Kolom Eko Kuntadhi: PADA SUATU PAGI

Tentu saja saya bisa memilih menu lain. Apalagi bubur ayam di sini, terlihat cimik-cimik. Gak seksi. Sementara bubur ayam Bambang Kusnadi tampilannya lebih sensasional. Glotroh, begitu. Dengan auran rasa yang lengkap.

Bagiku, bibur ayam yang mangkoknya tidak bergambar ayam jago, belum layak disebut bubur ayam.

Dia hanya menyerupai bubur ayam. Bukan bubur sesungguhnya. Esensi bubur ayam terletak pada mangkoknya. Sama seperti bendera HTI. Dia hanya menyerupai kalimat tauhid. Tapi gak ada tauhid-tauhidnya sama sekali.

Bagaimana dengan tusukan sate usus?

Jangan menghayal terlalu tinggi. Di tempat ini sate usus adalah barang mewah.

Jadi, meskipun sedang jauh saya tetap sahabat Bambang Kusnadi. Siapa yang sanggup menghianati seorang teman? Apalagi dia teman di saat kamu susah. Dan rela ditinggal di saat kamu senang. Itu tipe pertemanan Bambang Kusnadi dengan saya.

Di manapun, setiap ada kesempatan. Pikiranku selalu jatuh pada bubur ayam. Dengan cara makan yang sama: tidak diaduk. Itulah yang diajarkan Bambang kusnadi kepada saya. Meskipun godaan sih, gak tanggung-tanggung.

Mie goreng membetot perhatian. Roti dengan olesan madu kayaknya boleh juga. Atau sosis gendut dibakar. Tapi, gak. Saya bukan tipe yang suka makan permen karet: habis manis sepah dibuang. Kalau makan permen karet saya lebih suka ditelan.

“Sebagai penjual, saya membebaskan konsumen bagaimana cara makan bubur ayam. Tapi, jika saya lihat mereka makan diaduk, harganya akan saya mahalkan sedikit. Hidup itu harus berpihak, mas,” ujar Bambang suatu ketika.

Baginya, makan bubur diaduk adalah cara orang yang gak punya empati pada tukang bubur. Tahukah kamu, tukang bubur itu sudah memikirkan nilai estetis ketika menaburkan bermacam suwir-suwir ke dalam mangkok.

Kecap, cakwe, suwiran ayam, seledri, kacang, tongcai, kerupuk semua ditata sedemikian rupa. Mana yang harus ditabur dulu, mana yang belakangan. Kecap pasti dituangkan lebih dulu. Dan yang paling akhir adalah kerupuk.

Apakah kamu kira semua tanpa pertimbangan? Kamu salah. Seorang chef kelas master, gak mungkin tidak mempertimbangkan aksesoris ketika menyajikan. Jika kamu bilang susunan itu terjadi alamiah saja, kamu sama saja merendahkan nilai estitika seorang Bambang Kusnadi.

Begitulah pagi ini. Saya tetap sahabat Bambang Kusnadi. Tukang bubur yang gagal menjadi Polwan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.