Kolom Asaaro Lahagu: MISI PKS ‘JOKOWIKAN’ PRABOWO JIKA TERUS DIKIBULI SOAL WAGUB (Sirulo TV)

Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu

Sudah 8 bulan kursi Wakil Gubernur DKI yang ditinggalkan Sandi masih kosong. Tarik-menarik kepentingan antara Gerindra-PKS soal kursi Wagub membuat pemilihan Wagub DKI berlaru-larut. Apa yang sebenarnya terjadi antara Gerindra dengan PKS selaku pengusung Anies-Sandiaga pada Pilkada 2016 lalu?

Jika memakai kacamata politik, maka yang terjadi adalah perang memperebutkan kue lezat kekuasaan.

Dari sisi kepentingan PKS, kursi Wagub DKI sangatlah strategis. Setelah terdepak di luar kekuasaan di era pemerintahan Jokowi, praktis kue lezat kekuasaan selama 10 tahun di era SBY, kini tak lagi dicicipi oleh PKS.

Kerinduan PKS akan lezatnya kekuasaan, semakin kuat setelah kehilangan kekuasaan di Jawa Barat. Kini PKS sangat menaruh harapan pada kursi Wagub DKI yang ditinggalkan oleh Sandiaga. Jika PKS berhasil meraih kursi Wagub DKI, maka PKS bisa memperoleh beberapa keuntungan.

Pertama, PKS bisa mengatur penempatan para pejabat di Pemprov DKI Jakarta dengan memilih orang-orang yang dekat dengan PKS. Ini penting dilakukan untuk kepentingan jangka panjang. Lewat penempatan pejabat, PKS menginginkan para pejabat tersebut sebagai ‘kadernya’ atau minimal sebagai simpatisan PKS.

https://www.youtube.com/watch?v=pSw2KcRgpz0

Taktik ‘mengkaderkan’ para pejabat dan para ASN di bawahnya terlihat jelas di Kementerian yang selama ini dikuasai oleh PKS. Sebagai contoh, di Kementerian Komunikasi dan Informatika, para ASN berhasil dicuci otaknya untuk selalu berpandangan negatif terhadap Pemerintahan Jokowi.

Publik terkejut saat ada kasus heboh di Keminfo beberapa saat lalu. Saat itu ada sosialisasi penyoblosan di Keminfo yang dihadiri oleh Menteri Rudiantara. Secara terang-terangan di depan Menteri Rudiantara para ASN menyatakan keberpihakan kepada Paslon 02. Kenapa ASN itu berpihak kepada Paslon nomor 02? Alasannya jelas. Di sana bercokol PKS sebagai pengusung. Di mana PKS berada, di situlah ASN yang sudah ‘dikaderkan’ memihak.

Ke dua, PKS jelas tergiur akan APBD DKI yang besarnya 80 triliun Rupiah. Anggaran sebesar itu sedapat mungkin ‘diatur’ oleh PKS agar bisa menguntungkan partai atau para kadernya. Sebagai contoh, jika ada sosialisasi Perda, maka akan dipasang baliho dimana gambar Wagub dari PKS ikut nongol di Baliho tersebut. Padahal biaya pembuatan baliho tersebut berasal dari APBD.

Hal itu terjadi di Jawa Barat. Saat ada sosialiasi Perda atau apa saja dari Pemprov Jabar, maka baliho Gubernur Ahmad Heryawan nongol di mana-mana. Tak heran pada periode ke duanya, Heryawan mampu memenangkan Pilgub Jawa Barat untuk keduakalinya. Salah satu alasannya adalah foto-foto Gubernur Heryawan tersebar masif hingga ke ujung desa.

Ke tiga, jika kursi Wagub berhasil digenggam oleh PKS, maka Wagub dari PKS tersebut diancang-ancang sebagai Cagub pada periode berikutnya. Sangat mungkin Anies bersama Wagub PKS maju bersama. Namun, sangat mungkin juga pecah kongsi untuk berbalik menjadi pesaing.

Tentu saja PKS tidak berhenti pada posisi Wagub dan Cagub DKI Jakarta 2022-2027 tetapi juga mengincar kursi Cawapres atau Capres pada tahun 2024. Kader Wagub selama beberapa tahun ke depan dipoles habis-habisan untuk kepentingan Pilpres 2024 mendatang.

Dari sisi kepentingan Gerindra, kursi Wagub DKI itu tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis. Anies Baswedan jelas bukan kader Gerindra. Jika kinerja Anies dinilai gagal selama 5 tahun menjadi gubernur maka yang didorong adalah wakilnya. Tentu saja kader itu haruslah kader Gerindra. Siapa lagi kalau bukan Sandiaga.

Skenarionya adalah jika Prabowo-Sandiaga kalah pada Pilpres 2019, maka Sandiaga kembali menjabat sebagai Wagub DKI. Mungkin timbul pertanyaan. Mengapa Sandiaga harus menyatakan mundur dari kursi Wagub DKI Agustus 2018 lalu? Padahal Sandiaga sebetulnya tidak harus mundur dari jabatannya dan cukup mengajukan cuti kepada Mendagri.

Jawaban pertanyaan di atas mudah ditebak alasannya. Prabowo dan para elit Gerindra sengaja meminta Sandiaga mundur dari Wagub untuk meninabobokan PKS. Kita tahu sikap PKS yang sebelumnya ngotot agar Cawapres Prabowo harus dari PKS menjadi luluh ketika diiming-iming kursi Wagub yang akan ditinggalkan Sandi.

Taktik Prabowo untuk mengumpan PKS dengan kursi Wagub berhasil. PKS dengan rela walaupun sakit hati mendukung pencalonan Prabowo pada Pilpres 2019 dengan imbalan kursi Wagub. Namun, pada perkembangan selanjutnya, ternyata Prabowo bersama dengan elit Gerindra tidak rela memberikan kursi Wagub kepada PKS. Mengapa?

Di samping kursi Wagub DKI sangat strategis, juga kalkulasi hasil Pilpres 2019 mendatang. Jika Prabowo-Sandiaga menang, maka kursi Wagub dengan mudah diberikan kepada PKS. Namun, sinyal kekalahan Prabowo-Sandiaga sudah semakin terang. Hampir semua survei kredibel sudah memprediksi kekalahan Prabowo.

Jika Prabowo-Sandiaga akhirnya kalah, maka Prabowo menginginkan Sandiaga kembali ke DKI mendampingi Anies yang hanya sibuk menata kata. Dalam skenario Prabowo, Sandiaga harus tetap menjabat agar wajahnya tidak langsung hilang pasca Pilpres.

https://www.youtube.com/watch?v=kEP_Y1E1oLc

Sangat mungkin pada Pilgub 2022 nanti Gerindra akan kembali mengajukan Sandiaga sebagai calon gubernur periode 2022-2027. Lalu, pada Pilpres 2024, Sandiaga kembali maju Pilpres tentu dengan persiapan yang lebih matang. Ini tentu sangat tergantung kepada Prabowo apakah masih mau maju atau berhenti sudah.

Apa yang terjadi pada proses pemilihan Wagub DKI sejak Agustus 2018 sampai bulan Maret 2019 ini tidak lebih sebagai dagelan Gerindra. Gerindra sengaja mengulur-ngulur waktu agar calon Wagub dari PKS tidak benar-benar dilantik sebagai Wagub Anies.

Gerindra memakai Muhammad Taufik agar terlihat kebelet juga menjadi Wagub. Terakhir Taufik meminjam tangan PKB agar seolah-olah dia didukung sebagai Wagub. Belum lagi FBR DKI ikut terprovokasi untuk menolak calon gubernur dari PKS.

Di DPRD, langkah PKS untuk meraih kursi Wagub akan terus terganjal. Partai-partai pendukung Ahok-Djarot tentu tidak menginginkan PKS berkuasa di DKI dan lebih menginginkan Sandiaga kembali. Partai-partai ini tentu masih ingat bagaimana politisasi SARA ayat dan mayat ala PKS selama Pilkada 2016 lalu yang telah meninggalkan jejak brutal.

Lalu, bagaimana jika PKS kembali dikibuli oleh Prabowo soal kursi Wagub DKI? Ada dua pilihan bagi PKS. Pertama, menahan sakit hati yang amat dalam kepada Prabowo tanpa berbuat apa-apa. Ke dua, mengusung misi balas dendam kepada Prabowo.

Jika yang ke dua ini dipilih, maka misi PKS akan mengjokowikan Prabowo. Artinya, ke depan, Prabowo akan diserang dengan berbagai fitnah, hoax, dan SARA oleh PKS. Jika Prabowo maju lagi pada Pilpres 2024 dan PKS sudah kapok tidak mau mengusung Prabowo, maka saat itulah Prabowo akan dijokowikan oleh PKS. Atau jika PKS berlawanan dengan Prabowo, maka siap-siap Prabowo dan calon yang diusung oleh Prabowo dijokowikan.

Ingat, saat PKS mengusung Jokowi di Solo, fitnah dan SARA nyaris tidak ada. Namun, di Pilkada DKI, terutama pada putaran ke dua, ketika PKS tidak berada di pihak Jokowi, fitnah dan SARA terus-menerus melanda Jokowi. Kini di Pilpres 2019 hal yang sama kembali terulang.

Mari kita lihat usaha keras PKS merebut kursi Wagub DKI bersama kura-kura.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.