Kolom Eko Kuntadhi: SIAPA MAU KEMBALI KE JAMAN KELAM?

Kemarin saya baca berita, katanya Titiek Soeharto bermaksud mendukung mantan suaminya, Prabowo, untuk meneruskan program Soeharto. Jika saya mendengar Soeharto, ingatan saya selaku ditarik ke masa dimana nyawa orang Indonesia murah sekali. Banyak buku mengisahkan kekelaman jaman itu.

Soeharto adalah sejarah kelam bangsa ini.

Selain Westerling, mungkin Soeharto adalah salah satu orang yang tangannya berlumuran darah Rakyat Indonesia. Pengadilan juga menetapkan dia sebagai tersangka, tapi namanya bekas diktator Soeharto gak pernah hadir di pengadilan sampai akhir hayatnya.




Negeri ini tampaknya memang selalu bermasalah dengan orang-orang yang bikin kerusakan lalu menghindari tangungjawab.

Jaman Soekarno ada gerakan PRRI/ Permesta. Salah satu gembongnya adalah Sumitro Djojohadikusumo. Dia ikut terlibat dalam pemberontakan yang didukung CIA. Pemberontakan itu berhasil ditumpas tentara Indonesia.

Mengetahui aksi komplotannya kalah, Soemitro lari ke luar negeri membawa keluarganya. Dia tidak mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan di Indonesia. Soemitro baru pulang ketika Soeharto naik mengambil kekuasaan dari Soekarno.

Dia membawa keluarganya kembali ke Indonesia lalu menjadi salah satu arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru. Kedekatan dengan penguasa baru itulah, yang juga membawa jalan Prabowo dekat dengan salah seorang anak Soeharto. Prabowo menikahi Titiek dan berkarir di militer.

Jaman itu kekuasaan Soeharto sungguh luar biasa. Anak-anaknya bergelimang harta dengan bisnis rente yang mudah. Seluruh keluarganya menikmati kekayaan negeri ini. Sedangkan Prabowo, sebagai menantu, juga punya tempat yang susah disentuh. Di militer, Prabowo seperti punya kerajaan sendiri.

Tapi, sehebat-hebatnya kekuasaan, toh akhirnya rontok juga. Di masa akhir kekuasaan Soeharto, sebagai salah satu komandan militer, Prabowo melakukan aksi yang memalukan. Dia memerintahkan anak buahnya menculik beberapa aktivis. Entahlah, apakah aktivis yang diculik termasuk 13 orang yang sampai sekarang tidak ketahuan di mana makam atau keberadaannya.




Militer menjatuhkan hukuman pada Prabowo dengan memecatnya dari angkatan. Anak buahnya yang melakukan penculikan juga masuk Mahmil. Waktu itu, Amien Rais adalah orang yang paling gahar teriak Prabowo harus dimahmilkan.

Suasana tidak berpihak padanya. Prabowo memilih ke luar negeri. Cukup lama dia tinggal di Yordania, membangun bisnis dari sana. Mungkin mirip seperti ayahnya dulu yang memilih ke luar negeri ketika negeri ini sedang gonjang ganjing akibat ulahnya juga.

Ketika reformasi mereda, Prabowo balik ke Indonesia. Mendirikan partai politik dan sekarang ngotot mau jadi Presiden. Kita gak pernah mendengar dengan jelas apa visi dan misi Prabowo untuk bangsa ini, selain kalimat nyinyir dan bernada menyeabar pesimisme dan ketakutan. Padahal, rakyat hanya mau tahu, apa yang akan dilakukan kalau dia terpilih. Bukan hanya mengancam Indonesia bubar pada 2030. Atau mencela wajah orang Boyolali.

Apa konsep ekonominya? Apa konsep politik dijanjikan? Apa strategi membangun bangsa ini? Kalau cuma nyinyir sana, nyinyir sini, tukang bubur ayam juga bisa.

Kita tahu sejarah kelam bangsa ini. Ketika awal kekuasaan Soeharto, ratusan ribu nyawa rakyat melayang sebagai tumbalnya. Begitupun ketika Soeharto jatuh, ratusan nyawa rakyat kembali melayang. Kerusuhan 1998 sampai sekarang masih menjadi trauma kita.

Ketika berkuasa, gak terhitung berapa nyawa melayang akibat kesewenang-wenangan aparat. Di Aceh akibat DOM 10 ribu anak menjadi yatim. Di Talangsari dan di Tanjung Priok rentetan tembakan menghabisi orang yang menentang Soeharto.




Marsinah, seorang buruh pabrik Arloji di Sidoarjo adalah bukti bagaimana aparat bisa sewenang-wenang. Dia hanya menuntut haknya. Menuntut upah minimum dari perusahaan tempatnya bekerja.

Tapi, apa yang dia terima. Tubuhnya ditemukan di pinggir sawah dengan luka pada kemaluan sampai rahimnya. Dokter forensik menjelaskan, kemaluan Marsinah ditumbuk benda tumpul sampai menggelepar. Dia wafat di tangan kebengisan sebuah rezim yang menuntut rakyat diam meskipun hak-haknya dirampas.

Aksi-aksi penggusuran sudah menjadi hal biasa. Saya pernah mendengar langsung sebuah kisah, dimana petani Cimacan tanahnya diambil begitu saja untuk pembangunan lapangan golf. Tanah untuk dia hidup hanya dibayar Rp 70/ meter. Ketika petani protes, senjata aparat adalah jawabannya.

Ada banyak kisah tragis dan pilu jaman itu. Suatu masa ketika Soeharto duduk di atas tahta dan rakyat dibungkam dengan bayonet.

Kini Titiek Soeharto menyerukan mendukung Prabowo untuk melanjutkan kekuasaan Soeharto. Sepertinya Titiek lupa. Tangisan rakyat yang keluarganya mati akibat mempertahankan haknya sampai sekarang masih menyayat. Tangisan yang tidak pernah ada penyelesaian tuntas.

Titiek juga lupa. Anak-anak Wiji Thukul tetap bertanya: “Di manakah kalian sembunyikan jasad ayahku?!”

“Mungkin bagi Titiek dan Prabowo, rakyat Indonesia ini sejenis keledai. Terbiasa terperosok ke lubang yang sama berkali-kali,” ujar Abu Kumkum. Kali ini saya lihat wajahnya pilu.

“Sekarang kita harus berjuang, agar tidak menjadi keledai, ya mas,” ujarnya lagi.

Setuju, Kum…








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.