Kolom Arif A. Aji: AGAMA ALAT PENGUASA

Dulu aku adalah orang yang paling taat dalam beragama. Mungkin dari seratus orang belum tentu ada satu setaat aku. 
Namun, dalam ibadah aku selalu bertanya, pada siapa aku menyembah?
Pertanyaan besar yang selalu menggantung di pikiranku, di sela-sela ibadahku. Karena yang aku rasakan hanya ketakutan, adalah dasar utama ibadahku.

Lalu, apakah ibadah bukan didasari keikhlasan, tapi intimidasi ketakutan dan iming-iming kebahagiaan?

Kuberanikan diriku keluar dari semua itu. Kutinggalkan semua ibadahku pada Tuhan, seperti agama perintahkan. Aku coba objektif dengan membuka mata, melihat segalanya dengan berimbang. Apa yang kulihat?

Agama dengan metode penyembahan, malah mengkotak- kotak manusia dengan kasta. Dan selalu yang awam jadi bidak mesin kelangsungan agama. Sementara ada sebagian orang yang duduk menikmati dari kenikmatan dan keindahan yang dihasilkan dari proyek agama ini.

Apakah Tuhan dalam agama memang menggariskan kehidupan demikian? Apakah Tuhan memang meciptakan manusia yang awam harus selalu melakukan ritual untuk keabadiannya berdasar aturan agama? Lalu, mana absolutisme Ketuhanannya bila harus bergantung pada konsep yang tertulis dalam aturan/ ajaran agama?

Kenapa semua aturan/ ajaran agama selalu saja berpihak pada hidup para penguasa, sementara kaum awam hanya objek yang jadi mesin di dalam literatur sistem aturan di dalamnya?

Bnyak lagi pertanyaan yang harus terjawab dan tak seorangpun bisa memberiku jawaban yang bisa diterima akal. Aku cari jawaban itu sendiri dengan banyak perjalanan yang bukan lagi tentang agama. Tapi aku ingin melarut pada nilai dari konsep yang ada. Aku ingin menggali semuanya, apakah memang semua yang terkonsep adalah Hukum Tuhan.

Aku dapatkan bukanlah Tuhan itu sendiri. Yang aku dapatkan adalah diriku yang melarut dalam semesta bersama alam. Konsep itu malah mengantarku kembali pada naluriku sendiri tentang nilai hidup.

Di semua perjalananku, aku melihat agama apapun adalah aturan yang mengkotak-kotak sosial, yang mengerucut pada satu oknum. Oknum itu adalah manusia yang menasbihkan diri sebagai mandat dari Tuhan.

Aku jadi bertanya, jika demikian, lalu Tuhan yang mana?Yang pasti Tuhan yang dalam spiritualitasnya sendiri. Dikemas dalam sebuah konsep Kitab/ Buku yang jadi pedoman sebuah ideologi/ agama. Dari Buku / Kitab itulah, dia dan penerusnya menciptakan sebuah kekaisaran yang bernama Agama. Mulai sejak itulah struktural kekaisaran ideologi terbentuk, dengan Kaisar Tuhan.

Siapa sesungguhnya Tuhan di sini yang jadi kaisar avatar tak berwujud? Jangan dicari sosoknya, namun lihat siapa yang menikmati hasil dari semua pengabdian para awam yang jiwanya sudah lekat dibalut keyakinan pada Tuhan dalam konsep ideologi / agama yang telah dituliskan dalam buku / Kitab yang bukan suci, tapi disucikan.

Lalu apa salah atau benarkah semua konsep ketuhanan yang tertulis?

Kalau mau berpikir objektif, tak ada yang salah. Karena semua yang tertulis hakikatnya tak ada yang benar. Karena subjektif hasil dari proses pemikiran dan spiritualitas manusia juga.

Aku dan perjalananku adalah saksi pada hidupku sendiri, yang sesungguhnya semuanya adalah permainan dunia. Siapa yang paling mampu menguasai, dialah yang berada paling atas dalam kasta kehidupan. Agama adalah paling efektif dan murah untuk tujuan itu, dengan masuk pada jiwa-jiwa lemah, yang tak pernah puas dengan hidupnya sendiri dan selalu terombang ambing oleh orientasi hidupnya sendiri.

Hakikatnya tak ada yang salah dengan konsep dalam ideologi / agama. Tapi akan naif ketika konsep itu diyakini absolut sebagai sebuah kebenaran / takdir. 
Logikanya, keberadaan materi akan memunculkan efek dualitas yang akan saling menyeimbangkan. Saat materi tercipta akan lahir kebenaran juga kesalahan materi itu.

Akan jadi bijaksana ketika materi itu digali pada sisi subtansinya. Maka akan melahirkan kebijaksanaan yang mengedepankan kestabilan dualitasnya, menghidupkan nurani kemanusiaan yang terpancar dari falsafah hidup yang dihasilkan. 

Selanjutnya akan bangkit independensi diri, yang tak akan lagi terjajah jiwanya oleh nama Tuhan yang sebatas keyakinan. Tapi mampu membuka tabir Nilai ketuhanan itu sendiri yaitu Naluri, menuju kestabilan hidup dengan menyadari Nilai kemanusiaan yaitu Nurani sebagai mahluk yang paling sempurna dari semua keberadaan. 

Bagaimana Nasib Tuhan selanjutnya?

Kerdil jika mempertanyakan itu semua. Ketika semua manusia sampai pada fase independensi diri mereka, dan mampu membuka tabir Nilai ketuhanan mereka sendiri, akan timbul satu pertanyaan besar: “Siapa atau pihak mana yang dirugikan, kalau semua manusia bisa selesai dengan konsep ketuhanan yang terkonsep dalam ideologi/ agama?”

Mereka tak akan membiarkan itu dan akan mati-matian mempertahankan kekaisaran Tuhan mereka. Walaupun banyak nyawa yang jadi korban. Bahkan memang harus dikorbankan. Untuk apa? Pastinya keabadian kekuasaan mereka pada umat manusia. Karena keabadian Tuhan mereka adalah sudah pasti keabadian kekuasaan mereka juga.

Perjalananku tak pernah selesai. Karena aku selalu menemukan awal di setiap akhir langkah yang kujejaki pada kehidupan.

Senin 26 Agustus 2019 02 : 06 pm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.