Aku, Cinta dan Babi yang Kasmaran

Oleh: Penatar Perangin-angin (Jambi)

 

Penatar“Aku”.. Ya.. Aku, sering sekali dalam fikiranku bertanya siapakah aku, asal usulku dan masih banyak lagi yang aku belum tahu sejarah tentang keberadaanku. Sebenarnya, secara biologis tentang siapakah aku tidaklah sulit untuk mengetahuinya. Berkat dukungan teknologi dan perkembangn jaman semuanya menjadi lebih teratur dan jelas, baik secara norma budaya, agama dan negara. Lalu bagaimana dengan pertanyaan “siapakah aku ?”

Sering sekali kita mendengar pertanyaan serupa dalam kehidupan dan interaksi sosial kita sehari-hari. Pertanyaan yang sama bahkan harus dijawab oleh orang-orang besar, berpengaruh dan terkenal sekelas Bill Gates, Roosevelt dan bahkan pemimpin kelas dunia Adolf Hitler.

Dari catatan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa manusia merupakan mahluk yang sebenarnya gak pintar-pintar amat, walau secara umum berdasarkan kelas klompok mahluk hidup di bumi ini (apalagi menurut kitab suci beberapa agama) kita kerap menganggap diri kitalah mahluk yang paling cerdas, bermoral dan mempunyai rasa (merasa) sebagai mahluk bertanggungjawab, memiliki derajat tertinggi, dan banyak lagi “asumsi sepihak” kita yang disepakati hanya oleh kita. Menggelikan memang.

Lalu, apa dan di manakah “kelebihan” yang digaung-gaungkan itu tatkala kita berprilaku tak lebihnya dari seekor anjing terjepit yang ditolong?

kasmaranMoral macam apakah yg kita banggakan ketika kita “memakan” santapan dari hasil keringat orang lain? Dan sikap bertanggungjawab model apa yang kita puji di saat sebuah pekerjaan yang dipercayakan kepada kita kerap kita anggap sebagai pemaksaan padahal sebenarnya adalah kewajiban? Dan, terutama, sejauh manakah kita mengenal diri kita sehingga dengan mudahnya kita sangat mengenal pribadi orang lain?

Adalah sama saja dengan seekor babi jika hanya berdasarkan sudut pandang manusia kita dengan “sombongnya” mengklaim bahwa hanya kitalah yang bermoral dan penuh dengan cinta.

Jika hanya soal cinta, seluruh mahluk hidup yang berregenerasi tentulah bermoral dan penuh cinta. Coba anda perhatikan seekor babi yang beranjak dewasa. Dia akan memiliki prilaku sama dengan manusia, mendekati “wanitanya”, membangun romantismenya, dan pada akhirnya merekapun lelah bercinta.

Kemudian, perbedaan apa pula yang dimiliki oleh kita dan babi yang kasmaran tadi? Jawabannya tentu mudah, manusia mengenal teknologi, babi tidak. Manusia mampu berkomunikasi dengan mudah, bahkan kirim-kiriman foto, buka akun facebook dan banyak lagi yang tidak mungkin si babi memilikinya.

Jadi, apa kesimpulan yang dapat kita ambil atas situasi yang demikian? Tentunya banyak. Salah satunya adalah, jika kita hanya “merasa” bertanggungjawab, seekor babi juga demikian. Jika kita dapat merasakan (jatuh) cinta, babi juga demikian. Dan, yang paling kerap kita lupakan adalah, aktualisasi “bentuk rasa tanggungjawab”.

kasmaran 3

Aktualisasi cinta yang bertanggungjawab pula dan coba lah sesekali untuk merenungkan kembali mengenai “siapakah aku ini?” Sehingga pada akhirnya kita mampu untuk lebih merasa dan memiliki rasa cinta dan bertanggungjawab itu. Jika tidak, maka semua akan sama saja dengan “aku, cinta dan babi kasmaran” .

Mungkin kita sulit menerimanya. Tetapi, apapun itu, mulailah untuk memahami bahwa cinta memang indah namun tidak cukup mampu membuat selesai sebuah tanggungjawab. Cinta hanyalah wujud tidak nyata namun berdampak “kenyataan”. Ada pada manusia maupun mahluk hidup lainnya.

Cinta, tatkala melanda, semua hanya dianggap sia-sia. Cinta, ya, aku, anda dan babi pun bisa jatuh cinta.




One thought on “Aku, Cinta dan Babi yang Kasmaran

  1. Dalam saling hubungan cinta dengan tanggung jawab, PP katakan: “Mungkin kita sulit menerimanya. Tetapi, apapun itu, mulailai untuk memahami bahwa cinta memang indah namun tidak cukup mampu membuat selesai sebuah tanggungjawab.”

    Masuk akal sekali kalimat yang dituliskan oleh PP ini. Bahwa ini sudah dituliskan, juga pastilah juga mengandung arti rasa tanggung jawab untuk menuliskan apa yang dianggap benar dan bisa jadi pencerahan bagi yang lain sesama manusia. Dengan perkataan lain, PP sudah menuliskan apa yang harus dituliskan.

    Terutama bagi kita orang Karo sekarang yang sudah ‘berjanji’ mengambil tugas pencerahan dalam soal kulturnya demi keeratan saling hubungan dengan semua kultur yang berbeda, dan mensinergikan semua kekuatan kultur itu jadi kekuatan nation Indonesia. Sora Sirulo adalah salah satu tabloid Karo yang dengan gigih mengambil tugas dan tanggung jawab itu demi pemahaman yang lebih luas soal kultur Karo dan saling hubungannya dengan semua kultur suku-suku lain dalam saling mengakui, saling menghormati dan saling menghargai sesama suku/kultur.

    Walikota Medan Dzulmi Eldin mendukung sepenuhnya ide pentrapan saling hubungan kultur ini. Wk gubsu Erry Nuradi tak mau kalah, dia hadir 100% di Kerja Tahun Karo Medan 2015 yang baru saja dilaksanakan.

    Mari anak-anak muda dan pemuda dan Wanita Karo tunjukkan terus kemampuan kita bertanggung jawab, omongkan apa yang harus diomongka, tulis apa yang harus ditulis, dan laksanakan apa yang harus dilaksanakan. Jangan menanti dan mengharapkan yang lain akan katakan, tuliskan atau bikin untuk kita.

    Pemuda Karo PKM sudah berusaha banyak mentrapkan semboyan ini. Juga banya organisasi mahasiswa Karo seluruh Indonesia, dan juga HMKI.

    Kalau sekarang sudah 100 000 orang Karo melaksanakan ini, mari kita tingkatkan jadi 1 juta orang. Internet dan era introversi dunia adalah untuk Karo karena sangat kompatibel dengan way of thinking Karo dan filsafat hidupnya. Abad Quiet Revolution Susan Cain dan Abad Revolusi Mental Jokowi adalah Abad Karo..

    Jika diam saja tak akan ada perubahan.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.