Kolom Eko Kuntadhi: ALKITAB BERBAHASA MINANG

Tapi emang ngeselin, kalau Indonesia yang plural ini dianggap hanya representasi satu agama doang. Apalagi kalau yang bersikap begitu adalah seorang kepala daerah. Ini yang terjadi di Sumatera Barat baru-baru ini. Seorang Gubernur sampai melayangkan surat kepada Kominfo untuk menutup sebuah aplikasi yang di dalamnya ada injil atau alkitab berbahasa Minang.

Lho, masalahnya dimana?

Alkitab itu kan kitab suci Orang Kristen. Kalau emang Gubernurnya bergama Islam, ya gak usah didownload aja aplikasi tersebut. Kan, gak ada yang maksa untuk mendownload.

Ke dua, apa dengan injil berbahasa Minang maka keimanan orang Minang yang muslim akan terganggu? Lha, download aja gak. Gimana mau terganggu?

Ke tiga, berapa banyak orang Minang yang bisa bahasa Indonesia. Gue rasa 90% Orang Minang bisa Bahasa Indonesia. Terus, kan ada injil Bahasa Indonesia. Apa mereka juga mikirnya akan menggangu keimanan Orang Minang yang beragama Muslim? Lalu minta dihapuskan juga dari Indonesia?

Kayaknya emang persoalan ini terlalu mengada-ngada.

Selain Gubernur Sumatera Barat, juga ada politikus asal PAN Guspardi yang mengangkat isu serupa. Mereka seolah mau menggesekkan persoalan agama yang sebelumnya tidak bermasalah menjadi isu nasional.

Jika mau kita telusuri, injil Bahasa Minang dalam bentuk pdf sudah ada sejak 1996. Bahkan dalam edisi cetaknya, sudah hadir jauh sebelumnya. Artinya, jauh sebelum PKS dan PAN lahir. Nah, sejak 1996 gak ada juga orang yang protes dengan keberadaan injil berbasaha Minang.

Lantas kenapa sekarang jadi masalah?

Alasannya menurut mereka karena orang Minang beragama Islam. Bahkan Guspardi menyebut, yang bukan orang Islam otomatis bukan orang Minang.

Waduh. Guspardi rupanya lupa sejarang. Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, apa sih agama masyarakat Minang pada saat itu? Kalau statemennya yang bukan Orang Islam otomatis bukan Orang Minang, terus dia mau menafikkan keberadaan nenek moyangnya dulu yang hidup di Tanah Minang?

Ulah kedua politisi ini seperti ingin mengecilkan arti pluralisme di Minangkabau. Benar, sebagian besar masyarakat Minang sekarang adalah beragama Islam. Tapi, ya, gak semua. Ada juga yang beragama Kristen.

Ibunya artis film Jajang C. Noer, asli Gantung Siri (Solok). Dia adalah penganut Katolik. Apakah kedua politisi itu berhak mencabut hak sejarah dan budaya orang yang lahir di Tanah Minang hanya karena dia beragama Katolik?

Jika saja protes ini diajukan oleh anggota FPI atau HTI misalnya, saya mungkin maklum. Tapi ketika protes seperti ini diajukan oleh seorang kepala daerah dan politisi, jidat gue langsung mengkeret.

Begini. Seorang kepala daerah saat dilantik, dia bersumpah demi Allah untuk menjaga dasar negara Indonesia, Pancasila. Salah satu inti dari Pancasila adalah pengakuan pada keberagaman Indonesia. Selain itu tidak membedakan semua warga negara berdasarkan suku maupun agamanya.

Toh, sebagai Gubernur, Irwan Prayitno dan sebagai anggota DPR, Guspardi digaji dari pajak rakyat. Sementara ketika rakyat bayar pajak, gak ditanya apa agama mereka. Ada Muslim, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya. Masak mau makan pajaknya tetapi mendiskriminasi begitu?

Sebetulnya mereka tahu gak sih, bahwa di Arab saja yang menjadi pusat kelahiran Islam, injil juga dicetak dalam Bahasa Arab. Saat misa atau kebaktian di gereja, pastur atau pendetanya juga mengucapkan Assalamualaikum. Gak ada tuh, orang Arab Muslim yang protes dan khawatir imannya terganggu.

Inilah akibat politisi yang selalu menjajakan agama sebagai bahan dagangannya. Seolah Indonesia yang plural ini mau diringkus hanya untuk satu agama saja.

Kita sih sadar, sebentar lagi Sumbar mau mengadakan Pilkada. Makanya di tengah pendemi kayak gini, mereka bisa-bisanya memainkan isu basi seperti ini. Norak.

Dulu, waktu ada politisi PKS nonton bokep di dalam ruang rapat paripurna DPR, apa Irwan juga menyurati Kominfo? Kayaknya gak deh. Bidangding Orang Kristen di Sumbar yang membaca injil berbahasa Minang. Kayaknya kelakuan politisi PKS itu lebih menjijikan.

Sebagai anggota DPR. Lagi rapat paripura. sempat-sempatnya horni sendiri. Tapi sudahlah. Kominfo Sumbar kabarnya juga telah mencopot aplikasi itu dari playstore.

Yang bahaya, jika kekuasaan selalu digunakan untuk berlaku tidak adil pada orang yang berbeda. Itulah korupsi kekuasaan yang kemudian dianggap sebagai dakwah.

“Mas, kalau stensilan dalam Bahasa Minang, boleh gak?” tanya Abu Kumkum.

Mbuhhhh…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.