Kolom Eko Kuntadhi: SIAPA YANG TEGA MEMBAKAR POLISI DI CIANJUR?

Polisi yang terbakar di Cianjur itu, doa kita untuknya. 80% tubuhnya luka. Kulitnya merangas. Saya gak bisa membayangkan rasa perihnya. Dan kulit yang kisut nanti. Dia mungkin punya anak dan istri. Apa yang bisa dirasakan keluarganya menyaksikan video ayahnya yang berguling diamuk api. Teriakkannya menyayat dengan tenggorokan yang pedih.

Menyaksikan video itu, saya bergidik.

Mahasiswa yang di ruang kelas diajarkan cara meluruskan isi kepala, apa yang mereka cari dengan menyiram tubuh seorang bapak dengan bensin lalu menjentikkan api? Perjuangan apa yang sedang mereka lakukan hingga jadi bengis begini?

Kita berharap, mahasiswa itu bukan sengaja membakar manusia. Dia melempar bensin, agar timbul kehebohan. Ban terbakar seperti demonstran jaman dulu. Tapi lemparannya meleset terkena polisi.

Tapi, jika benar niat mereka hendak melukai orang dengan menyulut api ke tubuhnya. Rasanya perguruan tinggi perlu evaluasi sistem penerimaan mahasiswanya: Iblis dilarang kuliah!

Sebab, dia akan menggunakan jaket almamater dan kebodohannya untuk menyakiti orang lain. Bergaya mau membela keadilan, tapi adil pada pikirannya sendiri saja dia gagal total.

Dan ini adalah Cianjur. Lokasi dimana tokoh pemuja ISIS bercokol. Ada Chep Heryawan di sana, tokoh yang terang-terangan berafiliasi kepada Abubakar Bhagdadi. Ada organisasi ‘Garis’ yang mendukung gerakan barbar atas nama agama.

Kita tidak tahu, apakah mahasiswa-mahasiswa itu terpapar ideologi Chep Heryawan. Jika terbakarnya polisi adalah sebuah kesengajaan, kemungkinan besar mereka memang kerasukan ideologi barbar itu.

Sebab, di jaman modern ini, hanya iblis dan ISIS yang mampu bertindak sedemikian brutal. Setan sekelas tuyul atau genderuwo saya rasa tidak sanggup berlaku sebrutal itu. Sebab beberapa setan mungkin masih punya hati nurani. Gak tega juga membakar manusia hidup-hidup.

Dan mahasiswa di Cianjur. Apa yang mereka cari?

Mau jadi pahlawan, dengan cara membela siapa? Kepentingan apa yang diusungnya?

Mungkin kini ada bapak dan ibu yang menangis. Anaknya yang disekolahkan tinggi-tinggi dengan biaya hasil menjual kerbau, tidak akan bisa jadi sarjana. Pelajaran moral di ruang makan sirna entah ke mana. Kampus telah membentuknya menjadi pion-pion tanpa nurani.

Di kampus, anak itu berkembang menjadi iblis. Dan kita tahu, iblis tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bahkan, ketika menyaksikan kelakuan anak-anak itu, iblispun kaget.

“Gila, kelakuan mahasiswa ini ternyata lebih biadab dari kita. Aing jadi ngeri, euyy,” teriak seekor iblis di sana.

Dan iblispun mingser. Beringsut. Dia tidak mau disamakan dengan mahasiswa-mahasiswa itu. Malu.

Polisi yang terbakar itu, doa kita untuknya.

Bapak-ibu yang menangis menyaksikan kelakuan anaknya yang gagal jadi sarjana, empati kita untuknya. Mereka mungkin menyesal telah membesarkan seekor iblis dalam rumahnya.

Kampus-kampus yang mengajarkan kebencian atas nama agama, baik di ruang kelas maupun di dalam pembicaraan-pembicaraan kecil antar mahasiswanya, semoga cepat sadar. Bahwa bermain-main dengan hujah agama untuk memercikkan kebencian sangat fatal akibatnya. Tidak ada kealiman yang didapat dari cara itu. Tidak ada kesejukan yang diraih.

Di Cianjur sebuah pertunjukan telah dimulai. Tentang kebencian yang memercikkan api.

Menyaksikan video polisi yang berguling dilalap api dengan pekikkan parau, kita menangis. Sudah sedemikian parahkah kehidupan sosial kita sekarang?

“Manusia ini, nyebelin. Yang berlaku biadab mahasiswa di Cianjur, kenapa jadi nyalahin gue?” seekor iblis protes.

Mendengar protes itu, Abu Kumkum lagsung kabur…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.