Kolom Muhammad Nurdin: JOKOWI DAN KEGUNDAHAN MINORITAS

Saya ingat betul, saat Kiai Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai Cawapres Jokowi terjadi kegaduhan yang cukup riuh, terutama di kalangan minoritas. Dan salah satu kelompok yang paling kecewa dengan itu adalah Ahmadiyah.

Kiai Ma’ruf adalah salah seorang yang paling bertanggungjawab atas keluarnya fatwa-fatwa sesat soal Ahmadiyah.

Karena fatwa-fatwa itu, kelompok-kelompok Islam konservatif seolah-olah mempunyai legitimasi menghancurkan masjid-masjid Ahmadiyah, membubarkan setiap kegiatan Ahmadiyah, bahkan membunuh anggota kelompok ini.

Lahirnya SKB 3 menteri pada tahun 2008 tak lepas dari pengaruh fatwa-fatwa MUI. Sehingga, dari SKB tersebut bermunculanlah undang-undang turunannya. Ya, lahirnya Perda-Perda yang semakin mempersempit gerakan Ahmadiyah.

Sehingga sangat wajar, jika kelompok ini menaruh kekecewaan yang besar terhadap Jokowi.

Saya tahu persis bagaimana kehidupan warga Ahmadiyah di Lombok. Mereka diusir dari rumahnya sendiri. Dijarah rumah dan toko-tokonya. Lalu ditempatkan di sebuah tempat pengungsian tak layak huni. Ratusan orang warga Ahmadiyah hanya bisa pasrah, berbagi tempat sumpek dengan bersekatkan kain-kain yang minim privasi.

Saya juga tahu persis peristiwa Cikeusik. Tiga warga Ahmadiyah dibunuh secara sadis oleh ribuan massa bersenjatakan golok. Beberapa diantaranya selamat dengan luka di sekujur tubuhnya, juga di kedalaman batinnya.

Di Jawa Barat sudah tak terhitung banyaknya masjid-masjid Ahmadiyah yang disegel sampai dihancurkan. Di Cianjur, Bogor, Garut, Tasik, Ciamis, Kuningan juga Sukabumi.

Tidak ada kelompok minoritas yang paling dirugikan oleh fatwa-fatwa MUI selain Ahmadiyah.

Saya tahu ini karena adalah bagian dari Ahmadiyah. Saya terlahir dari rahim seorang Ahmadi. Saya tahu persis penderitaan yang tak kunjung padam para Ahmadi di tempat-tempat yang paling getol memanfaatkan fatwa MUI untuk mempersekusi warga Ahmadiyah.

Apa sikap Jokowi terhadap Ahmadiyah? Tidak ada! Apakah ada keberpihakan Jokowi terhadap Ahmadiyah? Tidak ada juga! Apakah saya kecewa dengan ketidakhadiran Jokowi di tengah-tengah penderitaan warga Ahmadiyah? Kadang-kadang saya kecewa.

Tapi. Saya berusaha memahami situasi dan kondisi yang tengah dialami Jokowi.

Jokowi mempunyai keyakinan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan jawaban dari banyak permasalahan negeri ini. Pembangunan sarana dan prasarana menjadi faktor utama kesejahteraan rakyat. Jokowi tidak mau pusing dengan urusan ekonomi, sehingga ia mempercayakannya kepada Sri Mulyani, begawan ekonomi kelas dunia.

Jokowi tidak mau pusing soal uang yang diperlukan untuk merealisasikan pembangunan yang masif di seluruh wilayah negeri ini. Ia percaya Sri Mulyani mampu menyediakan apa yang diperlukannya.

Jokowi sempat menyampaikan ke media, ia tidak mau dipusingkan soal elektabilitas. Ia mau fokus kerja. Ia mau menyelesaikan banyak proyek yang belum rampung hingga akhir jabatannya.

Saya teringat saat Jokowi masih menjabat Walikota Solo. Ada satu pekerjaan besar yang harus ia selesaikan. Yaitu, merelokasi 980 PKL yang telah mendiami kawasan hijau Banjarsari selama 20 tahun.

Walikota-walikota sebelumnya selalu gagal. Saat mau tertibkan, PKL-PKL ini melawan. Sampai demo di depan balaikota. Bahkan, balaikota pun dibakar sebagai rasa kekesalan mereka.

Jokowi punya cara unik untuk menyelesaikan masalah ini. Ia mengundang makan siang dan malam ketua dari 11 paguyuban yang ada di kawasan Banjarsari. Diundang 11 orang yang datang 40. Lengkap dengan aktivis kemanusian, karena mereka tahu pasti Walikota akan merelokasi mereka.

Selesai makan, mereka dipersilahkan pulang. Salah seorang pimpinan paguyuban bertanya, cuma makan doang, pak? Jawab Jokowi, ya memang undangan makan.

Hari ke dua, ke tiga dan seterusnya begitu demikian. Jokowi belum menyampaikan keinginannya untuk merelokasi mereka.

Jokowi hanya bertanya-tanya, bagaimana keadaan keluarga? Bagaimana keadaan lapak? Apa saja yang dijual? Ya, pertanyaan-pertanyaan khas seorang pamong yang ingin mengayomi warganya.

Sampai undangan yang ke-57, akhirnya Jokowi menyampaikan keinginannya untuk merelokasi mereka ke tempat baru. “Bagaimana, mau dipindakan?” Mereka saling tatap satu sama lain. Tak lama mereka menjawab, “Mau, pak.”

Jokowi tak suka konfrontasi. Apalagi menggunakan kekerasan untuk menertibkan warganya. Tapi, lain hal jika ada anak buahnya yang tidak mau mengikuti sistem yang dibangunnya. Jokowi sangat “koppig” soal ini. Ia biasa langsung memindahkan kepala dinas, Lurah atau Camat yang tidak mau ikut cara kerjanya.

Saya memilih untuk bersikap dewasa soal Jokowi dan keberpihakannya terhadap minoritas. Jokowi nyatanya cuma manusia biasa. Ia tak bisa menyelesaikan seluruh masalah negeri ini dalam satu waktu.

Ia hanya bisa menyerjakan mana yang pengaruhnya lebih besar untuk kemajuan bangsa kita. Dan ia memilih untuk membangun infrastruktur dulu.

Banyak orang mencemoohnya. Mengatakan, kalau cuma bangun infrastruktur Fir’aun juga bisa. Jokowi tidak mau ambil pusing dengan suara sumbang ini. Ia lebih memilih terus kerja, ketimbang bersikap “baper”.

Dalam “videoconference” dengan mantan Presiden RI ke-3, BJ Habibie, Jokowi menanyakan pendapat Habibie tentang rencana pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara besar-besaran. Jokowi menyampaikan di tahun-tahun berikutnya, ia akan fokus di sini.

Hal ini membuat saya yakin, Jokowi bukannya masa bodoh terhadap kelompok minoritas. Ia cuma tidak mau rencana besar untuk membangun negeri ini harus kandas karena salah langkah.

Kelompok-kelompok konservatif tengah menunggu momen untuk “meng-ahok-kan” Jokowi. Mereka butuh sesuatu yang bisa membuat mereka “tersinggung”. Mereka butuh ketersinggungan itu untuk menciptakan aksi-aksi yang lebih besar dari “aksi bela Islam” yang dulu berhasil memenjarakan Ahok.

Dan Jokowi tengah berada dalam pusaran kuat itu saat berhadapan dengan “Abu Bakar Ba’asyir”. Sialnya, para pendukung yang kebanyakan kelompok minoritas malah membuatnya tersungkur lebih dalam di pusaran itu.

Mereka mengancam Golput, menarik dukungannya terhadap Jokowi. Padahal, Prabowo dan kelompok-kelompok konservatif di belakangnya, juga tidak menawarkan rekam jejak yang baik dari segi membangun negeri ini secara fisik, juga menciptakan iklim yang lebih toleran terhadap minoritas.

Saya yakin, masalah minoritas pada akhirnya akan menemui jalan keluarnya. Dan Jokowi butuh waktu untuk itu.

Cuma Jokowi yang terbaik, yang kita miliki sekarang. Entah, suatu hari nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.