Kolom Asaaro Lahagu: Alkitab Jadi Pembungkus Tempe, Fatwa Haram Atribut Natal, Apa Reaksi Orang Kristen?






Saat ini, saya melihat kehidupan orang-orang Kristen di Indonesia semakin menarik. Di tengah situasi yang tak kondusif, mereka tetap bersemangat dan semakin dewasa dalam menyikapi keadaan. Walaupun dijepit kiri-kanan, mereka tetap hidup penuh syukur. Hidup di tengah agama mayoritas, kebebasan orang-orang Kristen dalam menghayati imannya tidaklah gampang. Merekapun dituntut situasi untuk menghayati imannya di tengah berbagai tantangan dengan cara-cara baru.

Ketika pendirian gereja baru dipersulit misalnya, maka gereja-gereja yang ada terpaksa melakukan ibadat beberapa kali setiap hari Sabtu dan Minggu. Sebuah gereja bisa saja membuat jadwal ibadat non-stop alias  5-7 kali sehari. Efeknya orang Kristen dituntut tepat waktu, atur jadwal, belajar antri, perlu persiapan matang apalagi jika rumahnya jauh dari gerejanya. Kotbah pun tidak perlu panjang, tindak perlu ngalar-ngilur tetapi singkat, padat, berisi dan penuh pesan.

Jika sebuah gereja tak bisa menampung umatnya, maka ruko-ruko dan mall-mall menjadi tempat ibadat atau gereja. Sementara rumah-rumah warga menjadi alternatif lain untuk membentuk persekutuan doa dan tempat ibadat lainnya. Tak sedikit bar-bar atau restoran menjadi tempat sharing bible bagi kaum muda. Lalu facebook, whatsapp, twitter, dan media sosial lain menjadi ajang sharing iman. Iman harus terus dihayati, dipupuk, ditumbuh-kembangkan dimanapun dan dalam situasi apapun.

Salah satu respon menyejukkan dari orang Kristen ketika lembaran Alkitab dijadikan sebagai pembungkus tempe.

Hidup di negeri yang disebut Pancasila namun kerap diteror oleh ormas berdaster, orang-orang Kristen terlihat terus berlatih untuk dewasa. Ketika kertas Alkitab dirobek-robek dan dijadikan bungkus tahu-tempe, orang-orang Kristen terlihat sabar dan menyikapinya dengan positif. Mereka bersyukur bahwa firman Tuhan berfungsi untuk membantu penjual tempe dalam bentuk bungkusan. Sebuah reaksi yang tumbuh dalam sejarah kedewasaan iman.

Ketika orang Kristen diprovokasi dan dilecehkan simbol-simbol keagamaan mereka seperti sandal bergambar Yesus dan Bunda Maria, orang Kristen menyikapinya dengan pemahaman bahwa itu bukan pelecehan tetapi bagian dari mengabarkan kabar gembira. Apakah orang Kristen itu marah sebenarnya? Tentu saja marah. Bedanya, kemarahan itu diubah menjadi kasih. Kasih akan mengalahkan segala-galanya. Penyikapan seperti inilah buah dari kedewasaan iman.

Gambar Yesus dan Bunda Maria dicetak pada Sandal. Bagi orang Kristen ini bukan penghinaan tetapi bagian dari pengabaran.

Ketika ada pembubaran ibadat di Sabuga, Bandung, beberapa waktu lalu  misalnya, reaksi orang Kristen sungguh dewasa. Kalau memang tidak bisa ibadat saat itu, bisa dicari di tempat lain, di lain waktu atau berdoa masing-masing saja di rumah. Lalu mereka bubar dengan penuh rasa syukur. Kasus itupun diserhakan penyelesaiannya kepada pemerintah kota Bandung, tanpa ngamuk. Sungguh reaksi kaum beragama yang patut dipuji.

Demikian juga ketika ada fatwa haram dari MUI yang menyatakan bahwa haram bagi non muslim memakai atribut Natal, orang-orang Kristen menyikapinya dengan dewasa pula. Para karyawan yang beragama muslim, tidak lagi diwajibkan memakai atribut Natal yang dinyatakan haram itu. Kalaupun ada yang masih memakainya, itu mereka lakukan atas kesadaran pribadinya.

Terkait dengan atribut-atribut Natal, di beberapa tempat, saya melihat para pengusaha non-muslim mulai kreatif dengan menciptakan dan menggunakan teknologi. Mereka mulai menggunakan robot-robot, boneka-boneka balon, yang bisa dikerahkan memakai atribut-atribut Natal. Tentu saja sulit mengeluarkan fatwa haram bagi robot yang kedapatan menggunakan atribut natal.

Kedewasaan iman dalam praktek keagamaan jelas tumbuh dengan sejarah panjang yang penuh tantangan.  Dalam sejarahnya, kedewasaan iman kekristenan itu tidak tumbuh secara instan dan dalam situasi damai. Akan tetapi iman orang-orang Kristen tumbuh kuat di tengah berbagai tantangan. Ttantangan itulah yang telah memurnikan iman dan mendewasakannya.

Jika dilihat dari belakang, misalnya di zaman kekuasaan Romawi kuno (Abad 1-2), kehidupan kekristenan serba sulit. Mereka dikejar-kejar, dianiaya, disiksa dan bahkan dibunuh. Justru di situlah mereka berjuang secara sembunyi-sembunyi menghidupi imannya. Kadar keimanan kekristenan pada saat itu sangat dalam dan penuh penghayatan. Stefanus, martir pertama kala itu, rela mati dilempar batu demi mempertahankan imannya. Setelah itu ribuan martir terus bermunculan untuk mempertahankan imannya.

Akan tetapi setelah Kaisar Romawi, Kaisar Konstantinus Agung (Abad ke-3), mengeluarkan Edik Milano, semacam pemberian kebebasan kepada rakyatnya dalam beragama dan beribadah, umat Kristen kemudian tumbuh pesat hingga berabad-abad kemudian. Akan tetapi kadar keimanan Kristenpun kemudian menjadi dangkal, semu dan penuh kemunafikan. Itu karena agama Kristen berkembang bebas tanpa hambatan dan rintangan.

Abad ke-15 sampai Abad ke-16 adalah abad kegelapan penghayatan agama kekristenan. Saat itu pengampunan yang dikenal dengan indulgensi, dapat ditukar dengan uang. Dosa dapat diampuni jika membayar dengan sejumlah uang. Hukum-hukum itu pun ditetapkan oleh para pimpinan Gereja. Akhlak kekristenan pun bobrok yang kemudian memicu berbagai reformasi gereja. Hasilnya, beratus-ratus tahun kemudian, ritual-ritual perayaan keagamaan dilakukan secara meriah penuh gemerlap. Kini?

Kini, di zaman digital ini, negara-negara Barat yang mayoritas Kristen baik Protestan maupun Katolik, ritual-ritual keagamaan semakin redup. Padahal kebebasan beragama di sana sangat dijunjung tinggi. Namun kini gereja-gereja di Italia, Jerman, Belanda dan Perancis kosong melompong pada hari Minggu. Jika pun ada yang mengunjungi hanyalah orang-orang tua plus kaum peziarah. Lalu apa yang terjadi di Barat terkait  perayaan ritual keagamaan kini?




Ternyata penghayatan iman tidak tumbuh di negeri-negeri yang tidak ada tantangannya. Kekebasan beragama di Barat tidak serta merta menumbuh-kembangkan iman tetapi  justru mati suri. Kini, para misionaris dari Indonesia sudah lama dikirim ke Barat dengan misi evangelisasi (penginjilan kembali).

Akan tetapi di Indonesia, di negeri yang masih belajar toleransi dalam beragama, orang-orang Kristen terlihat merayakan imannya dengan beragam tantangan. Di tengah tantangan, orang-orang Kristen terlihat tetap semangat merayakan ritual keagamaannya. Tantangan menjadi pemicu untuk menumbuhkan imannya secara dewasa. Kini, ada terobosan yang dilakukan orang-orang Kristen.

Di beberapa tempat, saat merayakan Natal, orang Kristen kerap bekerja sama dengan ormas-ormas NU untuk ikut mengamankan perayaan Natal. Perayaan Natal bukanlah lagi eksklusif (kalangan sendiri), tetapi dilakukan secara terbuka dengan melibatkan warga sekitar. Perayaan Natal harus dilakukan dengan melibatkan warga agama lain. Dan itulah yang semakin menarik untuk diamati dari kehidupan orang-orang Kristen sekarang ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.