipertengahan bulan Oktober, anda mencuitkan twitter : “Bung Karno bisa menangis melihat Indonesia menjamu Neokolonialis 1 trilyun”, saya paham ini jelas gimmick politik anda dengan mengangkat emosional tentang kenangan Sukarno, karena siapapun tau ketika Bung Karno angkat bicara soal “Go To Hell with your aid” jelas itu ditujukan pada IMF dan Bank Dunia, dan Bung Karno saat itu memang sedang melakukan perang konfrontasi dengan Malaysia, dimana sebenarnya perang itu adalah perang geopolitik dan perebutan pengaruh wilayah wilayah modal di seputaran Asia Tenggara.

Tapi tentunya siapapun juga tau, konfrontasi itu digagalkan oleh konflik internal di dalam negeri pada tahun 1965, dan operasi politik kedaulatan Bung Karno, dengan tema besar Berdikari selesai sudah ketika Suharto berkuasa di negeri ini sejak saat itu justru IMF adalah dewa penyalur darah bagi seluruh denyut kehidupan Orde Baru dimana Sukarno dan tujuan politiknya dinihilkan dari ruang sejarah.

Sejarah itu tak lepas dari dinamika dan dialektika, Bung Fadli… dalam perjalanan ekonomi kita, politik Berdikari itu jauh ditinggalkan, politik dependensi (ketergantungan) negara berkembang justru itu dilakukan oleh Mafia Berkeley, dan sekelompok orang yang disebut Mafia Berkeley adalah anak didik dari Prof Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Boss anda. Liberalisasi ekonomi Indonesia sangat kuat, bahkan berjalan dalam periode yang amat panjang, dari awal 1970-an sampai dengan 1980-an akhir.




Beberapa produk liberalisme mulai dari impor kendaraan besar-besaran yang kemudian menghambat perkembangan transportasi publik sampai dengan liberalisasi dunia perbankan yang berakhir pada krisis ekonomi 1998, menjadi catatan sejarah paling muram bagaimana politik berdikari Bung Karno dinihilkan dalam agenda agenda politik. Dan pemikiran Sukarno soal Trisakti: Berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan bangkrut total dimasa Orde Baru, dan kemudian tujuan tujuan negara Orde Baru dikoreksi dalam Reformasi yang digerakkan mahasiswa pada Mei 1998.

Namun, seperti di headline surat surat kabar saat itu, koreksi terhadap ekonomi itu justru harus melewati resep resep IMF, dalam tanda tangan resepsi itu jutaan orang Indonesia marah ketika melihat foto Suharto menunduk tandatangan di depan Boss IMF, Michael Camdessus. Bangsa ini merdeka dengan merebut kemenangan, Van Mook saja bisa diusir dari Istana Merdeka oleh pasukan Republik, Van Langen gagal menguasai Yogyakarta tahun 1949, ini kok malah Presiden Republik seperti menunduk pada kemauan IMF, tapi apalah daya lansekap ekonomi kita memang sudah dikuasai IMF, kalau menarik diri dari IMF justru akan menciptakan krisis besar.

Tentunya anda tau bagaimana sebuah negara yang tidak dikuatkan oleh landasan berdaulat secara menyejarah untuk tiba-tiba meloncat pada ekonomi berkedaulatan tentunya akan bangkrut total, lihatlah kasus Venezuela. Kesabaran untuk menjadi bangsa berdikari sesuai rel Sukarno harus dijalankan dengan hati-hati dan memperhatikan seluruh keadaan.

Jadi sederhana saja melihat ini Bung Fadli, di pihak mana anda berada pada 1998, jelas anda adalah produk Suhartois, ketika anda muda tidak terlibat dalam pertarungan jalanan melawan Suharto, anda merapat ke Cendana dan sampai saat ini pun garis politik anda, garis politik Cendana sebagai seorang pengikut keluarga Cendana anda konsisten dan tentunya ini juga mempengaruhi alam bawah pikir anda. Bagaimana bisa anda meledek Sukarno akan menangis melihat IMF di Bali, tanpa mengerti bagaimana dinamika dan dialektika yang terjadi, sementara anda sendiri mati matian membela ideologi Suhartois dan menjadi bagian dari kelanjutan sejarah Orde Baru.

Bung Fadli, apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan membangun konektivitas Nusantara adalah kelanjutan politik Bung Karno di tahun 1959, dimana saat itu Djuanda menjadi Perdana Menteri-nya, dalam “Zaken Kabinet” atau Kabinet Kerja, konektivitas Nusantara itu dibangun. Inilah konsepsi politik tata ruang Bung Karno yang dimaktub kemudian dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi) Pembangunan Semesta 1963.




Dalam poin 28, preambule Dekon menyatakan bahwa “Dalam memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi harus disadari selanjutnya bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau, sehingga kita harus mementingkan penyelenggaraan lalu lintas barang antar pulau dan kita harus berdagang dengan dunia luar guna pembangunan dan penghidupan sehari-hari. Berhubung dengan itu maka kita harus memperhatikan perhubungan, baik dalam satu pulau maupun antar pulau. Karena itu, maka soal perhubungan menempati fungsi ekonomis yang maha penting. Selama ini belum diatur secara rapi, maka hasil usaha-usaha kita tidak akan memuaskan”.

Ketika Jokowi bekerja mati matian menjalankan amanah Bung Karno yang belum selesai itu soal konektivitas Nusantara, ada anggota DPR Gerindra Rachel Maryam menyataken “Apa rakyat disuruh makan jalan aspal tol” betapa naif-nya bung, wawasan politik seperti ini. Dan apakah itu menjadi bagian gimmick politik seperti “Sukarno bisa menangis soal IMF di Bali” ataukah memang alam bawah sadar kelompok anda tak paham bagaimana pemikiran geopolitik Sukarno bekerja.

Pusat permasalahan dari Pembangunan ala Suhartorian adalah pembangunan di pusat-pusat kekuasaan, efeknya ternyata sangat jangka panjang karena kepadatan penduduk menjadi tak terkendali, tidak ada disiplin ruang kota dan penataan kota menjadi berantakan, anda tau bagaimana sekarang harga tanah di Jakarta, Bandung, Semarang atau Surabaya. Melejitnya tinggi sekali karena berpusatnya seluruh pusat bisnis dan jasa berada di kota kota tersebut, anak anak muda saat ini tidak bisa membeli tanah karena harga tanah melambung tinggi.

Presiden Jokowi berpikir jangka panjang dengan memperluas ruang hidup, dengan terbentuknya kota-kota baru maka anak anak muda diberikan kemudahan dalam memiliki aset rumah dan mengembangkan kemampuan intelektual serta ketrampilan kerjanya di kota baru, inilah juga yang dilakukan Bung Karno dalam memperluas ruang hidup baru dengan mempersiapkan Palangkaraya sebagai ibukota dimana kemudian rencana Bung Karno menjadikan banyak kota-kota baru di wilayah timur Indonesia.

Presiden Jokowi melakukan politik infrastruktur bukan sembarangan bung, dia punya konsep Pembangunan Semesta yang pernah digagas Bung Karno dan dieksekusi oleh Djuanda di awal tahun 60-an, Pembangunan Semesta berbeda dengan Pembangunan ala Suhartorian dalam soal tata ruang, dimana pembangunan ala Suhartorian lebih menekankan pada ruang-ruang kendali kekuasaan sementara Bung Karno menekankan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan rakyat dan potensi yang dimilikinya, inilah perbedaan antara konsep pembangunan ala Sukarnois dengan Suhartois tentunya ini bisa menjadi referensi sejarah dalam bagaimana menciptakan Indonesia ke depan.

Bung, arus barang sekarang menjadi kunci pertarungan global dimana mana. Tanpa itu kita bakal ketinggalan, dan tahukah anda masa depan dunia perdagangan ini ada dimana? Di Pasifik, bung, inilah kenapa Indonesia Timur menjadi pusat dari perkembangan strategi jalur dagang Republik… kembali ke soal IMF tadi, dalam persoalan persoalan politik kedaulatan yang terpenting adalah bagaimana “Menjadikan Kapital Sebagai Alat Kedaulatan”.




Perang modal saat ini berkisar di soal itu juga bagaimana Kapital menjadi sedemikian penting dalam pertarungan perdagangan. Disini Presiden Jokowi justru sedang mempersiapkan langkah pertama kemenangan Kapital, dan tentunya menggunakan cara-cara Sukarnois dalam melihat agenda perebutan Kapital itu. Jadi ketika anda meledek “Bung Karno akan menangis” itu justru memamerkan ketidaktahuan anda soal dinamika dan dialektika dalam pertarungan kapital dari sisi historis sampai sisi menyikapi masa depan, bagaimana kekuatan kekuatan modal harus ditunggangi untuk mempercepat kedaulatan kapital Republik…

Ketiga soal Politik Kebohongan, jangan dijadikan sarana kampanye. Disini artinya politik harus ditawarkan berbasis data dan kegelisahan masyarakat, bukan dijadikan sebuah produksi ketakutan, kecemasan dan pesimisme tanpa ajuan data. Anda seorang yang terpelajar tentu mengerti bagaimana peran kelompok oposisi dimainkan, dan di negara yang sudah matang demokrasi justru oposisi memiliki tempat yang sejajar dengan pemerintahan.

Di Inggris misalnya, Partai Oposisi ataupun koalisi oposisi memiliki kabinet bayangan yang memiliki narasi dalam mengeritik kebijakan pemerintahan sehingga tawaran kritikan sangat sehat. Tapi disini, anda cenderung memainkan emosi ketimbang sebuah jalan pendidikan politik bagi masyarakat luas. Ketika Presiden Jokowi meminta semua pihak tidak memainkan politik kebohongan anda tanggapi dengan situasi emosional seolah oleh Presiden Jokowi yang berbohong, kalau begini bagaimana kita bisa menanggapi sebuah substansi dalam persoalan persoalan bangsa …

Bung Fadli, marilah kita sama sama menjadikan Politik di Indonesia ini cerdas dan dewasa, juga mengajak rakyat untuk tidak saling menghujat namun memahami dengan tujuan bersama sebuah bangsa yang maju dan dewasa dalam berpikir serta reflektif.

Jakarta, 23 Oktober 2018







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.