Kolom Andi Safiah: PENISTAAN DAN PENODAAN AGAMA

Pasal penistaan dan penodaan agama di Indonesia hanya berlaku untuk kalangan di luar jaringan Islam politis. Islam KTP tetap bisa masuk penjara dengan tuduhan penistaan. Atau paling tidak dipaksa untuk mengucapkan dua kalimat sakti agar masalah hukumnya bisa diorder ringan.

Atau dipaksa minta maaf secara terbuka karena telah melukai perasaan umat Islam sedunia dan seakherat.

Itulah Islam, agama yang super damai dan super toleran diatas muka Bumi (tapi cuman ada dalam angan-angan).

Saya sangat percaya bahwa kasus Somad yang secara terbuka menghina simbol dari Agama Kristen tidak akan sampai diproses dengan gaya heboh macam kasus A51 Ahok, karena alasan yang dibangun super bodong dan odong-odong.

Inilah Indonesia dimana rasa keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia hanyalah “lips service”. Keadilan itu sendiri tidak pernah hadir bagi mereka yang secara politis punya posisi tawar macam Somad.

Lalu, apa artinya pasal penistaan agama dan UU ITE yang biasa digunakan untuk menjerat mereka yang secara sadar cukup kritis terhadap agamanya sendiri (Islam KTP)? Sama sekali tidak ada selain standard ganda.

Agamamu, keyakinanmu boleh saya hujat dengan bebas. Tapi jangan sekali-kali anda menghujat agama dan keyakinan saya sebagai seorang Muslim, karena itu adalah penistaan dan anda bisa kami jebloskan ke dalam penjara dengan meminjam tangan umat.

Pada posisi ini, negara sama sekali tidak berkutik. Aturan hukum yang ada hanya untuk melindungi kelompok politik yang kebetulan jumlahnya dominan. Sementara dalam logika hukum keadilan tidak mengenal dominasi. Hukum itu sendirilah yang wajib ditegakkan agar keadilan bisa terwujud.

Tapi saya melihat masalah penistaan dan penodaan agama menjadi sedikit paradoks dan memang cenderung sangat politis. Ada baiknya pasal penistaan dan penodaan ini dihilangkan saja, agar ruang dialektika bisa terbuka dengan bebas.

Misalkan antara si A dan si B yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam hal apapun bisa dengan bebas mengadu gagasan dalam ruang-ruang publik. Somad sebagai tokoh Islam bisa berdebat terbuka dengan Sono yang tokoh Agama Kristen.

Jika ini diterjemahkan, maka umat akan belajar lebih jauh bagaimana membangun sebuah peradaban yang dialektis. Bukan peradaban saling lapor dan saling hujat.

Tapi, sekali lagi, saya meragukan kedewasaan orang-orang yang beragama dalam konteks ini. Mungkin karena masih ada semacam sisi sensitif yang dipelihara dari masing-masing agama sehingga ruang dialog saja hampir tidak pernah terjadi.

Sekali lagi, inilah polemik ruang keyakinan personal yang diarak dalam ruang publik. Negara justru kebingungan dalam mengambil langkah tegas, karena percampuran antara ruang pribadi dan publik sudah cukup lama membuat warga negara bingung.

Kita semua akhirnya menikmati semacam dagelan politik dimana agama adalah bola yang bisa ditendang ke manapun yang diinginkan oleh si pemain tanpa harus memperhatikan rule yang hidup dalam nurani manusia Indonesia.

#Itusaja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.