Kolom Andi Safiah: SALAM GIGI JAMPING — Action!

Yang baru belajar berpolitik tentu saja akan salto ketika menyaksikan akrobat Anies yang tiba-tiba bertemu dengan pentolan Nasdem dan Prabowo yang tiba-tiba diundang makan nasi Goreng sama bos banteng. Bagi saya, tidak ada yang tiba-tiba dalam politik.

Semua yang beredar dalam arena politik adalah by design mereka sedang membangun semacam “Poros Baru” untuk 2024 nanti.

2019 adalah pertandingan panas antara aliran Cebong & Kampret yang secara kebetulan dimenangkan oleh aliran Cebong. Sementara posisi kampret tetap terbalik seperti biasanya.

Setelah insiden MRT bos kampret dan cebong akhirnya bisa salaman sambil cengar-cengir. Setelah itu, dilanjutkan dengan agenda makan sate di Senayan. Jelas ini adalah sebuah realitas politik biasa saja.

Cuman karena perseteruan kampret dan cebong sering off side maka siapapun wasitnya tidak akan sanggup berbuat apa-apa. Ketika wasit meniup peluit dan angkat kartu kuning, maka bisa langsung dicap cebong. Ketika angkat kartu merah maka wasit langsung dicap kampret. Posisi wasit dalam konteks ini tentu saja serba salah.

Sekarang, muncul fenomena yang sebenarnya biasa saja. Mirip ketika fenomena kemunculan Jokowi dan Ahok pada saat Pilkada JKT, semua antusias karena gaya pencitraan yang dibangun oleh Jokowi pada saat itu merakyat. Dibuktikan dengan blusuk sana blusuk sini.

Sekarang Anies nongol dengan gaya pencitraan yang juga sebenarnya agak mirip. Cuman, setingan Anies terlalu kentara dengan meminjam gaya sinetron pinggir kali. Actionnya tidak senatural Jokowi yang memang apa adanya. Kalau Anies jelas ada apanya.

Yang bikin geger otak alumni cebong adalah pertemuan Anies dengan Surya Paloh. Sementara yang bikin geger otak alumni kampret adalah pertemuan Prabowo dan Ibu Megawati.

Mereka lupa ada mantra politik yang selalu dikumandangkan oleh aliran oligarki di Indonesia, bahwa “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan”. Ingat, ya, “kepentinganlah” yang mempertemukan Anies dan Surya Paloh. Begitupun juga dengan pertemuan Prabowo dan Megawati, karena yang abadi dalam politik itu ya hanya “kepentingan”.

Para pendukung unyu-unyu lugu kadang tolol dan biadab sedang meratapi angan-angannya. Berharap tokoh yang mereka dukung “konsisten” pada jalur perjuangan, no.no.no!

Dalam politik “Konsistensi” adalah barang ilusif. Anda tidak akan pernah menemukan itu barang, karena memang tidak ada. Agak mirip dengan Tuhan, namanya sering disebut-sebut tapi barangnya tidak pernah ada.

Jadi, ketika anda membaca sebuah perseteruan dalam politik, misalkan semacam perseteruan Prabowo & Jokowi atau perseteruan antara Ahok & Anies, atau perseteruan PSI & Nasdem yang lagi panas-panas macam tai ayam saat ini, percayalah semua itu cuman adegan drama. Ya, mirip drama sinetron yang selalu sukses mengaduk-aduk emosi umat yang memang harus diakui sangat labil, emosional, tolol dan masih biadab.

Pertanyaannya, salahkah respon warga negara atas berbagai drama politik di Republik Indonesia dari dulu hingga kini? Tentu saja tidak. Inilah yang dinamakan demokrasi. Kawan dan lawan perlu pandai-pandai mengambil peran agar bisa diterima oleh penonton.

Jika tidak pandai maka sorotan kamera action tidak akan mengarah pada wajah anda yang terlihat sangat lugu dimana pancaran ketololannya mantul. Itulah politikus pandai bermain-main di atas emosi labil penonton. Jika tidak, maka nasib anda akan berakhir macam FH yang sudah jarang mukanya kita lihat di TV, atau Habib Rijik yang bentar lagi digantikan oleh Habib yang giginya jamping.

Saya kira itu dulu alalisa odong-odong bodong dari saya.

Salam Gigi Jamping
Penghuni Rumah Solidaritas

#Itusaja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.