Kolom M.U. Ginting: BERBALAS PUISI (Fadli Zon vs Inas Nasrulllah Zubir)

Menarik jugalah kalau budaya pantun dikembangkan walaupun dalam menghadapi situasi ‘perang politik Pilpres’ sekarang. Bagusnya ialah bahwa ‘pengalihan isu’ seperti ini bukanlah maksud sebenarnya dari perekayasa divide and conquer. Perekayasa ini inginnya supaya rakyat Indonesia saling bacok, bukan saling berpantun.

Hal seperti inilah yang tidak terjadi di tempat-tempat atau negeri-negeri lain seperti Eropah atau AS, misalnya.

Di sana tidak ada tradisi berpantun membahas atau menyelesaikan suatu soal. Perekayasa divide and conquer tentu juga banyak belajar atau sudah mempelajari ciri-ciri khusus bangsa Indonesia untuk bisa menciptakan secara tepat taktik divide and conquernya, tetapi rupanya belum memahami sifat khusus berpantun ini.

Berdialog atau diskusi/ debat dalam bentuk pantun merupakan tradisi leluhur bangsa Melayu yang juga adalah penduduk asli bangsa Indonesia.

Kelihatannya, dan sudah terbukti dalam pengalaman selama ini, taktik siasat divide and conquer sudah kebanyakan tidak lakunya daripada larisnya. Dalam waktu yang singkat, atau sementara waktu, memang laris manis. Tetapi, hebatnya bangsa ini, cepat menelanjanginya setelah itu dan taktiknya jadi tak laku.

Bagaimanapun kacaunya, sifat leluhur kita itu masih tetap dihormati. Saling bantu bergotongroyong dan bermusyawarah merundingkan tiap soal hidup yang menimpa bangsa sendiri. Itu masih tertanam di hati sanubari bangsa Indonesia.

Dulu kita tertipu, tidak ada yang menelanjangi penipuan pecah belah itu, tapi sekarang semua tipuan ditelanjangi publik. Oleh ratusan juta publik dan ahli dari berbagai bidang. Ini semua ada di internet, terbuka bagi semua.

Alat pecah belah KOMUNISME memang sangat lama di Indonesia. Tetapi itu abad lalu, abad KETERTUTUPAN. Saat itu, belum memungkinkan untuk mengetahui atau menelanjangi HAKEKAT KOMUNISME. Abad INTERNET KETERBUKAAN bukan lagi abad lalu. Bangsa Indonesia sangat hobbi mengikuti perubahan jaman, dan juga mengikuti serta membelejeti semua usaha pecah belah. Bahkan KOMUNISME sudah tidak laku, dengan jalan apa sajapun.

Pengganti Komunisme yaitu Radikalisme, juga sudah sangat cepat dipahami oleh publik Indonesia. Karena itu, semua bentuk radikalisme yang sudah sempat dimunculkan di Indonesia (HTI, 212, Saracen, dsb) cepat tertelanjangi dan cepat hilang. Bentuk terakhir dari rekayasa ini (kalimat Tauhid) sekarang sedang asyiknya, tetapi berapa lama (?), sampai bentuk baru dan ciptaan baru lagi.

Isu kalimat Tauhid sangat terlihat bagaimana direkayasa pada mulanya. Tidak susah untuk memahaminya. Dibandingkan misalnya dengan rekayasa kudeta Soekarno yang sangat rumit itu. Tetapi inipun sudah bisa dibaca terbentang secara terbuka di internet, dari semua ahli semua lapangan ilmu.

Publik dan bangsa Indonesia yang sudah sangat pandai tidak gampang lagi dipecah belah. Tetapi, kewaspadaan harus terus ditinggikan, menantikan bentuk baru alat perpecahan. Terakhir ini kalimat tauhid, sebentar lagi bisa kalimat ‘toufu’. Siapa tahu. Tetaplah siap menyambut apapun bentuknya.

Begini puisi lengkap Inas berjudul ‘Semprul’.

SEMPRUL

Kau ini politikus semprul
Seringkali kau sok tahu
Padahal kau kura-kura dalam perahu
Kau berteriak agar nampak garang
Padahal kau mager keluar kandang

Kau ini politikus semprul
Kau bilang asing kuasai Indonesia
Padahal itu kerjaan mantan mertua
Kini direbut jadi milik bangsa
Tapi kau nyinyir bak kakek tua renta

Kau ini politikus semprul
Sontoloyo itu nasihat untukmu
Tapi kau suruh anak buahmu
Ngoceh beras, rupiah dan utang
Padahal dia berpikir pun agak kurang 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.