Kolom M.U. Ginting: MERANGKUL LAWAN

“Pak Erick Thohir (Ketua Timses Jokowi-Ma’ruf) mengatakan bahwa jadi lawyer Pak Jokowi dan Kiyai Ma’ruf ini pro deo alias gratis tanpa bayaran apa-apa. Saya bilang saya setuju saja,” kata Yusril kepada Kompas.com [Senin 5/11].

 

Situasi ‘tegang’ perang politik dalam hari-hari menjelang Pilpres 2019 bisa dirasakan oleh semua. Seluruh masyarakat di semua lapisan bisa merasakan. Ini misalnya terlihat dalam usaha divide and conquer dengan menggerakkan radikalisme (sebagai pengganti komunisme) untuk menghasut dan memecah belah. Tetapi, di samping itu, banyak juga kejadian-kejadian menarik dan jadi ‘hiburan’, atau setidaknya menghilangkan situasi boring yang selalu menimpa masyarakat kalau tidak terjadi apa-apa.

Misalnya saja kalau tidak ada ucapan-ucapan konyol yang ‘menghibur’ dari FH atau FZ atau AR atau tanpa situasi ‘menghibur’ seperti hoax RS + seorang dokter yang berani nukik begitu dalam berkicau membenarkan RS sebagai korban pemukulan. Ini kalau saya tinjau dari sudut hiburannya saja he he . . .




Kejadian kembalinya Prof Yusril ke ‘pangkuan Ibu Pertiwi’ cukup menarik. Ini adalah salah satu contoh konkret soal perjuangan politik di Indonesia menjelang Pilpres 2019. Kubu petahana Jokowi menarik lawan untuk melawan lawan. Ini bukan yang pertama terjadi di Kubu Jokowi. Sudah sering dan bahkan di kalangan partai-partai juga terjadi. Dan, berhasil pula.

Kalau yang lebih klasik ialah mengadu domba lawan (divide and conquer) dipakai oleh kekuatan luar mengadu domba bangsa Indonesia. Tetapi Kubu Jokowi tidak percaya kepada taktik pecah belah ini. Mereka memilih yang lebih ‘modern’ itu he he . . .  Dan, memang, terlihat hasilnya langsung.

Mengapa taktik ini bisa berhasil bagus? Tentu Jokowilah yang lebih tahu dan sudah mendalaminya. Luar biasa memang analisanya soal kontradiksi nasional maupun internasional. Inilah analisa kontradiksi dengan mengikutsertakan ke dalam pertimbangannya semua tradisi serta way of thinking orang-orangnya atau penduduknya.

Itulah perjuangan politik dengan semua zigzagnya atau liku-likunya untuk bisa mencapai tujuannya. Dalam hal ini, tujuan Jokowi jelas bagi semua: MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT SECARA NASIONAL. Itulah politik NASIONALISME sejati. Siapakah yang menentang arus ini dan mengapa?

Semua atau hampir semua orang sekarang sudah bisa melihat atau merasakan ‘arus populis’ atau tepatnya arus nasionalisme sedang melanda seluruh dunia. Di Eropah, di AS Trump, dan tak diragukan tentunya semua negeri berkembang yang belum atau tidak tunduk kepada neolib global NWO.




Kalau pada abad 19 dunia dihantui oleh komunisme, abad 21 dunia dihantui oleh ‘populisme’ atau nasionalisme. Jadi “The Spectre of Communism” sudah digantikan oleh “The Spectre of Nationalism”. Hantu Marx di seluruh dunia sudah berganti jadi hantu nasionalisme. Di Indonesia, hantu komunisme Marx telah digantikan oleh ‘hantu’ nasionalisme Soekarno yang sekarang dibawakan oleh Presiden Jokowi.

Memang ada usaha dari pihak neolib/NWO menggantikan ideologi komunisme dengan ideologi radikalisme. Tetapi, inipun sudah tertelanjangi dan, karena itu, radikalisme tidak mungkin menandingi arus besar Nasionalisme yang telah melanda seluruh benua dunia itu.

Radikalisme sebagai pengganti komunisme itu selain arus utamanya memecah belah (divide and conquer) diperkuat juga dengan gerakan lainnya terutama ialah korupsi dan narkoba. Tidak hanya itu, juga dengan gerakan-gerakan lainnya untuk melemahkan kekuatan dan gerakan utama nasionalisme itu; a.l. gerakan LGBT, gerakan kawin-mawin homo, gerakan anti agama dan anti kultural seperti ‘famili baru’ dimana kedua orangtua dari satu jenis kelamin, dan anak tak berkelamin, gerakan child-sex trafficking, perlontean homo/ boy, pedofil, macam-macam gerakan perubahan sosial dan kultur masyarakat.

Ini termasuk juga dalam gerakan social engineering atau social manipulation.

Di Indonesia, diupayakan gerakan divide and conquer dalam acara utama Pilpres 2019. Presiden petahana nasionalis Jokowi akan digeser dengan sekuat tenaga oleh penentang politik nasionalis ini yaitu kaum globalis neolib NWO. Neolib NWO memanfaatkan pesaing Jokowi yaitu Capres nomor 2 Prabowo seefektif mungkin, terutama dengan bantuan kelompok radikalisme pengganti komunisme.




Walaupun Prabowo juga sering memakai nama nasionalis atau ngomog bercita-cita nasionalis, tetapi kepercayaan rakyat tidak penuh kepadanya karena sikap dan tindakannya di masa lalu yang  telah merusak hati sanubari rakyat, karena menghilangkan para aktivis.

Dari segi dukungan langsung neolib/ NWO, kepada pihak Prabowo memang tidak terlihat atau tidak dipercayai sepenuhnya oleh pihak NWO. Kalau kita bandingkan misalnya dengan dukungan neolib/ NWO dalam Pilpres Brazilia, atau Perancis atau Italia dimana keberpihakan neolib/ NWO sangat jelas, pro neolib atau pro nasionalis. Prabowo masih diragukan keberpihakannya kepada NWO, dan ini terlihat juga dari rekayasa peristiwa Ratna S yang terang-terangan menjatuhkan Prabowo.

Tetapi, dalam soal Pilpres kali ini, NWO betul-betul memanfaatkan politik divide and conquer saja: Oposisi + radikalisme KONTRA petahana nasionalis Jokowi sebagai musuh utama. Bagi nasionalis Jokowi, lawan sesungguhnya bukan anak bangsa tetapi kekuatan di luar bangsa sendiri yaitu kekuatan globalis neolib NWO yang mau menguasai dunia dengan tyrani globalnya. Dan menguasai pemerintahan Indonesia terutama tujuan menguasai serta mengeruk kembali SDAnya dan menjadikan Indonesia boneka NWO.

Petahana nasionalis Jokowi merangkul lawan untuk melawan lawan, karena beliau melihat dari segi jangka panjang kepentingan negeri ini.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.