Kolom Eko Kuntadhi: DUA WAJAH FREDY, DUA WAJAH KITA

Star is Born dan Bohemian Rhapsody, keduanya adalah film musikal yang menarik. Saya menyaksikan Bohemian Rhapsody bersama seorang teman, anak Kelas 9. Sepanjang film, mulutnya tak henti ikut bernyanyi. Apalagi ketika dia tahu, bagaimana lagu favoritnya Love of My Life, bisa tercipta.

Meski bercerita soal patah hati, tapi terasa ada kedalaman bathin di sana.

Soal bathin dan kehidupan yang tersuruk di tengah gemerlap popularitas. Itulah yang mau dikisahkan kedua film itu. Barangkali sudah menjadi takdir, seorang bintang yang dipuja banyak penggemar, punya sisi kelam lain dalam kehidupan pribadinya.

Sesuatu yang menyedihkan. Entahlah, apa memang ada semacam kutukan bagi banyak manusia panggung. Di luar orang mengenalnya hidup penuh kemewahan, banyak pujian, keriangan, penggemar. Tapi, ketika menelusuri sisi terdalam dirinya sebagai personal, ada sebuah tragedi. Ada dunia kelam yang menghantui.

Dalam film Star is Born yang dimainkan oleh Lady Gaga (hidungnya memang terlalu besar), bagaimana suaminya seorang bintang Rock, akhirnya mati gantung diri. Kemasyuran menyeret dalam rasa kelam.

Ketika di satu dunia dia adalah bintang. Hidup dikelilingi banyak orang. Pada saat yang bersamaan seseorang bisa saja diterkam sepi. Diterkam gema sunyi dalam dirinya sendiri. Sebuah siksasaan yang tidak terbayangkan.

Maka, sebuah kehidupan sesungguhnya adalah dua mata uang. Ada kehidupan luar, sesuatu yang tampak, yang terlihat, yang bisa dipindai dan dipersepsikan. Tapi ada kehidupan lain yang tidak banyak orang tahu, yang kadang menyedihkan. Hanya orang-orang terdekatnya yang memahami rasa kelam itu.

Saya rasa, bukan hanya seorang superstar. Kita semua punya dua sisi kehidupan itu. Sesuatu yang sering kita tampakkan. Mungkin dari foto dan status di medsos. Bercerita tentang sesuatu yang kita ingin kisahkan pada dunia luar. Agar orang tahu siapa kita. Agar orang berdecak kagum.

Tapi, sesungguhnya, dari ribuan cerita itu, kita tidak kunjung mengisahkan diri kita yang sebenarnya. Yang kita ceritakan hanya kisah yang kita ingin agar orang lain tahu. Bukan kisah kita yang sesungguhnya.

Sebab, kisah kita yang sesungguhnya adalanya hanya sebuah tinta hitam, yang memalukan atau menyedihkan. Yang, kalau setiap orang mengungkapkkannya ke publik, dunia hanya terisi dengan kepiluan.

Medsos adalah panggung kita. Seperti panggung musik Fredy Mercury. Seperti panggung Jackson Maine, suami Ally yang mati mengenaskan. Dengan medsos kita bergaya. Kita bercerita. Tapi sungguh, semakin kita bercerita soal siapa diri kita ke publik, akan semakin banyak yang harus kita sembunyikan. Itulah sebuah paradox.

Manusia pada dasarnya selalu menyimpan rahasia kelam dalam dirinya sendiri. Rahasia yang mungkin memalukan. Mungkin mengenaskan.

Saya rasa, dua dunia itu juga dialami para penyeru agama yang punya banyak pengikut. Ada panggung ketika dia menyampaikan pesan-pesan moral. Menyampaikan nasihat dan Firman Tuhan. Tetapi, ada kehidupan yang dia jalani. Mungkin bisa sesuai dengan apa yang dia ceramahkan. Tapi bisa juga justru sering bertentangan.

Sebab, ketika di panggung, dia adalah ustad. Dia adalah kyai atau ulama. Dia adalah tokoh panutan orang. Tempat orang meminta nasihat. Tapi, dalam kehidupan sebetulnya, dia hanya seorang manusia biasa. Dengan kedegilan dan kekejiannya sendiri. Dengan dosa dan kekelamannya sendiri. Mungkin dengan kegemaran atas maksiatnya juga.

Sebuah doa menyebutkan, “Ya Allah, ampunilah dosaku yang kulakukan dalam kesendirianku…”

Afbeeldingsresultaat voor basic instinct moviemeter

Semakin manusia dewasa, kita makin memiliki banyak wajah. Wajah yang tampak dan wajah yang kita sembunyikan. Wajah yang terang. Dan wajah yang menyeramkan.

Jika saja semua wajah kita terbuka ke publik, mungkin kita tidak sanggup lagi mengangkat kepala karena malu bukan main. Bersyukurkah, Allah maha menutupi aib.

Perjuangan manusia sesungguhnya adalah usaha terus menerus menyatukan dua wajah itu. Wajah luar. Dan wajah dalam. Berbahagialah mereka yang berhasil menyatukannya. Sehingga dia bisa lulus sebagai manusia otentik.

Tapi ini kan, hari minggu. Waktu dimana kita bisa menikmati wajah asli kita.

“Mas, kalau wajah Boyolali, itu wajah asli apa wajah kelam?” celetuk Abu Kumkum.

Saya rasa omongan soal wajah Boyolali yang dilarang masuk hotel itu keluar dari orang yang wajah kelamnya susah untuk disembunyikan lagi. Rasis. Terlalu mendominasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.