SEMINAR MILENIAL INDONESIA SUKSESKAN PEMILU: Konten Politik Tempati Hoax Terbanyak

ITA APULINA TARIGAN. JAKARTA — Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora) menggelar seminar literasi politik bertajuk ‘Seminar Milenial Indonesia Melek Politik,’ pada 4 Desember 2018 di Ruang Teater Kemenpora, Jakarta. Dihadiri ratusan pemuda dan mahasiswa dari berbagai universitas dan organisasi di Jabodetabek, seminar ini menghadirkan diskusi hangat dan edukatif mengenai tantangan, peran, dan partisipasi pemuda demi mencetak pemilih cerdas untuk sukseskan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang akan berlangsung pada bulan April 2019 mendatang.

Hadir sebagai pembicara, di antaranya Hasanuddin Ali, CEO dan Founder Alvara Research Center sekaligus penulis buku “Millennial Nusantara”; Adi Prayitno, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; dan Juri Ardiantoro, tim ahli Kantor Staf Kepresidenan yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)




“Bicara politik tidak hanya tentang memilih calon siapa, tetapi bagaimana kita sebagai pemuda bisa menunjukkan tanggung jawab untuk sukseskan semangat kebangsaan. Sayangnya, banyak pemuda yang masih menunjukkan sikap apatisnya untuk berpartisipasi, atau memilih atas dasar emosional, bukan pikiran yang rasional,” ujar Asrorun Ni’am Sholeh, Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora, saat membuka acara.

Kebanyakan Hoax

Asrorun menambahkan, generasi milenial berusia 18-38 tahun mendominasi jumlah penduduk Indonesia saat ini. Bahkan menurut data dari DP4 Kemendagri, dari total lebih dari 5 juta pemilih di tahun 2019, 55%-nya merupakan pemilih pemula berusia 17-38 tahun. Sebuah riset dari Alvara Research Centre menambahkan, 8 dari 10 generasi milenial terkoneksi dengan internet, yang artinya sangat aktif menggunakan media sosial. Sayangnya, konten politik justru masih menempati posisi konten rentan hoax yang teratas.




“Penting untuk bisa mengimbangi hoax dengan literasi dan pikiran rasional, karena keragaman justru merupakan kekayaan bangsa, bukan untuk dipertentangkan demi mencapai tujuan politik tertentu,” gagas Asrorun.

Saring Sebelum Sharing

Menyikapi permasalahan ini, Hasanuddin Ali, CEO dan Founder Alvara Research Center, berbagi kiatnya dalam sesi diskusi bertajuk “Peran Pemuda dalam Pemilu.” Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Alvara Research Center, Hasanuddin menjelaskan, ada fenomena khusus di kalangan milenial dalam berpolitik, yakni tingkat loyalitas yang cenderung rendah dan mudah berganti pilihan. Ditambah lagi, masih banyak pemuda yang menggantungkan sumber informasinya dari media sosial dan hanya 22,3% pemuda yang saat ini membaca berita di surat kabar.

Deputi Menteri Pengembangan Pemuda Kemenpora, Asrorun Ni’am Sholeh, menyampaikan pidato pembuka ‘Seminar Milenial Indonesia Melek Politik,’ 4 Desember 2018.

“Padahal, media sosial memiliki algoritma khusus, sehingga kita hanya menerima berita-berita sesuai ketertarikan kita saja. Informasi yang diterima pun menjadi subyektif dan sesuai selera individu. Karenanya, pemuda harus lebih jeli menerima informasi yang ada. Saring sebelum Sharing, ini menjadi literasi yang sangat penting agar tidak sembarang menyebarluaskan berita yang tidak benar atau menebar kebencian,” papar Hasanuddin Ali.

Aksi “saring” sangat penting untuk diterapkan, setiap saat informasi masuk melalui media sosial.

“Setiap ada hoax atau fitnah tentang politik di media sosial, justru harus dilawan bersama, karena politik tidak bisa dipahami hanya sebagai voting belaka. Gerakan ini menjadi salah satu bentuk partisipasi politik nonkonvensional untuk sukseskan politik kebangsaan di Indonesia. Pemuda boleh beda pilihan, tetapi jangan sampai menebarkan kebencian dan fitnah terhadap calon yang lain,” ujar Adi Prayitno, pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam sesi diskusi bertajuk “Agar Milenial Melek Politik.”




Adi Prayitno menjelaskan, pemilih rasional sebagai seseorang yang memilih kandidat berdasarkan visi, misi, rekam jejak, dan program kerja. Sayangnya, justru partisipasi pemuda dan masyarakat dalam memilih semakin menurun.

Paradox Demokrasi

Dalam sesi diskusi bertajuk “Menangkal Hoax, Menjadi Pemilih Cerdas,” Juri Ardiantoro, tim ahli Kantor Staf Kepresiden yang juga pernah menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaparkan: “Fenomena ini disebabkan oleh 2 hal. Pertama, kecenderungan orang yang memang malas menggunakan suaranya dalam Pemilu. Ke dua, masih banyak orang yang bingung menetapkan pilihannya, bahkan jumlahnya mencapai 30 juta orang Indonesia.”

Juri Ardiantoro menambahkan, 2 fenomena di atas menjadi semacam paradox demokrasi.

“Kalau pemuda mau ikut terlibat, tentunya akan membawa bangsa ke arah yang jauh lebih baik. Sebaliknya, jika hak pilih tidak digunakan, maka kita sendirilah yang akan menanggung kerugiannya. Perlu diingat, hampir seluruh urusan negara dan kebangsaan diputuskan oleh orang-orang yang terpilih dalam Pemilu, dan momen Pemilu 2019 ini menjadi kesempatan untuk pemuda membangun demokrasi bangsa Indonesia yang lebih baik,” tutup Juri Ardiantoro.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.