Kolom Juara R. Ginting: AKHYAR LAKUKAN BLUNDER ATAU KEBODOHAN? — Tak Pantas Pernah Kader PDI-P

Sebagian dari pembaca tahu kalau saya beberapa hari belakangan ini sedang menulis bersambung tentang DATA DAN INFORMASI. Secara perlahan, ujungnya saya mau bilang, kalau saya bisa memilih, maka saya akan pilih Paslon yang menganggap “data dan informasi” adalah utama dalam roda pemerintahannya.

Bila mereka terpilih menjadi Bupati/ Wakil Bupati Karo.

Tapi, kita masih di tengah perjalanan hingga pembaca bisa memahami pernyataan saya nanti “hanya dengan ketersediaan data dan informasi demokrasi kerakyatan bisa berlangsung dan hanya dengan demokrasi kerakyatan pembangunan Kabupaten Karo seutuhnya dapat tercapai”.

Lalu, kemarin, didengungkan pula pro-kontra mengenai MONEY POLITIC. Ingin pula saya menulis bagaimana pro-kontra money politic ini terjebak pada perdebatan moralitas tanpa ada sedikitpun keinginan memahaminya secara ilmiah akademik, yang mana kita harus menjauhi moralitas, meskipun awalnya didorong oleh moralitas itu sendiri.

Itu juga akan saya bahas secara terpisah. Kedua hal di atas saya ingatkan di sini sebagai pengantar mengapa saya menggunakan judul di atas.

Kemarin [Sabtu 7/11], seorang teman mengirim link debat Pilkada Medan 2020 untuk menunjukkan Akhyar Nasution mengenakan kain tenun Suku Kao (uis gara) di pundaknya. Saya ikuti debat ini setelah memberi komentar yang mengatakan Akhyar melakukan sebuah tindakan pintar.

Ini juga akan saya bahas di tulisan bersambung lainnya untuk menunjukan bahwa Karo adalah “kecil-kecil cabe rawit” karena posisinya yang menentukan perpolitikan di Sumut. Itulah yang mau ditarik oleh Akhyar menjadi keuntungannya dengan mengenakan cultural code dan sekaligus red code; yaitu kain tenun Suku Karo yang bewarna merah membara itu.

Namun, sepertinya Akhyar dan pasangannya terlalu sibuk berpolitik simbol sehingga lupa kenyataan di sekitar. Itu terlihat ketika Paslon Nomor 2 (Aulia), menyampaikan pertanyaan apa yang akan mereka lakukan di Medan bagian Utara bila mereka memenangkan Pilkada Medan 2020.

Akhyar menjawab, kebanyakan penduduk Medan bagian Utara adalah nelayan. Oleh karena itu dia akan melakukan berbagai pembangunan yang menguntungkan nelayan, seperti halnya tempat penyimpanan ikan hasil tangkapan nelayan.

Sebagai seorang antropolog yang pernah melakukan penelitian di Medan bagian Utara dan sering berkunjung ke sana, saya tersentak mendengar jawaban Akhyar yang sepertinya tidak mengenal kawasan ini. Padahal, saya tahu pasti dia sangat sering ke kawasan itu; baik sebagai Wakil Walikota Medan maupun sebagai Plt. Walikota Medan.

Lebih terkejut lagi saya mendengar penjelasan wakilnya yang sangat provokatif mengatakan kemiskinan di Medan bagian Utara akibat banyak kesalahan kebijaksanaan pusat. Kalau Walikota yang selama ini tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kesalahan Pemerintah Pusat, mengapa pula Walikota yang baru nantinya bisa mengatasinya? (Kalau memang ada kesalahan kebijaksanaan Pusat yang menyebabkan kemiskinan di sana).

Apa yang bisa terdeteksi dari jawaban Akhyar dan pasangannya?

Jawaban Akhyar adalah standard dan jawaban pasangannya politis “manas-manasi” menghembuskan bara kebencian kepada Jokowi dan kepada PDI-P, yang jelas sekali berkaitan dengan sentimen agama yang dinyalakan oleh pendukung Prabowo di 2 Pilpres yang lalu dan pendukung Edi Rahmayadi di Pilgubsu lalu.

Aulia kemudian menelanjangi kebodohan Akhyar. Katanya, dia (Aulia) lahir dan tumbuh di kawasan Medan bagian Utara. Dia tahu sekali sebagian besar warga di sana adalah pekerja industri alias buruh, yang bisa saya tambahi, kasar. Buruh kasar!

Bagi saya, Akhyar sudah jelas tidak perduli dengan data yang, jelas-jelas merupakan kesalahan sangat fatal. Selain pekerja industri yang merupakan istilah halusnya, di sana banyak tukang pikul; baik di kapal maupun di gudang-gudang.

Belum lagi bila kita memperdebatkan apa defenisinya nelayan. Soalnya, banyak yang mengaku nelayan itu sebenarnya adalah buruh tangkap ikan yang bekerja di kapal-kapal nelayan milik pemodal. Hanya sebagian kecil yang memiliki alat produksi sendiri (perahu-perahu kecil) dan yang sebagian kecil inipun tidak bebas menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak yang mana dia suka.

Kalau memang nantinya dbangun tempat penyimpanan ikan, menjadi pertanyaan besar, ikan miliki siapa yang disimpan di sana? Soalnya, buruh tangkap ikan tidak punya hak apa-apa atas ikan tangkapan mereka. Itu milik majikan yang memperkerjakan mereka.

Nelayan yang punya alat produksi sendiri sudah langsung menjual ikan-ikan tangkapan mereka kepada tengkulak langganan begitu perahu atau sampan mereka bersandar di dermaga sungai sepulang dari melaut.

Dari perdebatan ini nampak sekali, kalau Paslon Nomor 1 berusaha merebut hati rakyat lewat simbol-simbol yang bisa membakar keismean (suku dan agama) serta dendam terhadap Jokowi/ PDI-P, sedangkan Paslon Nomor 2 lebih memperhatikan perbaikan kesejahteraan rakyat.

Dan, saya mulai bisa mengerti mengapa Akhyar keluar atau dikeluarkan dari PDI-P. Dari jawabannya terhadap pertanyaan tentang Medan bagian Utara, tampak sekali tidak ada tersisa jiwa sosialis-nasionalis (Marhaenis) di dalam dirinya, kalau memang pernah ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.